Liana bangun lebih awal. Wanita yang sudah pulih dari kecelakaan itu mulai melakukan aktivitas seperti biasanya. Dia menyiapkan baju sekolah anak-anak dan pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Tadi malam Liana melarang Sinta agar tidak membuat sarapan lagi, sebab mulai hari ini Liana sendiri yang akan membuat sarapan untuk keluarga kecilnya.
Senyum di bibir Liana merekah, dia tampak menikmati kegiatan pagi ini dengan memasak makanan kesukaan Alan dan kedua anak-anak. Padahal dia hanya 1 minggu di rumah sakit dan bed rest di rumah selama 5 hari, namun Liana merasa sudah sangat lama tidak memasak untuk keluarganya.
"Selesai,," Serunya setelah mena semua menu di atas meja makan. Piring dan gelas juga sudah tertata rapi di sana. Liana benar-benar melakukan semuanya sendiri dengan perasaan bahagia.
Selesai dengan masakannya, Liana lantas membangunkan anak-anaknya untuk menyuruh mereka mandi dan bersiap.
Anak-anak bangun dengan penuh semangat pagi ini. Sudah lama mereka merindukan momen seperti ini, dibangunkan oleh Mamanya dan semua keperluan sekolah juga di siapkan. Lebih dari 1 tahun mereka merasa kehilangan peran seorang Ibu, kini mereka bisa merasakannya kembali.
Liana kembali ke kamarnya karna dia juga harus mandi dan bersiap untuk mengantar anak-anak ke sekolah. Selain mengantar anak-anak, Liana berencana mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai sekretaris. Dia telah mempertimbangkan hal ini dengan matang dan keputusannya adalah berhenti bekerja demi bisa mengurus keluarga kecilnya.
Alan masih tidur ketika Liana masuk ke kamar. Wanita cantik itu mengukir senyum sembari berjalan ke arah ranjang. Dia mengusap sebelah wajah Alan dengan tatapan sendu. Sejak di rumah sakit Liana merasa sikap Alan berubah dingin padanya. Suaminya itu tidak seperti Alan yang dulu. Liana sempat bertanya langsung pada Alan kenapa sikapnya jadi seperti itu, namun Alan dengan tegas menjawab jika sikapnya masih sama seperti dulu.
Gerakan tangan Liana membuat Alan terbangun. Alan reflek menjauhkan wajahnya karna terkejut.
"Kamu sedang apa.?" Tanya Alan seraya mengubah posisi menjadi duduk.
"Mau bangunin kamu, sarapannya sudah siap. Aku mandi dulu, pagi ini biar aku yang antar anak-anak." Jawab Liana pelan. Ada gurat kesedihan di wajahnya karna reaksi Alan yang terlihat tidak suka ketika melihatnya.
"Kamu yakin sudah bisa menyetir.?" Alan tampak ragu dan khawatir. Dia tidak mau membahayakan keselamatan anak-anak.
"Aku baik-baik saja dan bisa menyetir. Kamu tau sendiri aku nggak ingat apapun saat kejadian, sedikitpun nggak ada trauma untuk menyetir lagi." Sahutnya meyakinkan Alan.
Alan akhirnya mengijinkan Liana yang mengantar anak-anak.
...******...
Sinta sedang mencuci baju di lantai dua. Alan bergegas menyusul Sinta setelah mobil Liana keluar dari halaman rumah untuk mengantar anak-anak.
Kedatangan Alan menghentikan kegiatan Sinta untuk sesaat. "Mas Alan butuh sesuatu.?" Tanya Sinta datar. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya dengan memasukan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci.
"Mas udah sewa apartemen buat kamu." Ucapnya memberi tau.
Sinta menoleh dengan tatapan tajam. "Sudah berapa kali Sinta bilang, Sinta nggak mau menuruti permintaan Mas Alan. Minggu depan Sinta memang mau keluar dari rumah ini, tapi bukan untuk tinggal di apartemen. Sinta akan tinggal di rumah Mas Galang dengan Mama juga." Tegasnya.
Sejak kemarin Alan terus menerornya dengan sederet pesan yang menyuruhnya pindah ke apartemen agar mereka bebas bertemu tanpa harus takut ketahuan. Sinta sudah menolaknya berkali-kali, tapi Alan tetap nekat menyewa apartemen.
"Mau nurut sama Mas atau Mas bongkar hubungan kita.?" Ancam Alan dengan wajah datarnya. Namun sorot mata Alan tidak main-main.
"Mas jangan gila. Sekarang Mba Liana sudah berubah, seharusnya Mas Alan nggak butuh aku lagi."
"Siapa bilang Mas nggak butuh kamu lagi.?" Alan terlihat kecewa. "Kamu sendiri yang bilang nggak mau dijadikan pemu as naf su, setelah Mas jatuh cinta, kamu malah seenaknya ingin pisah.?!" Nada bicara Alan mulai meninggi.
Sinta segera menundukkan kepalanya, dia tidak sanggup melihat kekecewaan di mata Alan. Apalagi dia juga merasakan hal yang sama seperti Alan.
Keadaan menjadi hening sesaat. Alan menghampiri Sinta yang masih tertunduk. Dia meraih tangan adik iparnya dengan kuat setelah hampir di tepis.
"Mas cinta sama kamu, tolong jangan tinggalin Mas." Ungkap Alan tanpa ada kebohongan sedikitpun di matanya. Sinta bahkan bisa merasakannya jika Alan sungguh-sungguh.
"Tapi Mas,,,"
Alan langsung memotong ucapan Sinta. "Sayang, Mas harus ngapain lagi biar kamu nggak ninggalin Mas.? Kamu tau sendiri kesabaran Mas cukup buruk. Untuk kali ini, sebaiknya kamu menurut saja." Desaknya.
"Semua orang akan membenci ku jika hubungan kita terbongkar." Ucap Sinta cemas.
"Nggak akan, selagi kamu patuh sama Mas, semuanya akan baik-baik saja." Alan mencoba meyakinkan Sinta.
Janda muda itu tampak tidak berkutik lagi, dia sebenarnya malas jika harus berdebat dengan Alan karna sudah tau akan seperti apa endingnya. Jadi dia memutuskan diam.
"Sini biar Mas bantu cuci." Alan memasukkan baju kotor yang tersisa ke dalam mesin. Sinta hanya diam di tempatnya sampai mesin cuci itu di nyalakan oleh Alan.
"Temani Mas sarapan,," Alan dengan santainya menggandeng tangan Sinta dan mengajaknya turun.
Kini mereka berdua sudah ada duduk di depan meja makan. Alan memang sengaja tidak sarapan bersama dengan Liana dan anak-anak karna ingin sarapan di temani Sinta.
"Di perusahaan sedang membutuhkan staff keuangan. Mas bisa merekomendasikan kamu agar diterima di sana. Bagaimana.?" Tutur Alan antusias. Bekerja satu perusahaan dengan Sinta adalah keinginannya sejak lama.
"Nanti Sinta siapkan CVnya."
Senyum Alan merekah, dia terlihat bahagia karna Sinta setuju bekerja di perusahaan yang sama dengannya.
Alan sudah selesai menghabiskan sarapannya. Sinta membereskan piring bekas makan Alan dan membawanya ke tempat cuci piring untuk di cuci.
Dengan jahil, Alan memeluk Sinta dari belakang. Sinta sempat memberontak, tapi Alan menyuruhnya diam.
"Sinta, bagaimana kalau Mas nggak bisa melepaskan kamu.? Mas benar-benar jatuh cinta sama kamu." Ungkap Alan dan semakin mengeratkan pelukannya.
Sinta menelan ludah dengan susah payah. Jujur dia juga takut tidak bisa melepaskan Alan. Walaupun di depan Alan sering meminta mengakhiri hubungan, tapi sejujurnya Sinta belum siap.
"Seharusnya kita bisa menahan diri sejak awal, jadi nggak seperti ini." Sesal Sinta.
"Sudah terlambat, kita sudah terlalu jauh sayang." Ucap Alan seraya mengecup curuk leher Sinta dan membuat pemilik tubuh itu menegang.
Alan mengulum senyum ketika merasakan tubuh Sinta menegang. Dia kemudian memberanikan diri menyusupkan tangannya ke balik baju tidur Sinta.
"Mas,, nanti ada yang lihat." Sinta mencekal pergelangan tangan Alan agar keluar dari balik bajunya.
"Cuma ada kita berdua disini." Jawab Alan dengan suara yang mulai berat. Dia pria normal, hampir 3 minggu tidak menuntaskan hasratnya membuat Alan tidak bisa menahan dirinya lagi. Alan langsung mengangkat tubuh Sinta dan membawanya ke kamar Sinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
nekat yah si Alan, kalo semua terbongkar pasti yang disalahkan si Shinta
2024-07-22
1
Aprisya
duuuh kok jadi makin riweh kayak gini sih,,
2024-06-19
1
Vanni Sr
liana emg salah tp Alan yg lebih parah . tidak d bneran jg apa lg adik dr istri.. smg tdk mnjdi contoh untk ipar² d luar sna
2024-06-19
0