...Chapter 7...
Di saat perjuangan cukup keras berjalan demi menstabilkan keseimbangan badan, entah apa isi dalam pikiran pria satu nih sampai harus mengajak kami semua untuk bermain.
Nah kawan, gue tahu apabila tingkah lu cukup menyebalkan. Mengejar, berusaha memikat perhatian hamba bukanlah suatu perkara mudah. Maaf apabila terlalu lantang, namun untuk sekarang nih hati enggan, malas melangsungkan pelonggaran apalagi pelebaran kehadiran.
Lagian ada-ada aja, dah. Kepala lagi pening malah diajak memainkan permainan.
Haduuuuh.
"Emmmhhhh."
Tuh, mau sampai kapan kau buta? Tidak mempedulikan resiko di kemudian hari, hah?!
Kisanak kau sempak!
Selagi anak-anak muda asik meneguk, mencoba melegakan isi pikiran tersendiri, nyut-nyutan pada kepala tetiba meningkat, mengevolusikan diri setahap lebih tinggi, menggema lagi menyerang setiap anggota vital selaku penanda kelahiran getaran mematikan.
Haaah, kamu benar. Frekuensi di luar batas. Gue gak ngerti lagi ingin mengucap apa, ketidaktenangan dalam pemikiran terus-terusan melanda. Aduh, hamba harus gimana, nih? Masa iya bangkit, pamit pulang di kala perjalanan pesta melangsungkan keberadaan? Ahhhh, sumpah. Gak bisa ditoleransi sama sekali. Harap tangguhkan kesabaran, tengkorak. Sementara ini jemari kanan di atas pelipis dijadikan sebagai pertolongan pertama terkini.
Ayo kuat, lu pasti bisa menghadapi problematika menantang kali nih.
Haaaaaahhh!
"Wahhh, boleh tuh. Hitung-hitung ngisi kegabutan."
"Setuju."
Biadab, tidak ada pilihan lain selain mengiyakan? Anda sekalian memiliki rasa kemanusiaan, mampu menangkap makna kawanmu gak, sih? Gila, ya kali ketidaksempurnaan salah satu fungsi terpapar tanpa melewati penyaringan?
Gak habis pikir.
Selagi pikiran dihantam berbagai sensasi ngilu tiada dua, persetujuan pihak luar lalu terlempar, terngiang teramat konkret, menghadirkan eksistensi atas perpindahan lidah untuk dua pihak bersebelahan.
Pertama perlu gue ingatkan bahwa RAGA adalah pihak utama, seorang algojo dalam menentukan jalan akhir ketidakselarasan. Semua konsekuensi dan juga dampak di kemudian hari ditanggung pada beban seorang. Jadi gue harap semua pada diam, jangan mencampur aduk problematika seenak jidat.
Hayya, menyesuaikan diri untuk tetap ikut arus pergaulan sih lumrah, selama tak melanggar batasan takkan ada dampak merugikan, kok. Tapi engkau punya otak, bukan? Coba difungsikan ke kondisi awal. Mengajak, mengikutsertakan wanita dengan kesehatan kacau seperti ini tidak tergolong sebagai sebuah kekonyolan semata, kah? Ditambah enak kali cara lu berdua bercakap. Main asal setuju aja kayak anak kecil. Dipikir diri bakal mengiyakan, menyetujui keinginan buat bergembira?! Tckkk, kelewatan bener. Andai kata dua bocah pembicara tiada terikat tali perhemaman, pelayangan kepalan sedari awal sudah lama membekas pada pipi masing-masing.
Ahhhhh, sempak! Sampai kapanpun pemaparan akan selalu teringat, keidiotan!
"Oke, dua setuju. Gimana yang lain?"
"Ikut."
"Mayoritas aja, deh."
"Tentu aja, dong."
Biadab, bisa baca situasi tak, sih? Temanmu lagi musibah, dan lu pada bersikukuh untuk melangsungkan permainan?!
Huaaaaaahhh!!
Menyadari Anita dan Brando telah melayangkan kesediaan, pendiaman selaku reaksi awal seorang pengajak kemudian berubah, bertukar sesuai ketidakstabilan suasana, menghadirkan suatu senyum tipis selepas menunggu dan hanya menunggu.
Awalan aku masih bisa tenang, mendapati Anita lagi Brando dengan niatan mengikuti keseruan tentu membuat hati sedikit lega. Cuman apalah daya, sebuah tragedi gak tahu bagaimana mampu muncul kemudian datang, menyebarkan kehadiran begitu laju, menentang lagi membalikkan fakta di lapangan.
Huhu, mereka kenapa pada setuju, dah? Padahal keraguan sementara hinggap, bersarang tepat di bagian dada. Aelah, aku harus bagaimana, nih? Ajakan Kevin untuk kedua kalinya terdengar, melemparkan frekuensi tidak terlalu besar sesaat peresponan kata setuju didapat hingga 99%.
Haih, itu adalah hasil konkret, memberi sebuah gambaran kemauan pribadi dalam melangsungkan permainan, dan sekarang lihat, mendapati persentase nyaris atas keseluruhan mengindikasi apabila hamba menjadi pihak tersisih di antara pemaparan positif umat mayoritas.
Sekedar satu banding lima sih bakal tetep kuhajar. Ini satu melawan puluhan berpangkat, loh. Perbedaan gamblang macam tuh takkan mungkin dipanjat sekalipun perkalian diterapkan.
Huaaah, beri aku petunjuk, bro. Macam mana caraku mengecoh, meminta masing-masing pihak untuk mengganti permainan tanpa harus tersulut amurka?
Perkara berat.
"Oooke, tampaknya tersisa lu doang, Sis."
"Emmmmh-"
Diem dulu Brand, gue punya alasan tersendiri untuk tidak asal jeplak. Sabar, beri aku masa buat berpikir. Hargai hak asasi, gelorakan demokrasi bagi pejuang di luaran sana.
Horyaaaahh!
Diam, memerhatikan bila persetujuan mencapai kata mufakat saat diri ikut menyuarakan hasil positif, pengutaraan sedari rahang mulut lantas timbul, tersembul sejalan fungsi, memaparkan kalimat pembuka di kala penyerangan dilangsungkan.
Gak kok, aku sama sekali gak emosi atas kebodohan kalian. Malah raga begitu mengerti apabila ketidaktahuan hinggap di benak tersendiri. Cuman seriusan, seburuk itukah pemahaman lu mengenai wanita? Memaksa, mencoba menjorokkan harga diri seseorang ke dalam penggorengan hangat bukan sebuah perkara bagus, Bran. Bukan tanpa alasan hamba diam, mengulur waktu agar agenda ke depan dapat terubah sebegitu cepat.
Tenang-tenang, gak perlu panik begitu. Jujur ini terasa sedikit membuat pusing, sih. Akan tetapi jemari di pelipis kanan sudah siap, melaksanakan tugas di pos terkait. Ayo kuat, acuhkan perasaan tidak sedap di kala keseriusan tampil.
Fuaaaaahhh.
"Kalo soal tuh-"
"Yaelah, lu make nanya beginian sama dia? Udah tentu Siska pasti mau. Ya kali ketua Niscala berniat mengibarkan bendera putih dalam pertempuran."
Eh br*ngsek, bisa diam bentar, gak? Lu tahu? Pelontaran lalu mampu mengakibatkan hamba terjebak selama-lamanya? Apakah kesengajaan memang hadir, direncanakan datang untuk menjebak kehadiran di tempat, hah?!
Grrrrhhh!!
Belum selesai sanggahan dinyatakan secara konkret, buru-buru Sari menyela, memotong tiada kata permisi, mengisi tenaga berlebih pada kompor di saat pelontaran terlampau dipaparkan.
Haaah, aku tahu, bahkan ngerti apabila hubungan kita cukup dekat, Sar. Lu adalah rekan, sebuah jantung kedua di kala tiang-tiang gubuk mengalami keretakan parah. Namun kuingatkan sekali lagi, batasan kita adalah teman, bukan orang payah yang dapat memerintah keturunan sesuka hati. Lebih baik diam, nikmati saja cara gue memenangkan pertandingan.
Persetan akan pertemanan, seseorang senantiasa takut, merasakan hawa merinding bilamana suatu hari kehadiran akan dilahap oleh sesama ras.
Fufufu.
"BETUL!"
Biadab, pulang aja kalan dari sini. Muak kali telinga waktu mendengar celotehan gak bermutu.
Graaaaahhh!!
Entah hal apa selaku isi dalam pikiran, segala orang selaku tamu undangan melayangkan kepositifan bersuara, memberi gambaran dukungan penuh terhadapku seorang.
Tidak dapat kupungkiri diri belum memberikan pernyataan setuju ataupun menolak, namun itu bukan mengartikan apabila diri BEBAS diatur oleh keinginan terluar. Edyan, enak kali mulut lu ngucap. Andaikata bukan memijak di tempat terhormat, amukan sudah lama keluar, membumbung tinggi tanpa pikir panjang.
Hhhh.
"E- Guys, kurasa-"
"Yaaah, masa lo mundur, sih?"
"Tahu, sangat membosankan sekali."
"Fuuuuuhhhh."
Bersambung….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments