Kepedulian Istri

Tasila menangis terisak-isak sambil meringkuk tubuhnya. Ia tak menyangka perjuangannya selama ini akan hancur pada detik ini. Ia yang mengganggap dirinya telah sukses menjadi seorang ustadzah muda dan mengajarkan banyak ilmu kepada murid juga santri-santrinya, kini telah kehilangan pekerjaan mulianya dan harus terjebak dirumah ini.

Dahlan, seorang pemuda yang Ia anggap Pria baik dan mampu menerima segala kekurangannya ternyata tidak lebih dari laki-laki bermulut pedas. Aura Dahlan benar-benar sudah berubah dimatanya. Dari calon suami idaman kini berubah menjadi laki-laki penuh asam.

"Ya Allah entah keputusan apa yang telah hamba ambil. Hamba tidak tau kenapa hamba semalam berfikir jika menerima pernikahan ini lebih baik daripada hidup tanpa atap."

Tasila semakin mengkhawatirkan nasibnya. Selama ini hidupnya selalu direndahkan orang lain. Bahkan setelah dirinya gemar berdakwah hinaan itu masih turut hadir menghantam mentalnya. Entah dari orang terdekat ataupun orang-orang yang tak sengaja mendengar gosip.

"Apakah disini aku akan direndahkan juga? Kenapa aku berani sekali mengambil keputusan seperti ini? Orang-orang tak berkasta saja berani merendahkan ku apalagi Pak Gezze yang memiliki kasta tinggi. Entah akan jadi apa aku disini kedepannya."

Tasila semakin frustasi dengan pikirannya sendiri. Memang hal itu belum terjadi kepadanya namun entah kenapa setelah kejadian kelam di dalam hidupnya, membuatnya tidak bisa berfikir jernih selain menyangka hal itu akan terjadi lagi untuk masa depannya.

Pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok laki-laki berjas hitam berjalan menghampiri Tasila dengan wajah dinginnya. Tasila melirik sekilas dan menunduk dengan sedikit perasaan takut.

"Bisa tolong gantikan perban diperut saya?" Gezze mendudukkan dirinya di tepi ranjang seraya membuka stelan jasnya.

Tasila menghapus air matanya dan mengangguk seraya mengambil kotak P3K yang Gezze letakan di atas kasur.

Tasila pun berjongkok didepan perut Gezze dan dengan telaten mencopoti satu persatu perban yang masih menempel.

"Sssh..." Gezze mendesis ketika merasakan perih.

"M__maaf Pak saya akan lebih hati-hati lagi."

Tasila pun lebih melembutkan sentuhannya lagi. Gezze memperhatikan kegiatan Tasila dengan wajah datarnya. Ia pun mengamati wajah sembab perempuan itu yang sepertinya baru saja selesai menangis.

"Udah selesai Pak." Tasila bangun dari posisi jongkoknya dan tersenyum kecil.

"Saran saya Bapak jangan banyak gerak dulu soalnya jahitannya belum kering sepenuhnya. Khawatir nanti bakalan kebuka lagi dan penyembuhannya akan semakin lama. Kalo Bapak butuh apa-apa Bapak boleh minta tolong saya, bagaimanapun juga saya ini istri Bapak dimata hukum dan agama jadi saya wajib mengurus Bapak semampu saya." Tasila menunduk tanpa menatap Gezze.

Jujur saja Ia sebenarnya masih belum berani menatap terang-terangan wajah Gezze walaupun sudah halal baginya.

Gezze menyodorkan kemeja putihnya kepada Tasila. Tasila mengernyitkan dahinya seraya menerima kemeja tersebut. Gezze meluruskan lengannya sebagai isyarat bahwa Ia ingin Tasila membantunya memakaikan kemeja itu. Tasila yang faham pun mulai membantu sang suami untuk kembali memakai kemeja putih tersebut dan mengancingnya satu persatu.

Saat Tasila sedang fokus merapihkan kerah bajunya, Gezze dengan iseng menarik dagu Tasila hingga wajah keduanya sejajar. Gezze menatap mata cokelat Tasila teduh.

"Apa yang kamu sukai dari wajah saya?" Tasila mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan Gezze.

"Hidung mungkin,"

"Kenapa?" Gezze menatap Tasila dengan satu alis terangkat.

"Saya menyukai laki-laki berhidung mancung." Tasila mengatupkan bibirnya setelah mengatakan itu.

Gezze mengangguk-angguk mendengar itu sambil matanya memperhatikan wajah Tasila yang kini kembali fokus merapihkan bajunya.

"Sudah selesai." Tasila berdiri tegak sambil memperhatikan penampilan Gezze.

Dreet... Dreet...

Gezze merogoh handphonenya di dalam saku celana dan langsung mengangkat panggilan yang masuk.

"Apa? Brengsek!"

Tasila mengedip keras lantaran terkejut mendengar bentakan Gezze pada orang di sebrang telepon.

Tanpa mengatakan apapun Gezze langsung beranjak dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Tasila memperhatikan kepergian Gezze dengan raut khawatirnya. Padahal Ia sudah memperingatkan agar Gezze tak banyak gerak dulu namun, sepertinya laki-laki itu akan pergi keluar karena panggilan telepon tadi.

****

Matanya memandangi plastik berisikan obat-obatan yang kini sedang dipegangnya. Niatnya Ia ingin memberikan obat-obatan tersebut kepada seseorang namun nampaknya orang yang menjadi tujuannya tak kunjung terlihat juga sampai saat ini.

"Bi, Pak Gezze belum pulang ya?" Tasila bertanya kepada salah satu maid.

"Belum Nyonya."

"Biasanya pulang jam berapa?"

"Jam satu atau, gak pulang juga sering."

Tasila mengigit bibir bawahnya gelisah. Bukan apa, tapi ini soal luka di perut laki-laki itu yang belum sembuh total. Ditambah lagi laki-laki itu belum meminum obatnya.

Walaupun Gezze memakai perawatan ekstra yang tingkat kesembuhannya lebih cepat namun, tetap saja waktu istirahat sangat diperlukan untuk seseorang yang sedang sakit.

Ia pun memutuskan untuk mendudukkan dirinya di atas sofa ruang tengah sambil menunggu kepulangan Gezze. Bagaimanapun juga Ia harus mengingatkan laki-laki itu untuk meminum obatnya.

Mata segarnya perlahan mulai menurun hingga tertutup sepenuhnya. Bagaimana Ia tidak mengantuk sedangkan jarum jam sudah menunjukkan pukul 12:00.

Satu jam kemudian pintu masuk terbuka dan menampilkan sosok Gezze dengan roman yang kurang enak dilihat. Dia nampak lusuh dan kelelahan.

Langkahnya terhenti saat atensinya tak sengaja tertuju pada sosok perempuan berhijab cream yang sedang tidur di atas sofa.

"Tuan." Salah satu maid menghampiri dan mengambil alih tas yang dibawa Gezze.

"Bi, kenapa Tasila tidur disitu?"

"Oh, tadi Nyonya nungguin Tuan pulang. Mau ngingetin tuan minum obat. Obatnya juga masih di pegang itu. Kalau begitu saya permisi tuan."

Gezze berjalan mendekati Tasila dengan perlahan sambil memperhatikan wajah tidur perempuan itu.

"Kalo boleh jujur, saya terharu sama tindakan kamu. Seumur hidup tidak pernah ada satupun orang yang peduli dengan kesehatan saya." Gezze tersenyum penuh arti.

"Harusnya tidak akan terjadi apa-apa jika hanya menggendong tubuh mungil kamu." Gezze membungkuk seraya mengangkat tubuh mungil Tasila dan menggendongnya ala bridal style.

Gezze meringis sejenak merasakan perih diperutnya. Namun Ia menarik nafas dalam dan mulai melangkah dengan hati-hati menuju kamar Tasila.

Sesampainya di kamar, Gezze pun meletakkan tubuh Tasila ke atas kasur dengan hati-hati agar perempuan itu tak sampai terbangun.

"Aaghh..." Gezze sejenak memegangi perutnya.

Gezze pun mengambil plastik obat yang masih setia dipegang Tasila dan membawanya pergi untuk Ia minum di luar.

****

Kelopak mata yang tertutup itu mengerjap-ngerjap dan perlahan terbuka menampilkan pupil mata cokelat beningnya. Ia terdiam sejenak seperti merasakan keanehan.

"Loh, bukannya aku terakhir ada di sofa ya?"

Tasila terbangun dari posisi baringnya dan celingukan ke sekitarnya. Ia bingung kenapa bisa Ia tiba-tiba berada didalam kamar. Tasila menatap jam weker di atas nakas yang ternyata sudah menunjukkan pukul 04:00.

Pantas saja Ia terbangun ternyata memang sudah jamnya. Tasila memang selalu bangun di jam 04:00 tanpa alarm. Mungkin karena Ia sudah terbiasa jadi alam bawah sadarnya seolah-olah sudah mengatur alarmnya sendiri.

Tasila pun beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Selesai sholat Tasila memutuskan untuk keluar kamar. Biasanya pagi-pagi seperti ini Ia akan memasak untuk keluarga Pakdhenya tapi disini Ia belum tau kegiatan paginya seperti apa.

"Apa aku bantuin bibi masak aja ya? Rasanya gak enak pagi-pagi gini nganggur." Tasila pun melangkahkan kakinya menuju dapur.

Ia celingukan ke sekitar yang nampaknya masih sepi dan belum ada tanda-tanda kehidupan manusia.

"Apa bibi belum bangun ya?" Pikir Tasila.

Ia pun mengedikkan bahunya seraya membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan-bahan mentah.

"Astagfirullah hala'dzim." Tasila terkejut bukan main saat Ia telah menutup kulkas dan berbalik badan tiba-tiba saja ada sosok tinggi berdiri dibelakangnya.

Saking terkejutnya Ia refleks melepaskan genggamannya pada telur yang sedang Ia pegang.

"A__ M__maaf Pak." Tasila kalang kabut melihat lantainya kotor dengan pecahan telur.

Gezze hanya diam menatapnya dingin. Tasila berfikir pasti kini Gezze sedang menyimpan amarah kepadanya. Pasti laki-laki itu emosi melihat lantainya kotor.

"S__saya bersihkan lantainya dulu ya Pak." Tasila menunduk dan berjalan melewati Gezze.

Tasila pun kembali dengan membawa kain lap kotor, serokan kecil dan alat pel lantai. Ia melihat jika Gezze kini tengah duduk di depan meja makan sambil meneguk segelas air. Tasila merasa bersyukur laki-laki itu masih santai.

Tasila pun berjongkok dan mulai membersihkan pecahan telur itu. Setelah selesai Tasila pun mencuci tangannya hingga bersih dan memulai aktivitas memasaknya.

Gezze sedari tadi masih duduk diam ditempatnya sambil memperhatikan Tasila memasak. Jujur, dalam hati sebenarnya Tasila merasa grogi diperhatikan Gezze, Ia takut berbuat kesalahan dan akhirnya membuat laki-laki itu marah.

Tangannya terlipat santai. Entah kenapa Gezze merasa senang melihat perempuan itu pagi ini.

'Saya senang kamu baik-baik saja di tempat saya.' Batin Gezze.

Tak lama kemudian Tasila pun membawa hasil masakannya menuju meja makan tempat dimana Gezze sedang duduk sekarang.

"Silahkan Pak."

Terpopuler

Comments

jaran goyang

jaran goyang

𝑚𝑜𝑔𝑎 𝑘𝑚 𝑏ℎ𝑔𝑖𝑎 𝑠𝑦𝑔 ... 𝑗𝑔𝑛 𝑝𝑠ℎ 𝑟𝑛𝑗𝑔... 𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑙ℎ 𝑘𝑘... 𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑎𝑚𝑖 𝑖𝑠𝑡𝑟 .... 𝑑𝑎 ℎ𝑘𝑚 𝑛𝑦 𝑑𝑙𝑚 𝑎𝑔𝑚𝑎

2024-05-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!