Pendamping

Wati begitu bersemangat di pagi ini. Ia sengaja bangun pagi-pagi untuk beberes rumah yang sudah lebih dari satu bulan ia tinggalkan.

Bersih-bersih rumah seperti ini mau tidak mau turut mengundang kembali setiap kenangan di tiap sudut-sudut ruangan yang tentunya menghadirkan ingatannya tentang almarhumah sang ibu.

Semua memori itu kini perlahan telah berubah fungsi membuahkan energi yang positif untuknya yang senantiasa membuat senyum berseri di wajahnya.

“Tok… tok…”,

“Wati”,

Suara pintu diketuk memanggil namanya. Ada tamu yang datang.

“Masuk saja paman. Sudah Wati buka pintunya”, kata Wati yang mengetahui pamannya datang.

Belum ketemu orangnya saja suaranya sudah menyebalkan.

“Sedang apa kamu? Ini paman bawa makanan untuk sarapan. Bulek mu yang masak”, kata paman Wati.

“Ini sedang bersih-bersih”, jawab Wati.

“Makasih ya paman. Titip salam buat bulek”, sahut Wati yang tengah sibuk menyapu lantai seluruh ruangan.

“Ini sarapan dulu biar nggak sakit. Habis itu baru lanjut lagi”, kata paman.

“Nanti saja paman Wati masih belum lapar”, kata Wati.

“Ya sudah duduk dulu sini. Paman perlu bicara sama kamu”, kata paman serius.

Wati mengiyakan permintaan pamannya itu yang ingin berbicara kepadanya. Mereka berdua kini duduk di ruang tamu.

“Sebelumnya paman mau minta maaf atas kejadian tempo hari. Ini terkait lamaran dari Pak Bagio. Bagaimana Wati apa kamu sudah mempertimbangkannya?”, kata paman langsung terus terang.

“Paman kembali disuruh oleh Pak Bagio. Beliau juga minta maaf. Kemarin pasti terlalu cepat buat kamu”, lanjutnya.

“Bagaimana kira-kira kapan waktunya?”, tanya Paman.

“Gila. Mending Wati mati saja dari pada harus menjadi istri orang itu”, jawab Wati.

“Waktu lalu kan sudah Wati jawab. Sudah Wati jelaskan sama paman. Jawabannya Wati menolak lamaran dari Pak Bagio. Titik”, jawab Wati tegas tidak mau dihasut oleh pamannya.

“Itu memang hak kamu Wati untuk menolak. Paman tidak bisa memaksa. Paman membicarakan hal ini sebagai utusan dari Pak Bagio”, kata paman.

“Tapi seandainya kamu mau menikah sama Pak Bagio kemapanan hidup kamu pasti terjamin. Tidak perlu kamu kerja apalagi sampai jauh-jauh ke kota. Rumah, mobil, dan fasilitas apa pun pasti dipenuhi. Mau apa saja tinggal minta pasti diberikan oleh Pak Bagio”, kata paman.

“Coba kamu pikir-pikir lagi. Tidak harus buru-buru jawabnya”, kata paman.

“Jawabannya tetap sama paman. Wati sudah pikirkan matang-matang. Tidak. Titik”, kata Wati.

“Sudah ya paman Wati mau lanjut bersih-bersih rumah dulu”, kata Wati meninggalkan pamannya sendiri.

“Baiklah kalau begitu. Ini ya sarapannya jangan lupa dimakan. Paman berangkat kerja dulu. Kalau ada apa-apa tinggal ngabari”, kata paman yang masih berharap keponakannya itu bisa berubah pikiran.

“Iya paman. Makasih ya”, jawab Wati.

Pak Bagio benar-benar terobsesi dengan kecantikan Wati. Birahi pria yang hampir berusia setengah abad itu melambung tinggi ketika melihat keindahan tubuh Wati.

Untuk kedua kalinya paman Wati datang dengan membahas masalah yang sama yang sebenarnya jawabannya sudah diberikan secara pasti oleh Wati. Untuk urusan inilah Wati yang bekerja di kota jadi malas untuk pulang ke rumah.

Setelah selesai beres-beres rumah. Wati pun menyantap sarapan yang dibawakan oleh pamannya.

Dengan lahap Wati menghabiskan menu masakan yang dibikin istri pamannya itu. Lezat dan nikmat. Habis tidak tersisa.

Wati kembali membuka kenangan-kenangan lama. Foto-foto lawas sewaktu ia kecil.

Memori-memori indah dalam ingatannya tentang kebersamaannya bersama keluarga.

Haru bersama pilu menjadi satu melawan hangatnya senyuman yang timbul dari kenangan manis yang terpatri di dalam dasarnya jiwa.

Sampai lah Wati pada lembaran-lembaran yang diambilnya dari hasil rekam medis dari rumah sakit yang memberikan surat kematian untuk ibunya.

Berulang kali ia membaca membolak-balikkan kumpulan hasil pernyataan dari berbagai macam pelayanan tindakan yang dilakukan tapi hasilnya nihil.

Ibu Wati sebelum meninggal dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak ada laporan data yang menunjukkan ibunya terkena penyakit atau pun gejala tertentu yang mengakibatkannya bisa sampai meregang nyawa.

Reaksi yang sama masih dipercayainya waktu pertama kali ia mendengar berita ibunya sudah tiada. Ada yang tidak benar dengan penyebab kematian ibu Wati.

***

Terbangun di waktu magrib.

Entah sejak kapan Wati tertidur. Mungkin karena lelahnya di hari itu yang turut menguras emosinya hingga kantuk dengan mudah memejamkan matanya.

Anehnya kenapa ia sudah berada di atas tempat tidur di kamarnya?

Seingat Wati terakhir kali ia berada di kursi ruang tamu sedang melihat catatan rekam medis milik ibunya.

Badan Wati begitu lemas enggan untuk digerakkan. Kepalanya juga sedikit pusing.

Perempuan itu tergeletak di atas ranjang dengan lemah tak berdaya. Dan yang lebih mengagetkannya lagi ia baru sadar kalau dirinya sudah tidak lagi mengenakan baju. Hanya tinggal pakaian dalam saja yang masih menempel di tubuhnya.

Wati pun mulai panik dan takut. Ada apa ini sebenarnya? Sesuatu yang buruk dirasa akan menimpanya.

Tiba-tiba masuk seorang laki-laki ke dalam kamar Wati.

Ternyata itu adalah paman Wati sendiri, ayah dari Rizal sepupunya yang baru tadi pagi ia temui.

Paman mendekati Wati yang sudah tidak bertenaga. Bahkan untuk bersuara pun Wati seakan tidak mampu. Hanya bisikan lirih yang terdengar dari kata-kata yang coba ia teriakan.

“Tolong…”,

“Jangan…”, kata Wati dengan suara lemahnya.

“Sudah ya kamu nurut saja”, kata paman berbisik kepada Wati.

Setelah itu paman Wati keluar dari kamar, kembali meninggalkan keponakannya seorang diri.

Sedangkan Wati merasa tidak karuan. Ia takut dan juga marah. Tapi tetap saja ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya secara sengaja telah dilumpuhkan agar tidak bisa melawan.

Masuklah seseorang dengan bayangannya yang sudah dikenal oleh Wati. Pria tua dengan perut buncit dengan rambut beruban yang sudah tinggal sedikit.

Jelas sekali siapa laki-laki yang masuk ke dalam kamar dengan sudah bertelanjang bulat itu. Itu adalah Pak Bagio.

Kini Pak Bagio sudah berada tepat di depan Wati yang tergeletak di kasur. Pria tua itu berdiri sambil meremas-remas alat vitalnya sendiri memandang Wati dengan senyuman penuh arti.

“Jangan takut. Rasanya enak”,

Kata Pak Bagio kepada Wati yang sekarang dalam keadaan ketakutan setengah mati.

Wati berteriak memohon supaya Pak Bagio mengurungkan niat buruknya itu. Wati mengiba dan menangis. Tapi tuan tanah itu justru malah menjadi tambah bersemangat.

“Habis ini kita langsung nikah”, kata Pak Bagio yang membuat Wati semakin ketakutan.

Di tengah peristiwa mengerikan yang hendak menimpa Wati munculah sosok perempuan berbaju putih berambut panjang yang selama beberapa waktu belakangan selalu menghantui.

Sosok kuntilanak yang mirip dengan ibunya itu melayang di langit-langit kamar tepat di atas Wati terbaring. Wati pun dengan sadar melihat kedatangan makhluk halus tersebut.

“Tolong”, ucap Wati lirih.

“Izinkan aku menyelamatkanmu”, ucap sosok itu.

Wati pun menganggukkan kepalanya tanda bersedia untuk diselamatkan oleh sosok itu.

Dari langit-langit kamar kuntilanak itu turun dengan cepatnya mendekati Wati kemudian merasuki perempuan yang sedang berada dalam posisi terancam keselamatan martabat dan masa depannya.

Pak Bagio yang tidak bisa melihat sosok kuntilanak itu dibuat heran ketika mendapati Wati yang hendak disetubuhinya malah menjadi berdiam diri dengan mata tertutup dan mematung tidak bergerak sama sekali.

Tapi itu tak jadi soal bagi pria tua itu meski sebetulnya ia akan lebih suka jikalau ada ronta-ronta perlawanan.

Pak Bagio memegang kedua kaki Wati lalu menepuknya untuk membangunkannya. Tapi Wati tidak kunjung bangun.

Pak Bagio pun memegangi kedua kaki Wati lalu merentangkan nya. Ia pun hendak naik ke atas tempat tidur untuk memulai aksinya.

Tapi semua itu buyar gagal total tidak bisa terlaksana.

Wati berdiri melayang dari atas ranjang.

Masih dalam keadaan tertunduk. Kepalanya perlahan-lahan mulai mendongak. Wati membuka kedua matanya. Kedua matanya putih seutuhnya.

Kejadian ini membuat kondisi berbalik. Kini Pak Bagio yang ketakutan setengah mati begitu juga dengan penisnya yang langsung menciut kehilangan tegangan.

“Seee…… tan……”, kata pria tua itu ketakutan.

Wati tersenyum mengerikan.

Senyum itu menjadi bertambah mengerikan ketika mulut yang dibuat untuk tersenyum itu terus terbuka menganga lebar hingga rahangnya patah bercucuran darah.

Kemudian sosok menyeramkan itu tertawa memilukan.

Pak Bagio semakin ketakutan. Tubuhnya menjadi kaku mematung tidak bisa berbuat apa-apa.

“Pergi dari sini”, kata Wati yang telah berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan dengan suaranya yang gahar.

Mendengar ucapan setan di depannya itu Pak Bagio terjatuh lemas. Ia merangkak dengan susah payah untuk keluar dari dalam kamar.

“Ada apa Pak Bagio?”, tanya paman Wati yang sedang berjaga di ruang tamu. Ia dibuat heran dengan kemunculan Pak Bagio yang berjalan merangkak seperti balita ditambah ketakutan yang terlihat jelas dari raut muka tuanya.

“Pergi dari sini”, ajak Pak Bagio gemetaran.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!