Bab 18

Pesta pernikahan yang jauh dari yang aku bayangkan untuk bisa aku alami. Ya, aku menikah dengan pria kaya yang belum pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Ya, pesta pernkahanku diadakan di sebuah taman. Ya, tamu undangannya tidak banyak, hanya keluarga dan teman-teman dekat. Ya, aku memakai gaun putih sederhana dan tidak seksi. Ya, makanannya enak-enak. Itu semua pernikahan impianku, tapi tidak dengan suasana yang canggung dan palsu seperti itu.

Ingin rasanya aku menangis mengingat semua prosesi pernikahan sepanjang hari ini. Inikah pernikahan yang akan aku jalani? Aku merasa bersalah kepada Mamaku yang mungkin merasakan kalau kebahagiaanku adalah kebahagiaan palsu, kalau aku berpura-pura.

Calon suamiku, eh, suamiku sekarang, hampir tidak bicara denganku sama sekali. Dia mengeluarkan suaranya hanya untuk janji pernikahan dan menyapa Mama, selain itu dia diam saja. Siapapun bisa menduga kalau kami bukan pasangan suami istri nyata.

Aku capek, hati dan pikiranku terasa lelah. Ingin rasanya segera kembali ke kamar saat ini juga dan menangis di antara bantal-bantal putih di ranjang, tapi aku masih harus menemui Mama. Aku ingin tidur di sampingnya malam ini dan mendapatkan ketenangan, tapi jika aku melakukannya, akan membuat situasi semakin canggung dan Mama akan curiga.

Ingin sekali aku menangis dan tidak kemanapun besok hari.

Terasa ada yang melintas di pipi kiriku menuju dagu, terasa hangat. Sekarang pipi kananku pun terasa basah dan hangat. Air mata semakin membanjiri pipiku, aku tidak bisa berhenti. Aku hanya ingin menangis, tolong, kali ini saja. Aku ingin menangisi diriku yang memilih pilihan bodoh ini, aku ingin menangisi hal yang akan terjadi di depanku.

Ketokan di pintu membangunkanku pagi ini. Aku menuju pintu dan mendapati wajah Maria berubah dari tersenyum ke kaget melongo.

“Kamu tidak ganti baju semalam?” tanyanya menatapku dari ujung kaki dan berhenti di wajahku.

Aku memandang ke bawah dan melihat gaun putih yang aku kenakan setelah acara pemberkatan kemarin masih terbalut di badanku. Aku kaget.

“Kamu menangis?” tanyanya lagi menatap mataku.

Benar, aku menangis sejadi-jadinya semalam hingga ketiduran, bahkan tidak mengganti bajuku.

Akutidak berkata apa pun, aku memandangnya dan bertanya, “Ada apa?”

Seperti tidak melihat apapun, dia menjawabku, “Sarapan.” Dan dia pun berlalu.

Aku kembali ke kamar, segera mandi dan mengenakan  baju apa saja yang terlihat oleh mataku. Aku melangkah pelan menuju ruang makan villa dan berhenti tepat setelah aku melihat Mama sedang duduk bicara dengan si pengacara.

 Aku lupa ada Mama. Ketika hendak berbalik ke kamar untuk mengganti baju, Mama bersuara, “Embun, mau ke

mana?”

Kaki kiriku yang sudah memutar balik, kembali berputar menghadap ruang makan. Dengan senyum lebar di wajahku, aku menjawab, “Mau ambil ponsel, ketinggalan di kamar.”

Aku berbalik dan bergegas kembali ke kamar. Aku menatap cermin, tampangku seperti anak SD yang baru bangun tidur, berantakan. Aku mengganti baju dengan yang lebih pantas dan bergabung untuk sarapan.Tadinya aku mengenakan kaos oblong oversize dengan celana tidur, sekarang aku mengenakan kaos body fit dengan kulot satin hitam. Begini lebih pantas. Aku bahkan memakai sedikit bedak dan lip balm dan mengikat rambutku yang tadinya kubiarkan tergerai.

Suamiku tidak ada. Aah… sungguh janggal mengatakan ‘suamiku’. Rasanya pernikahan kemarin hanya mimpi saja.

“Suamimu mana? Belum bangun?” Mama menatapku lekat saat aku duduk di sampingnya. Jangan sampai Mama melihat mataku yang bengkak, tapi kalau ditanyapun, aku sudah menyiapkan jawaban, yang tentu saja tidak benar. Semoga Mama tidak bertanya sehingga aku tidak perlu berbohong. Tapi, pertanyaan yang ini tidak aku sangka, aku bingung harus menjawab apa.

Haruskah aku katakan dia masih tertidur, atau sebentar lagi dia kemari? Di mana dia?

“Sayang sekali dia tidak dapat bergabung pagi ini. Dia mendapat telepon darurat yang mengharuskannya pergi. Jika pekerjaannya selesai, dia akan kembali ke sini dan menemui Tante.” Sela di pengacara dengan nada bicara yang halus. Aku bahkan tidak menyangka kalau itu suaranya. Bisa juga dia bersikap manis.

“Kenapa dia tidak ambil libur, ini ‘kan masih perayaan pernikahannya?” Mamaku heran.

Juru bicaraku menjawab lagi untukku, “Ada hal yang hanya bisa diselesaikan olehnya, karena itu dia harus pergi. Tadi dia minta saya untuk meminta maaf kepada Tante, karena tidak bisa menemani Tante selama berada di sini.”

Hebat sekali. Aku bertepuk tangan dalam hati. Pintar sekali dia berbohong. Aku memandangnya mencela, dia segera mengalihkan pandangan  ke sarapan di depannya. Suamiku tidak ada di sini bukan karena pekerjaan darurat yang harus diurusnya, tapi karena di kesepakatan, dia hanya akan hadir saat hari pernikahan dan setelah itu aku tidak akan bertemu dengannya lagi.

Pagi ini terasa seperti seminggu. Mama mengajukan seribu pertanyaan yang membuatku kewalahan. Tumben sekali Mama cerewet seperti ini. Apakah Mama curiga dengan situasi yang janggal ini? Bagaimana pun Mama telah melewati banyak pengalaman hidup dan lebih mengerti dari aku. Semoga Mama tidak kuatir denganku dan membuatnya berpikir yang aneh-aneh.

Mama tinggal bersamaku selama seminggu ditemani teman baikku, Maria dan si pengacara. Keluargaku yang lain tidak bisa hadir, karena sibuk dengan persiapan Natal dan akhir tahun. Sekarang Mama akan pulang. Berat rasanya melepas Mama. “Mama, bagaimana kalau Mama tinggal saja di sini denganku?” tawarku 2 hari sebelumnya.

“Mama tidak bisa. Mama tidak terbiasa dengan kehidupan di sini. Mama tidak punya teman di sini.” jawab Mama pelan dan aku sangat mengerti.

Mama sudah lanjut usia dan konservatif. Mama lahir dan tinggal di kampung seumur hidupnya. Ini pertama kalinya Mama keluar jauh dari kampung halaman, lalu dihadapkan pada situasi yang sangat berbeda dengan di kampung. Di kampung Mama punya keluarga besar, teman-teman, persekutuan dan lingkungan sosial. Di sini Mama hanya punya aku. Mama akan kesepian dan stres dengan tidak adanya hal yang biasa dilakukan di kampung.

Aku memeluk Mama dengan erat dan lama ketika Mama akan masuk ke dalam pesawat. Air mataku terasa akan

jatuh dari kantongnya, tapi aku tahan, kalau tidak, Mama akan menangis jugadan bersedih sepanjang jalan.

Aku terus berada di depan kaca lounge bandara, menatap pesawat yang ditumpangi Mama, berharap dapat melihatnya dari jarak sejauh ini. Pesawatnya naik dengan pelannya, lalu semakin jauh, semakin kecil dan tidak tampak lagi. Aku semakin emosional.

“Mari, Nyonya.” Ajak Assis yang telah berdiri di sampingku. Aku hanya mengangguk.

Perjalanan kembali terasa semakin emosional. Setiap pohon dan rumah yang kupandang terlihat muram, seolah mereka juga merasakan kesedihanku. Sekarang aku akan menjalani kehidupan rumah tanggaku sendiri, yang benar-benar sendiri.

“Jam 10.25 besok, kita kembali ke Geneva.”

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

hai Thor aku mampir niih

2024-05-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!