Gazebo di belakang Villa menjadi tempat barbeque malam ini. Tadinya Alan sudah siap mengajak Sinta dan anak-anak makan di luar, tapi ketiga orang itu malah minta makan malam di villa saja. Katanya sudah capek kalau harus makan malam di luar dan berkeliling.
Mereka berempat sudah bagi tugas. Alan menyiapkan peralatan, Sinta dan Zia memotong-motong bahan makanan, juga menyiapkan saos barbeque. Sedangkan Zio, dia menyiapkan minuman. Menata air mineral dan beberapa minuman kaleng di meja. Ada teh panas juga yang dibuat oleh Sinta dan dimasukan ke dalam termos agar tetap panas.
"Baranya sudah siap. Zio, bawa kesini makanannya." Titah Alan.
"Oke Papa,,," Zio mengambil satu piring berisi berbagai macam frozen food dan daging slice.
"Tante, kita duduk disini saja." Zia menahan Sinta yang ingin menyusul Zio.
"Biar saja Papa sama Zio yang bakar, kita tinggal makan." Lirih Zia kemudian terkekeh geli. Sepertinya Zia ingin mengerjai Papa dan Kakaknya dengan membiarkan mereka bekerja berdua saja.
Sinta ikut terkekeh, dia mencubit gemas pipi Zia.
"Kalau Zia capek, duduk saja disini. Tante mau bantuin Papa sama Zio biar makanannya cepat matang, jadi kita bisa makan." Bujuk Sinta.
Zia awalnya cemberut, tapi setelah itu mengijinkan Sinta pergi.
Alan mendongak ketika melihat seseorang berdiri di sampingnya.
"Sudah lapar.?" Tanya Alan seraya melempar senyum lembut. Sinta menggeleng, lalu ikut duduk di samping Alan.
"Mau bantuin Mas sama Zio." Ucap Sinta.
"Disini panas sekali tante, Zio aja nggak kuat." Keluh Zio.
Alan dan Sinta terkekeh kecil.
"Jagoan Papa harus tahan panas," Kata Alan.
"Tapi ini terlalu panas, Zio mau duduk saja sama adek." Zio langsung berlari menghampiri Zia. Alan dan Sinta semakin terkekeh melihat tingkah Zio.
"Ada-ada saja,," Sinta menggeleng lucu.
"Masih sakit.?" Tanya alan. Wajahnya berubah serius.
Sinta mengangguk pelan.
"Sedikit, nanti juga sembuh." Jawabnya tanpa menatap Alan karna merasa malu.
"Maaf, lain kali Mas lebih hati-hati." Ucap Alan menyesal. Dia terlalu bersemangat menggagahi adik iparnya, tidak sadar diri kalau ukurannya cukup besar untuk Sinta.
"Mas,,, bagaimana kalau Mba Liana tau.?" Lirih Sinta dengan tatapan cemas.
"Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, jadi nggak mungkin curiga, apalagi sampai tau. Kecuali kalau kamu cerita." Tutur Alan, dia tersenyum kecil di akhir kalimat.
Sinta mengerucutkan bibir, tangannya reflek mencubit lengan Alan. Dia akan membuat kekacauan jika sengaja memberi tau Liana.
"Mana berani aku cerita." Sahutnya.
"Kalau begitu apa yang kamu khawatirkan.? Percaya sama Mas, Liana nggak akan tau. Yang penting tetap jaga jarak kalau ada Liana di rumah." Ucap Alan meyakinkan.
Sinta langsung percaya saja dengan ucapan Alan. Terlebih Sinta tau betul Kakaknya sangat cuek dalam hal apapun yang ada di dalam rumahnya. Jadi tidak akan menaruh curiga. Buktinya saat ini Sinta bisa ikut liburan dengan Alan dan anak-anak saja. Liana tanpa pikir panjang langsung memberinya ijin untuk ikut.
...*******...
Malam semakin larut. Udara di villa itu terasa menusuk. Sinta dan Zia bersembunyi di dalam selimut yang sama. Zia sudah tertidur sejak tadi, berbeda dengan Sinta yang masih terjaga. Wanita itu sibuk berbalas pesan dengan Alan.
"Mas di depan kamar kamu."
Pesan itu membuat Sinta perlahan turun dari ranjang. Dia memastikan Zia masih terlelap sebelum meninggalkannya sendiri di kamar itu.
Sinta keluar kamar dan menutupnya pelan-pelan. Alan tersenyum lembut, lalu menggandeng tangan Sinta dan menggiringnya ke kamar atas.
Sampainya di kamar, Alan langsung menyerang Sinta dengan ciuman panas. Sinta tak tinggal diam, dia ikut membalas ciuman Alan. Hawa dingin yang menusuk membuat keduanya membutuhkan kehangatan.
Baju-baju tampak berserakan di lantai kamar. Suara desahan Sinta sudah memenuhi satu-satunya kamar yang ada di lantai 2. Tubuhnya bergerak-gerak tidak karuan saat Alan menenggelamkan kepalanya di bawah sana.
Alam mungkin sudah tidak waras, dia menyadari hal itu. Kalau dia waras, pasti tak akan tergila-gila seperti ini oleh permainan adik iparnya. Sejak malam itu, Alan sulit lepas dari Sinta. Kapanpun dan dimanapun saat ada kesempatan, Alan selalu memintanya.
...****...
Kini sudah 1 minggu berlalu. Liana baru saja kembali ke rumah pukul 7 pagi. Keadaan rumah sudah sepi, hanya ada Sinta yang sedang mencuci baju di belakang. Sedangkan anak-anak sudah di di antar Papa mereka ke sekolah.
"Dek,,,! Sinta,," Liana memanggil adiknya sambil menyeret koper.
Sinta muncul dari arah belakang rumah, dia tersenyum kaku melihat Kakaknya. Tatapannya pada Liana jelas sudah berbeda. Sebab Sinta merasa bersalah pada Kakaknya, namun terselip juga rasa iri karna Kakaknya bisa mendapatkan suami seperti Alan. Tidak hanya hebat dalam urusan ranjang, tapi Alan juga lembut dan penyayang.
"Mba udah pulang. Kenapa nggak kasih tau kalau mau pulang sekarang. Sinta kan bisa jemput di bandara." Sinta mengambil paper bag yang disodorkan Liana padanya.
"Ini baju tidur buat kamu Dek. Mba salah pilih ukuran." Jelas Sinta.
"Makasih Mba." Ucap Sinta. Dia sempat mengintip ke dalam papar bag dan melihat kain satin warna merah. Dari bahan dan kainnya saja, Sinta sudah bisa menebak seperti apa baju tidur itu.
"Mba tuh dadakan pulangnya, jadi nggak sempet ngabarin kamu." Sinta menjatuhkan pantatnya di sofa ruang keluarga.
"Mas Alan nganter anak-anak ya.?" Tanyanya. Sinta mengangguk sebagai jawaban.
"Selama Mba di luar kota, Mas Alan ada cerita nggak sama kamu.?" Liana menatap serius. Sinta jadi salah tingkah karna gugup. Jarang sekali Liana menanyakan hal seperti itu saat habis tugas ke luar kota.
"Maksudnya cerita bagaimana Mba.? Aku nggak ngerti." Sinta memasang wajah bingung.
Liana menghela nafas berat.
"Mba tuh sebenarnya lagi ada masalah sama Mas Alan. Lama-lama Mba ngerasa nggak cocok sama dia." Keluh Liana. Wanita berumur 33 tahun itu menunjukkan raut wajah lelah. Tentunya lelah karna keadaan saat ini yang menurutnya tidak cocok lagi dengan Alan.
Sinta terdiam, dia mengalihkan tatapannya dari Liana karna rencana jahat mulai meracuni pikirannya. Dia sempat berfikir untuk memperkeruh keadaan, mendukung Liana jika memang Liana memutuskan berpisah dari Alan. Sinta berusaha membuang semua pikiran jahat yang berputar di kepalanya, lalu kembali menatap sangat Kakak.
"Pernikahan Kakak dan Kak Alan sudah berjalan 11 tahun, bagaimana bisa Kakak bilang nggak cocok sama Kak Alan.? Kalau ada masalah, sebaiknya di bicarakan dulu berdua. Aku memang nggak punya banyak pengalaman dalam berumah tangga, tapi aku tau kalau segala permasalahan bisa di bicarakan dan diselesaikan baik-baik."
"Percuma Sin, lagian Mba udah males ngomong sama Alan." Liana tampak acuh dan tidak mempertimbangkan saran dari adiknya.
"Jangan begitu Mba. Pikirkan Zio sama Zia, mereka masih butuh kalian." Sinta menatap penuh harap. Meski sudah mulai menaruh hati pada Alan, namun dia juga masih memikirkan kebahagiaan dua keponakannya.
"Percuma curhat sama kamu Dek. Udahlah, Mba mau ke kamar dulu." Liana beranjak dan segera pergi ke kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Eka Kaban
ini pelajaran buat kita perempuan lelaki gak pernah rugi memang udah ada Lebel an*ing tapi kita perempuan Lebel pelakor merajut kemana mana
2024-09-26
1
sarinah najwa
apa liana selingkuh juga yah,🤔 mungkin dengan bosnya atau rekan kerjanya,🤔🤔🤔
2024-08-17
0
Endang Priya
kalo mmg ada masalah cb bicarakan dulu. kalo ternyata buntu gak dapat titik temu . ya mungkin mmg perpisahan jalan akhirnya. dari pada saling menyakiti dgn mencari kehangatan SM yang lain.kan.
2024-08-13
0