...Chapter 16...
Terus terungkap, membongkar kejengkelan setahap demi setahap, seruan tak terbendung kemudian timbul, melahirkan keberadaan didasari unsur kesengajaan, menyingkap problematika di balik tabir bersamaan pengerasan dua telapak.
Huhu, menyenangkan juga bisa melangsungkan tindakan seperti nih. Walau rasa ketidaksenangan melonjak, membumbui keseluruhan badan tanpa menemukan pembekuan, kelegaan dalam benak menyarang, gemilang menenggerkan kehadiran selaku tindak lanjut kesegaran oksigen di sekitar.
Hoooh, rasanya kesadaran dibuat terbang, membawakan penalaran dan kewarasan menuju alam paling dirahmati.
Fuuuuuuuh.
"Aaahhh, Kevin brengsek!!"
Cukup, aku sudah muak mendengar nama itu. Dia adalah brengs*k, perwujudan kebiadaban yang timbul, melaraskan keberadaan melalui bentuk umat manusia.
Graaaahh!!
Gak berkuasa menampung lebih lama, tumpahan emosi bergegas datang, segera membanjiri tiap anggota tubuh, mengumpat bersamaan meledak-ledaknya parameter kemurkaan tanpa koma, apalagi tanda titik untuk memperlambat kelajuan.
Adududuh, maafkan gue. Diri gak bermaksud, mengkambinghitamkan Anda sekalian supaya jadi pelampiasan, target sasaran semu pada kejadian terkini. Awas saja kau baji*gan, ujung kiamat besar melanda takkan memupuk, menutupi rasio penerimaan ucapan maaf.
Gobl*k!!
Berbarengan perpaduan ekspresi menyatu, memadukan kesadaran dan keluar dalam bentuk tendangan pesepak bola, permukaan air selaku korban pengerahan punggung kaki tetiba melayang, menetapkan eksistensi untuk menetap di atas ketinggian, mengukuhkan kedudukan untuk sementara waktu sesaat lepas landas berjalan, melangsungkan tindakan pendaratan pada kelambanan perpindahan.
Haih-haih, mau bagaimana juga kepala puyeng, terus-menerus dilanda kesakitan bila pemaksaan kelogisan dipaksa tersembul.
Sempak!!
"Sampai kapan pun kesadaran takkan rela menyerahkan harga diri!"
Camkan tuh, idiot. Gue sama sekali gak sudi, meletakkan kejijikan pernikahan harus dilakukan di usia dini.
Ahhhhhh!!
Makin jadi, tingkat amurka kedalaman benak terus melonjak, meningkatkan taraf ketinggian suhu sesaat penendangan berjalan, melaksanakan penyerupaan tindakan seperti menit awal, menghantarkan kelajuan bebas, menaruh punggung kaki pada kehebatan bersinergi sehingga ombak setinggi badan menyerang, bersiap melangsungkan penyerangan teruntuk teritorial ke depan. Suka tidak suka, dipikir secermat apa pun kesesuaian data kedua kalinya menimpa nasib lautan tanpa nama.
Harap diam, jangan membuat kepusingan bertambah, menjadikan kehadiran sebagai suatu momok menakutkan. Gila, sekedar dialiri tenaga berlebih bisa berakhir begitu, loh. Padahal pendasaran silat berlaku, tidak lain diterapkan terhadap kesialan takdir buih lautan. Ahhh, gak paham lagi, jauh lebih tepat disebut ketidaksejajaran penalaran beserta kewarasan pribadi.
Ooooohhhhh.
“Lihat aja nanti, biadab!”
Tenangkan suara, keusaian problematika masih belum bisa diwujudkan. Sabar, rentang waktu kesadaran akan pulih terbilang cukup lama. Tenangkan dirimu, buang semua pikiran nan mengganggu.
Fiuuuuuhhh.
Menyadari rasio ketidaksenangan meningkat, menaikkan evolusi tiada berkeinginan menghentikan progres, tindakan antisipasi segera berjalan, bergegas diperbuat demi keredaan suasana kedalaman benak sekalipun pengorbanan individu tidak bermasalah dijadikan opsi terbaik.
Maaf ya lautan, diri sama sekali tiada bermaksud merusak keindahan. Sumpah deh, andaikata bukan dimaksudkan pelampiasan, anarkisme perbuatan bakal kutolak, membuang saran tersebut ke dalam penggilingan sampah.
Huhuhu.
Diakibatkan kegelisahan merebak, menyebarkan sel-sel amurka ke setiap bagian, ombak tiada tenang akibat ketiadaan tata tertib kesekian kali dikoyak, menambah sekelebat permasalahan atas dasar kesengajaan, merusak lagi mengacaukan formasi awal berkat memukul, menghantarkan kerasnya genggaman kiri di antara kelembutan butiran pasir.
Haduh, jujur benak sama sekali tidak, tiada berkesempatan mengontrol lagi mengendalikan putaran rod. Maafkan gue, alam. Suatu saat nanti tindakan merawat lingkungan akan tiba, memprioritaskan serangkaian sebagai keutamaan dalam rutinitas.
Hohoho.
“Haah- haah- haah”
Kalem, gue gak kenapa-napa, kok. Cuman sedikit jnegkel, tidak lebih ataupun kurang.
Huu- uuuuh.
Selesai, menyudahi kegiatan tak bermutu pada catatan rutinitas, serangkaian penormalan sistem pernapasan dicoba, mengembalikan fungsi paru-paru sebagaimana kodrat, mencoba teguh, menempatkan pandangan terhadap kepositifan semata di kala penglihat turun, membiarkan air setinggi mata kaki menyerang.
Dapat kupahami bahwa hidup adalah cobaan, sebuah hukuman khusus teruntuk Nabi besar Adam AS. Akan tetapi- emh, gimana caraku menjelaskan? L- lebih daripada itu, apa yang terjadi Pada-Nya sama sekali tidak, tiada benang keterkaitan selaku cicit keturunan.
Huhu, kutukan berwujud makanan, entah mengapa keingintahuan menjarah, sengaja menonaktifkan keseluruhan bagian penghubung kejeniusan otak? Ahhh- sumpah, gue gak ngerti lagi. Macam mana ketabahan mampu melewati ini semua di saat rasa lelah, letih dan lesu membungkam, teringin mengalirkan tumpahan pelapis mata jikalau kebuntingan beneran terwujud?
Auuuuuuuw, mau sampai kapan umat nih disiksa? Tak ada kata tolong, bahkan uluran bantuan seolah ketidakhadiran kata akhir terbenam bagi masing-masing benak.
Graaahhh!!
“Sedari awal diri tidak dipantaskan untuk berbahagia.”
Memang benar, dalam untai- jauh lebih senang gue sebut sebagai rajutan takdir, kebahagiaan tiada dua sama sekali enggan, tiada menorehkan apa-apa selain kemelaratan dan penyiksaan belaka.
Huuuuuh.
Bergerak, menaikkan posisi badan bersamaan pelunakan pengerasan bagi salah satu jemari, pelontaran tragis mengenai kehadiran kemudian terucap, sengaja menuliskan kesialan terkini selaku nasib, rangkaian kehidupan nan menyebalkan, tapi tetap harus dijalani sepenuh hati.
Gue nyesel, akan sangat tepat menganggap kemalangan selalu berada di depan. Menaikkan bibir, melahirkan simpul tertentu sebagaimana instruksi benak lalu timbul, melahirkan ketidaksenangan berbentuk perbuatan tidak senonoh terhadap kondisi lalu. Nyesel lah bro, teramat meratapi, malah. Sama sekali gak kebayang bilamana aparat tidak hadir, gemilang menampakkan keberadaan di tempat?
Haaaahhh, undangan malapetaka, gue bener-bener enggan mengundang lu kemari.
“Hmmmmmmmh.”
Beri gue ketenangan, raga janji akan menerangkan semua hal selaku gumaman kedalaman nurani.
Fufu.
Sedikit mengerutkan bagian dahi, kelahiran satuan simpul di kedua pipi datang, berjaya menampakkan keberadaan sesuai keinginan, menekuk lagi merangkaikan letih lesu di tiap bentukan garis, menaruh keprihatinan terhadap agenda bunting di luar perkawinan.
Huhu, dasar cowok tak bertanggung jawab. Udahlah bersenang-senang, langkahan kaki segera oposisi lakukan tak mempedulikan keselamatan diri sebagai seorang korban. Kampret emang, jangan harap meraih pengampunan sekalipun milyaran rupiah dijadikan barang negosiasi. Gue gak semudah itu buat dijadiin bahan “enak-enak”.
Syalan!!
Aduh, silau sekali. Perasaan raga tak pernah mengharapkan seperti nih, deh. Oy-oy, kok makin meningkat? Melonjakkan fase tanpa tahu kejelasan penyebab.
Arghhhhh!
Entah didasari unsur kesengajaan atau bagaimana, gumpalan sinar tidak tahu sedari mana datang, mewujudkan kehadiran sebegitu cepat, menerpa lagi memancarkan pencahayaan biru terang terhadap retina, tiada lain melahirkan kecacatan, kesukaran memandang sementara waktu dialami oleh diri.
Bisa kumengerti bilamana mentari pagi datang, memberi sebuah kehangatan dan juga manfaat teruntuk kehidupan di dalam. Cuman mengapa? Bagaimana bisa penyelimutan cahaya bermanfaat sanggup menghampiri di kala kesadaran berada, menempati sebuah ruang jauh di bawah kesadaran manusia? Cukup, jangan tanyai gue kembali, ketidakstabilan emosi terus-terusan mengguncang hati nurani.
Hoooooh.
“Emhhhh-”
Bertindak segera, kebutaan sama sekali tidak, tiada terpikirkan untuk dirasa bagi kedalaman benak. Cukup bersabar, taruh semua harapan dan kenangan sesuai tata letak. Tabahlah, tangguhkan niat pribadi selagi tenunan menjijikkan terlintas, berhasil dilewati tiada kesukaran melanda.
Fuuuuh.
Bersambung….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments