Alan keluar rumah selepas menitipkan anak-anak pada ART tetangganya. Sekarang kedua anaknya ada di kamar masing-masing di temani oleh wanita paruh baya. Tadi Alan sempat mandi dan mengemasi beberapa baju ganti dan keperluan Sinta selama di rumah sakit. Dia sudah bersiap kembali ke rumah sakit untuk menjaga Sinta. Tapi sebelum melakukan mobilnya, Alan lebih dulu menghubungi Liana. Panggilan pertama dan kedua tidak di jawab, Liana baru mengangkat panggilan ketiga dari Alan.
"Ya kenapa Lan.?" Tanya Liana datar.
"Sinta masuk rumah sakit. Apa kamu nggak bisa pulang sekarang dan ambil cuti untuk menjaga anak-anak di rumah.?" Nada bicara Alan sama datarnya. Dia tampak terpaksa menghubungi Liana dan meminta istrinya itu untuk cuti. Terakhir kali Alan meminta Liana cuti beberapa hari, istrinya itu banyak alasan dan berakhir tetap sibuk bekerja.
"Sinta sakit.? Sakit apa.? Kemarin malam dia masih sehat." Ada kecemasan dalam nada bicara Liana. Dia memang Istri dan Ibu yang lalai pada tugasnya, tapi masih memiliki kepedulian yang besar pada saudaranya.
"Dehidrasi dan kelelahan. Anak-anak menunggu kamu di rumah, sebaiknya besok pagi kamu pulang sebelum anak-anak berangkat sekolah." Ucap Alan memerintah.
"Mana bisa begitu, aku sedang tugas di luar kota dan nggak bisa seenaknya meninggalkan pekerjaan. Kemungkinan 2 hari lagi baru pulang." Jawab Liana keberatan.
"Kamu nggak mikirin anak-anak.?! Besok pagi aku ada meeting yang nggak bisa di tunda. Siapa yang akan mengurus anak-anak di rumah.!" Nada bicara Alan naik satu oktaf. Dia sudah menduga akan seperti ini. Sebenarnya bisa saja dia tidak menghubungi Liana karna ART tetangganya bersedia menjaga anak-anak selama beberapa hari ke depan. Alan hanya ingin melihat pengorbanan Liana sebagai seorang Ibu untuk menjaga dan mengurus anak-anak mereka. Nyatanya Liana masih memprioritaskan pekerjaan.
"Kenapa nggak kamu saja yang cuti. Lagian aku nggak bisa pulang dadakan, banyak pekerjaan yang belum selesai." Liana ikut menaikan nada bicaranya meski tidak setinggi Alan.
"Percuma bicara sama kamu.!" Kesal Alan dan memutuskan sambungan telfonnya.
Dengan perasaan kesal, Alan mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit. Dia sempat berhenti di supermarket untuk membeli buah dan roti dan minuman.
...*****...
Alan membuka perlahan pintu kamar inap Sinta. Adik iparnya itu sedikit terkejut melihat Alan karna benar-benar datang lagi untuk menemaninya di rumah sakit. Belum lagi barang bawaan di tangan Alan yang begitu banyak.
"Anak-anak bagaimana Mas.? Mereka nggak nangis Mas tinggal kesini.?" Tanya Sinta begitu Alan menutup pintu. Dalam keadaan sakit seperti itu, Sinta masih saja memikirkan anak-anak. Beda sekali dengan Liana.
"Aman. Mereka malah nyuruh Mas nemenin kamu disini sampai sembuh." Jawab Alan seraya meletakkan barang bawaannya di sofa.
"Jatah makan malamnya belum di antar ya.?" Alan mengedarkan pandangan dan tidak mendapati ada makanan di sana. Sinta menggeleng sebagai jawaban.
"Mas cuma bawa buah-buahan sama roti. Kamu pengen makan apa biar Mas beliin di depan rumah sakit." Alan duduk di pinggiran brankar dan menatap Sinta dengan lembut penuh perhatian.
"Yang Mas Alan bawa saja. Mas Alan nanti cape kalau bolak-balik."
Alan mengangguk dan beranjak mengeluarkan makanan yang dia bawa. Dia juga mengeluarkan ponsel milik Sinta dari dalam tas.
"Mas bawain hp kamu, siapa tau kamu bosen jadi bisa main hp." Kata Alan seraya memberikan ponsel itu pada Sinta.
Senyum haru terbit di wajah cantik Sinta. Bagaimana dia tidak jatuh cinta pada Kakak iparnya. Alan penuh perhatian meski terkadang keras dan semaunya.
"Makasih Mas. Sinta juga minta maaf karna sudah ngerepotin Mas Alan." Lirih Sinta. Alan pasti pusing memikirkan dia dan anak-anak dalam keadaan seperti ini.
"Siapa bilang Mas repot, Mas senang bisa merawat kamu. Waktu Mas sakit, kamu juga yang merawat Mas." Alan memberikan roti yang sudah dia buka bungkusnya. Sinta hanya tersenyum. Dia memakan roti dari Alan.
"Mas Alan nggak makan.?"
"Sebenarnya Mas pengen makan juga, tapi yang mau Mas makan lagi sakit." Seloroh Alan santai.
Mata Sinta melotot dengan kedua pipinya yang sudah merona. "Mas.!" Tegur Sinta malu.
Alan terkekeh renyah. "Bercanda." Tangannya terulur dan mengacak gemas pucuk kepala Sinta.
"Mas udah makan di rumah, di dapur masih ada masakan kamu, sayang ada makanan enak nggak di makan." Tutur Alan.
Pipi Sinta makin merona dibuatnya. Ada perasaan bahagia dan bangga yang sulit di jelaskan. Alan sangat menyukai masakannya dan tak pernah absen memuji masakannya.
"Anak-anak sudah makan juga.?"
"Sudah, tadi anak-anak minta mampir ke restoran sebelum pulang. Makanya Mas baru datang sekarang."
Sinta menghela nafas lega. Anak-anak sudah di urus dengan baik oleh Alan.
...******...
"Cuma dehidrasi Mah, ini juga sudah sehat kok. Mungkin nanti sore sudah boleh pulang." Jawab Sinta melalui sambungan telfonnya.
Pagi-pagi sekali Mama Heni sudah menghubungi Sinta begitu tau putri bungsunya di larikan ke rumah sakit.
"Syukurlah. Mama sebenarnya ingin pergi ke Jakarta, tapi Mas mu melarang karna Mama pergi sendiri. Mas mu sedang sibuk, ada proyek." Lirih Mama Heni sedih.
"Sinta nggak sakit parah, Mama jangan khawatir."
Sinta dan Mama Heni masih fokus mengobrol. Mereka membicarakan banyak hal sampai panggilannya berlangsung cukup lama. Sementara itu, Alan tampak nyaman memeluk tubuh Sinta dari belakang sambil memejamkan mata. Semalaman dia dan Sinta tidur di atas brankar yang sama. Walaupun Sinta sudah melarangnya, tapi Alan tetaplah Alan yang pemaksa. Dia lebih suka tidur berhimpitan di kasur yang sempit demi tidur bersama Sinta.
"Udah nelfonnya.?" Tanya Alan ketika suasana berubah hening.
"Sudah."
"Kamu nggak pengen ke kamar mandi.? Sejak kemarin sore Mas nggak liat kamu ke kamar mandi. Bilang saja kalau mau ke kamar mandi, nanti Mas temenin sampai ke dalam." Ada nada menggoda di akhir kalimat. Sinta merespon dengan menyikut perut Alan di belakangnya.
"Kenapa pikiran laki-laki selalu mesum." Protes Sinta.
"Sudah dari sananya. Mas juga nggak tau." Alan menjawab dengan santai.
"Makanya Mas sering melarang kamu keluar rumah pakai baju ketat. Karna yang ada dipikirkan laki-laki bisa terlihat telan jang walaupun dibalut kain ketat." Jelasnya sembari mengeratkan pelukannya pada Sinta.
"Berarti Mas Alan juga begitu.?" Tanya Sinta penasaran.
"Semua laki-laki normal bisa punya imajinasi seperti itu. Kecuali laki-laki kaum tulang lunak, dia liat wanita telan jang sekalipun nggak akan ada pikiran macam-macam." Kata Alan.
"Semua laki-laki sama saja." Cibir Sinta tak habis pikir.
Alan hanya terkekeh. Sinta tidak tau saja isi kepala laki-laki lebih parah dari yang dia katakan tadi.
Suasana kembali hening sesaat.
"Mas.?" Panggil Sinta pelan.
"Iya sayang.?" Alan menjawab penuh kelembutan.
"Jangan kebiasaan panggil sayang, nanti kalau keceplosan di depan orang bagaimana." Nada protes Sinta penuh kekhawatiran.
"Tapi Mas sayang kamu, masa nggak boleh panggil sayang."
"Diem Mas.! Aku nggak ngomong lagi." Kesal Sinta. Alan sangat hobi membuatnya kesal.
"Sayang,, sayang,, sayang,," Alan malah sengaja bicara di dekat telinga Sinta. Dia kemudian tertawa lantaran Sinta menutup telinga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Endang Priya
Alan kenapa kamu gak duluan sih. yg membuka omongan ke Liana. karna ternyata Liana SDH lebih dulu selingkuh.
2024-08-13
0
Sugiharti Rusli
memang si Alan yah ini,,,
2024-07-20
0
Ila Lee
kesian alansuami yg baik tapi Liana lebih memilih kerjaya nya dari rumah tangga dan ank2 siapa yg salah Thor dicini
2024-06-17
0