Bab 13

"Sinta, usia Mama nggak muda lagi. Kamu lihat sendiri belakangan ini Mas mu selalu menemani Mama cek kesehatan ke rumah sakit. Entah Mama bisa melihat kamu menikah dan punya anak atau nggak." Ucap Mama Heni sendu.

Suasana mendadak sunyi. Dua wanita beda generasi itu saling bertatapan. Mama Heni hanya seorang ibu yang mengutarakan kekhawatirannya di usia yang sudah senja. Dia berharap bisa melihat anak-anaknya menikah dan memiliki anak sebelum dia menutup mata. Terutama Sinta, sebab Sinta seorang perempuan yang perlu pendamping untuk menjaganya.

"Mah,,

Meskipun Mama Heni juga khawatir pada masa depan Galang yang belum memiliki kekasih sampai sekarang, tapi kekhawatirannya terhadap Galang tidak sebesar kekhawatirannya pada Sinta. Mungkin karna Galang seorang laki-laki dan dia bisa melindungi dirinya sendiri.

"Mah, Sinta belum siap memulai hubungan baru. Mas Arya juga baru meninggal 1 tahun yang lalu, Sinta masih ingin sendiri." Ucap Sinta ragu.

Saat ini dia bahkan sedang menjalin hubungan terlarang dengan Kakak iparnya. Bohong jika Sinta mengatakan bahwa dia belum siap memulai hubungan baru. Sedangkan dia telah mengambil resiko besar dengan menjadi selingkuhan Kakak iparnya. Itu sebabnya Sinta menjawab dengan ragu, karna dia sadar sudah menjalin hubungan baru, tapi dengan pria yang salah.

"Mama mengerti perasaan kamu, Mama juga nggak akan maksa kamu cari pengganti Arya secepat ini. Tapi kalau nggak di mulai dari sekarang, kapan kamu bisa membuka hati untuk orang lain.? Setidaknya kamu keluar dari zona nyaman ini, coba mengenal dunia luar lagi." Bujuk Mama Heni menasehati.

Mama Heni berharap Sinta menjalani kehidupan seperti sebelum menikah dengan Arya. Paling tidak, mencoba mencari pekerjaan lagi agar bisa bersosialisasi dan bertemu dengan orang luar. Tidak melulu berada di lingkungan keluarga sendiri. Jika terus seperti itu, Mama Heni khawatir Sinta akan semakin menutup hatinya rapat-rapat.

"Kemungkinan Mas mu akan di pindahkan ke kantor pusat 2 bulan lagi, kamu bisa melamar pekerjaan di sana dan kita bertiga akan tinggal di Jakarta juga. Mama sudah tua, Mas mu nggak ngasih ijin Mama tinggal sendirian di kampung." Mama Heni menatap penuh harap pada putri bungsunya. Tidak bermaksud mengatur kehidupan Sinta, Mama Heni hanya ingin yang terbaik untuk putrinya itu.

Sinta mengangguk pelan. "Iya Mah, nanti Sinta pikirkan lagi."

"Nak, Mama bukan sedang memberikan pilihan. Semakin cepat kamu keluar dari rumah Mba mu, itu semakin bagus. Sebenarnya Mama juga mengkhawatirkan rumah tangga Mba mu, hubungan mereka sepertinya kurang baik. Liana terlalu sibuk bekerja dan mengabaikan keluarga. Kalau kamu keluar dari rumah ini untuk bekerja, Mama bisa menyuruh Liana berhenti dari pekerjaannya. Mba mu harus fokus mengurus keluarganya sebelum hubungan mereka semakin buruk."

Sinta terdiam. Ada kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Ekspresi wajahnya juga berubah waspada. Mama Heni sudah menginap di rumah ini selama 5 hari, Sinta khawatir jika hubungan gelapnya dengan Alan mulai tercium oleh sang Mama. Walaupun dia dan Alan sudah sembunyi-sembunyi, tapi siapa yang bisa menjamin Mama Heni tidak tau apapun.

"Baik Mah, nanti Sinta kirim lamaran pekerjaan kalau Mas Galang sudah pasti di pindahkan ke kantor pusat." Ujar Sinta yakin. Dia tidak akan membuat Mama Heni curiga dengan tetap bertahan di rumah ini. Karna kalau kekeuh ingin tinggal bersama Liana, Mama Heni pasti akan semakin bertanya-tanya.

...******...

Rumah tampak sepi karna Mama Heni sudah kembali ke kampung 2 hari yang lalu. Sementara itu, Zio dan Zia sedang les berenang tak jauh dari komplek perumahan. Seperti biasa, Liana ada perjalanan tugas ke luar kota. Dia baru berangkat tadi pagi. Alan juga masih berada di kantor. Biasanya akan tiba di rumah pukul 4 sore.

Di dalam kamar, Sinta mulai menyicil memasukkan baju-baju yang jarang dia pakai ke dalam koper. Dia sudah memutuskan untuk keluar dari rumah Alan dalam waktu dekat. Tidak hanya itu saja, Sinta juga akan mengakhiri hubungan terlarangnya dengan Alan.

Sinta menutup koper kecil yang sudah penuh. Dia menggesernya dan meletakkan di sudut kamar.

"Kamu sedang apa.?" Suara tegas Alan mengagetkan Sinta. Entah sejak kapan Alan masuk ke dalam kamarnya. Tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya.

"Mas Alan kenapa nggak ketuk pintu dulu sebelum masuk, bikin orang kaget aja." Sinta bersikap santai dan beranjak dari sana untuk menutup lemari.

"Kamu belum jawab pertanyaanku." Alan menggenggam pergelangan tangan Sinta.

"Hanya merapikan isi lemari." Sinta menepis pelan tangan Alan. "Ayo keluar, jangan sampai anak-anak pulang dan melihat kita disini." Sinta berjalan ke arah pintu keluar dan Alan mengekorinya.

"Kamu nggak ada niatan pulang ke rumah Mama kan.?" Alan menatap penuh curiga. Dia sangat yakin koper yang baru saja di simpan Sinta berisi baju.

"Nggak mungkin selamanya aku tinggal di rumah ini." Ucap Sinta. Dia pergi ke dapur dan membuatkan teh hangat untuk Alan.

"Jadi benar kamu mau pulang ke rumah Mama.?" Nada bicara Alan sedikit meninggi. Tentu dia tidak percaya dengan keputusan Sinta jika memang akan kembali ke kampung. Padahal dia sudah menawarkan pilihan pada Sinta untuk menyewa rumah atau apartemen yang tidak terlalu jauh dari sini.

"Mas, bagaimana kalau kita akhiri semuanya.? Anggap saja kita khilaf karna sudah melakukan kesalahan besar. Mari kita lupakan kejadian yang sudah terlanjur terjadi. Sinta nggak mau jadi penyebab rusaknya rumah tangga Mba Liana." Suara Sinta tercekat. Matanya bahkan berkaca-kaca. Dia meletakkan cangkir teh yang belum sempat di isi air panas.

"Segampang itu kamu ingin mengakhiri semuanya.? Kamu nggak kasian sama Mas.? Kamu lihat sendiri Liana sibuk dengan dunianya. Sekarang Mas cuma punya kamu yang selalu ada buat Mas." Raut wajah Alan berubah sendu. Ada kesedihan dalam sorot matanya. Dia berharap banyak pada hubungan terlarang ini, sebab bisa merasakan kebahagiaan dan nyaman bersama Sinta.

"Tapi kita salah Mas, Sinta juga nggak mau di benci semua keluarga Sinta gara-gara masalah ini. Sinta nggak sanggup kehilangan keluarga. Cuma mereka yang Sinta punya di dunia ini." Jelasnya.

Alan menggelengkan kepala. "Mas nggak mau tau, kamu harus tetap di samping Mas apapun yang terjadi.!" Tegas Alan penuh penekanan.

"Sinta nggak bisa Mas, maaf." Sinta memilih pergi dari hadapan Alan karna tidak mau berdebat lagi.

"Kalau kamu berani mengakhiri hubungan kita, Mas akan bongkar semuanya. Lebih baik mereka tau sekalian dan kita bisa hidup bersama.!" Seru Alan dengan nada ancaman.

Sinta berhenti di tempat. Dia dalam situasi yang sulit saat ini.

"Mas nggak main-main, kamu lihat saja kalau berani mengakhiri semuanya.!" Serunya kemudian pergi dari sana dan melewati Sinta begitu saja.

Alan meninju dinding kamarnya untuk melupakan amarah. Dia tidak marah pada Sinta, namun marah pada keadaan yang membuatnya jadi rumit seperti ini.

Terpopuler

Comments

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

jangan berani bermain api makanya kalo takut kebakar Alan,,,

2024-07-20

0

Ila Lee

Ila Lee

alan jgn egosi kamu punya keluarga kaku benar sudah serasi dengan Sinta cerai kn Liana selesai

2024-06-14

0

Ummi Yatusholiha

Ummi Yatusholiha

kok mas alan bingung sih,kan tinggal akhiri saja hubungan dengan liana klo memang gak mau pisah dari sinta

2024-06-14

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!