Anak-anak sudah rapi dan siap berangkat ke sekolah ketika Alan tiba di rumah. Keduanya setengah berlari menghampiri Alan yang masih berada di halaman rumah.
"Papa, bagaimana kondisi Tante Sinta.?" Tanya Zia. Raut wajahnya masih diselimuti kecemasan. Dia sangat dekat dengan Sinta sejak kecil, tentu Zia akan mengkhawatirkan Sinta jika terjadi sesuatu. Apalagi Sinta mengurusnya dengan baik.
"Tante Sinta sudah sehat, kemungkinan sore nanti dibolehkan pulang."
"Zio lega dengarnya. Semoga setelah ini Tante Sinta nggak sakit lagi."
"Zia mau ikut jemput Tante Sinta, boleh.?" Tanya Zia semangat.
"Zio juga mau ikut Pah." Seru antusias.
Alan mengangguk sambil mengusap pucuk kepala Zio dan Zia, kemudian mengajak keduanya masuk ke dalam rumah.
"Papa mau mandi dulu sebentar, setelah itu kita berangkat ke sekolah." Ucapnya. Kedua anaknya mengangguk patuh.
...*****...
Sinta mengambil ponselnya yang berdering di atas nakas. Dia terdiam setelah membaca nama di layar ponselnya. Jika sudah begini, selalu ada rasa bersalah yang menyelimuti hatinya. Apalagi tadi malam Alan benar-benar memberikan seluruh waktu dan perhatian untuknya. Alan rela menginap di rumah sakit demi menemaninya.
Setalah menarik nafas dalam, Sinta segera mengangkat panggilan telfon dari Liana.
"Halo Mba.?" Sapa Sinta pelan.
"Dek, gimana kabar kamu.? Maafin Mba yah karna nggak bisa jagain kamu di rumah sakit. Mba masih ada kerjaan di Bali." Sesal Liana di seberang sana.
"Sinta sudah sehat Mba, jangan khawatir. Mba fokus saja sama kerjaan biar cepat selesai dan pulang ke rumah. Anak-anak butuh Mamanya." Sinta menekankan kalimat terakhir dan berharap Liana terketuk hatinya untuk memprioritaskan anak-anak. Sudah lama Liana mengabaikan Zio dan Zia. Bahkan mengabaikan suaminya yang berakibat fatal seperti sekarang.
"Apa yang Mba lakukan saat ini juga demi anak-anak. Selama anak-anak masih bisa di handle sama kamu, Mba merasa tenang meninggalkan mereka bekerja." Jawab Liana yang memang sangat mencintai karirnya.
Sinta menghela nafas berat. Entah sampai kapan Liana akan bertahan dengan egonya.
"Lalu bagaimana dengan Mas Alan.? Bagaimana dengan pernikahan kalian.?" Sinta sedikit meninggikan nada bicaranya. Dia sangat berharap Liana berhenti bekerja dan memperbaiki hubungan dengan Alan agar hubungan terlarangnya bisa di akhiri. Tapi Liana seperti tidak peduli dengan rumah tangganya sendiri.
"Memangnya kenapa dengan Alan.? Apa dia bicara macam-macam sama kamu.? Belakangan ini Alan sudah nggak pernah menyuruh Mba berhenti bekerja, jadi nggak ada masalah." Kata Liana dengan santainya.
Sinta hanya bisa membuang nafas kasar. Dia tidak tau lagi dengan cara membujuk Liana agar melepaskan pekerjaannya demi keluarga.
"Sudah ya, Mba ada meeting. Semoga kamu cepat sembuh." Liana mengakhiri telfonnya setelah itu.
Di brankarnya, Sinta memandangi ponsel dengan tatapan nanar. "Mba, kamu akan menyesal jika terus menyia-nyiakan Mas Alan dan anak-anak." Lirihnya.
...*****...
Pukul 9 pagi Alan sudah tiba di perusahaan. Dia ada meeting dengan klien dan atasannya untuk membahas proyek pembangunan hotel di Bandung.
"Hari ini terakhir pembersihan lahan seluas 60.000 m². Lusa kita bisa meninjau ke lokasi dan mulai mengerahkan alat berat. Saya sudah menyerahkan semuanya pada Pak Alan." Ucap Pak Hilman, pemilik perusahaan tempat Alan bekerja. Pak Hilman sudah mempercayakan kinerja Alan yang memuaskan dan selalu menghasilkan banyak keuntungan dari resign yang dia buat. Itu sebabnya Pak Hilman juga mengangkat Alan sebagai Manager agar sekaligus mengurus proyek perusahaan.
Salah satu investor atau pendiri hotel langsung mengangguk paham. "Saya akan menghubungi Pak Alan untuk mengatur jadwal ke lokasi. Kebetulan orang-orang kami sedang sibuk minggu ini. Kita bisa mulai minggu depan saja." Tuturnya.
"Baik Pak Edward. Anda bisa menghubungi saya kapan pun." Sahut Alan.
Meeting berakhir sekitar pukul 12 siang setelah mereka makan. Alan langsung pamit undur diri karna harus ke rumah sakit untuk menjenguk Sinta. Adik iparnya biru sudah terlalu lama di tinggal sendirian.
...*****...
Alan membawa makan siang kesukaan Sinta dan segera masuk ke ruangan. Dia dalam ada dokter dan suster yang sedang melakukan visit. Sinta baru saja selesai di cek kondisinya.
"Bagaimana keadaan Adik saya Dok.?" Tanya Alan tanpa basi basi.
"Sudah tidak ada indikasi dehidrasi. Detak jantung dan suhu tubuhnya sudah normal. Suster akan melakukan pemeriksaan lagi pukul 4 sore. Jika kondisinya benar-benar sudah membaik, pasien akan diperbolehkan pulang." Tutur Dokter menjelaskan.
"Terimakasih Dok, suster." Ucap Sinta.
"Sama-sama."
Dokter dan suster itu keluar dari ruangan Sinta.
Alan mendekati brankar dan duduk di sebelah Sinta yang sedang bersandar. "Mas bawa makanan kesukaan kamu, Mas suapin ya." Alan tampak antusias mengeluarkan kotak dari dalam paper bag.
"Mas Alan kok udah pulang.?"
"Hari ini cuma meeting, Mas ijin pulang lebih awal. Lagian nggak ada pekerjaan yang mendesak. Kalau membuat design bisa Mas kerjakan di rumah." Kata Alan seraya menyodorkan makanan ke mulut Sinta.
Sinta tampak lahap menerima suapan demi suapan dari tangan Alan. Sampai pria yang sedang menyuapinya itu menahan senyum.
Sinta menatap dengan kerutan halus di dahinya. "Kenapa senyum-senyum.?" Tanyanya heran.
"Kamu lahap banget makannya. Enak ya di suapin suami orang.?" Goda Alan.
Sinta menjadi cemberut dan memukul lengan besar Kakak iparnya.
"Bukan aku yang minta disuapin.!" Sewot Sinta. Dia kemudian menggeleng ketika Alan menyodorkan makanan lagi ke mulutnya. "Sudah kenyang." Ucapnya datar.
Alan malah tertawa. "Begitu saja marah, Mas cuma bercanda biar kamu rileks. Cukup Mas saja yang tegang kalau lagi berduaan sama kamu." Katanya dengan senyum penuh arti.
Sinta melotot. "Bisa nggak pasang rem mulut biar nggak sembarangan ngomongnya." Bibir Sinta mencebik. Dia kesal sekaligus malu dengan obrolan orang dewasa itu.
"Nggak bisa sayang, kalau lagi sama kamu bawaannya pengen ugal-ugalan." Jawab Alan.
Sinta memutar malas bola matanya. "Terserah Mas Akan saja lah." Ucapnya pasrah.
"Kamu mau mandi dulu nggak sebelum pulang ke rumah.? Biar Mas bantu mandiin, nanti sampai di rumah tinggal istirahat saja." Tawar Akan serius. Dia sedang tidak dalam mode mesum, tulus ingin membantu Sinta membersihkan diri karna belum mandi sejak datang ke rumah sakit.
"Jangan aneh-aneh, ini di rumah sakit." Sinta menggeleng tak habis pikir.
"Kamu saja yang mikirnya aneh-aneh. Kangen ya sama Mas.? Bilang aja mumpung orangnya ada di sini." Alan bicara dengan percaya diri. Senyum jahilnya membuat Sinta ingin menendang kakak iparnya itu.
"Mas Alan jangan bikin aku darah tinggi deh, dari tadi ngeledek mulu."
"Iya maaf, Mas gemes liat kamu marah-marah." Alan mencubit pelan pipi Sinta.
"Anak-anak minta jemput kamu, nanti jam 3 Mas ambil anak-anak dulu di tempat les." Tuturnya.
Sinta mengangguk. "Aku udah kangen banget sama anak-anak." Mata Sinta berbinar karna sebentar lagi akan bertemu dua keponakannya.
Alan mengusap pucuk kepala Sinta dengan sayang. "Makasih sudah sayang dan perhatian sama anak-anak." Ucapnya tulus.
"Zio dan Zia keponakanku, mana mungkin aku nggak sayang dan perhatian sama mereka." Jawab Sinta lantaran Alan terlihat berlebihan berterimakasih padanya.
"Kalau sama Mas, sayang juga nggak.?" Alan menatap Sinta dengan intens. Mata keduanya bertemu dan suasana menjadi hening.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
segala sesuatu karena ada sebabnya sih, tapi ga juga bisa jadi pembenaran Alan tuk main mata sama adik iparnya,,,
2024-07-22
1
Ila Lee
Liana yg salah juga rumah tangga hancur kerana org ketiga jgn salah akan dia lelaki mna tahan kalau tak gituan2 3 hari tak dpt sudah pusing Thor kepala atas bawah🤣🤣🤣
2024-06-17
0
Rabiatul Addawiyah
Lanjut thior 🙏
2024-06-16
0