Bab 8

Ketika sedang menunggu Gojek, pikiranku sibuk berkutat tentang pertemuanku dengan si tak tahu malu. Yang kupikirkan bukan teka-teki alasan dia menawariku pertemuan ini, tapi seperti apakah orangnya? Bagaimana tampangnya? Benarkah seperti foto profilnya? Atau lebih tampan lagi,atau jangan-jangan…. Ya, ampun, berhenti

sampai di situ.Kenapa itu yang kupikirkan?

Bagaimanakah sifatnya? Apakah cara bicaranya akan selalu langsung ke intinya seperti bahasa di pesannya Jangan-jangan rambutnya sudah putih semua dan berjalan dibantu tongkat jalan? Oh, tidak. Stop, stop….

"Mbak Embun?” secara ajaib, seorang pria sudah berada tepat di depanku dengan ponsel di tangan kirinya dan tangan kanannya memegang stang motor.

“Apa?” aku hanya melongo.

“Mbak Embun, bukan?” tanyanya lagi tidak yakin.

“Oh, ya, ya, benar, aku Embun.” jawabku tersadar dari lamunanku, kali ini memandang fokus si abang-abang driver Gojek.

“Pakai helm?” Entah dia bertanya atau menyuruh aku memakai helm, karena tangannya sudah terulur dengan helm

berwarna hitam hijau dengan logo Gojek.

“Iya,” sekenanya aku menjawab dan mengambil helmnyadan duduk di bagian belakang motor.

Semenit berikutnya aku tidak merasakan sengatan sinar matahari jam 12 siang yang sedang gencar-gencarnya membagi sinar ultra violetnya, bahkan tidak mempedulikan olengnya motor yang kutumpangi sampai saat aku yang tidak berpegangan hampir meloncat terbang dari motor ketika si abang-abang sukses melewati lobang jalan dengan kecepatan mungkin 100km/jam

Sontak aku langsung bereaksi, “Hati-hati dong, Bang.”

Si abang diam saja, bahkan tidak meminta maaf. Tunggu saja setelah aku turun, bintang satu sudah menunggu.

Aku turun di depan Dunkin Donuts 10 menitan kemudian dengan jantung berdebar. Seperti apakah dia? Baju

apa yang dikenakannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus membayangiku.

Mataku bergerak ke kanan ke kiri ketika membuka pintu kaca kedai yang bertulisan ‘PUSH’. Tidak terlihat seorang pun. Tunggu, di pojok kanan belakang tiba-tiba muncul sebuah kepala, yang ternyata tadinya sedang menunduk, mungkin mengambil sesuatu yang jatuh di lantai. Rambutnya hitam putih, badannya gemuk. Apakah itu dia? Setua itukah? Segemuk itukah?

Semakin banyak yang berkelebatan di pikiranku. Tiba-tiba aku mendengar suara penjaga toko menyambut, “Selamat siang. Silakan!”

Semua pertanyaan yang berkelebatan di kepalaku buyar dan aku langsung menjawab, “Selamat siang juga.”

Aku melangkah ke rak penuh donut di sebelah kiri pintu. Biasanya mataku hanya akan mencari donut berwarna

cokelat , tapi hari ini aku hanya fokus ke pertemuanku. Tidak terpikirkan olehku untuk mengambil donut jenis apa. Tapi, di manakah dia?

Ponselku kukeluarkan dari dalam tas dan melihat jamnya: 12.17. Ya, ampun, masih ada sekitar dua jam lagi dari waktu pertemuan. Aku lupa pada jamnya, yang aku ingatadalah aku akan bertemu dengannya di jam makan siang.

Loyo rasanya. Tapi, tidak mungkin aku keluar lagi. Sekarang aku harus menunggunya sambil makan siang ringan. Tidak ringan juga, satu donut Dunkin Donuts cukup membuatku kenyang. Apalagi ditambah secangkir Hazelnut Latte. Uhm... ternyata aku masih bisa santai memikirkan makanan juga.

Tanganku bergerak ke donut berwarna kuning lengkap diisi mata dan mulut berwarna cokelat. Jangan, donut smiley tidak akan cocok dengan Hazelnut Latte. Aku mengambil donut biasa dengan topping meises cokelat dan menuju kasir, memesan minum, membayar dan mencari tempat duduk.

Aku melangkah ke bagian belakang kedai. Oh, iya, pria beruban itu duduk di sebelah kanan belakang, bukan di bagian kiri belakang. Kenapa aku berpikir pria itu si tak tahu malu? Haruskah aku duduk di tempat yang disarankan?

Di kursi ketiga dari depan menghadap ke pintu masuklah aku duduk, tidak berniat duduk di tempat duduk yang disarankan si pria tak tahu malu itu.

12.31. masih satu setengah jam lagi.

“Permisi.” Pelayan datang membawakan Hazelnut Latteku lengkap dengan satu gula sachet.

Aku makan dan minum sangat pelan, berusaha mengulur waktu yang saat ini terasa sangat lambat berjalan. Tak berhenti aku membuka profilnya si tak tahu malu, kubaca semua datanya berulang kali, tapi, tidak banyak yang aku simpulkan. Profilnya minim informasi. Lalu, kenapa aku ada di sini, sangat nekad bertemu dengan entah siapa yang sangat tertutup? Dari mana aku mendapatkan keberanian ini? Apakah desakan untuk menikah?

13.15. Sudah hampir sejam aku duduk di sini. Hazelnutku sudah dingin dan donutku sudah habis, dan aku kenyang.

13.30. Tak ada lagi sisa minuman di gelas putihku. Dan tidak ada tanda-tanda kedatangan siapapun. Si bapak gemuk beruban baru saja pergi. Canggung sekali rasanya berada di sini sendirian. Lima menit kemudian, sebuah mobil putih memasuki area parkir. Aku tidak begitu tahu tentang mobil, aku tidak bisa membedakan jenis mobil, yang aku tahu hanya warnanya hitam atau putih atau biru, ataukah mobil itu kecil atau besar.

Dua orang keluar dari pintu depan mobil bersamaan. Sepasang. Jelas sekali bukan yang aku tunggu. 10 menit kemudian mereka meninggalkan Dunkin Donuts dengan sekotak penuh donut.

13.50. Apakah ini hanya ulah iseng seseorang? Kenapa aku tidak terpikir sebelumnya?

13.55. Tidak ada tanda-tanda kedatangan seseorang. Jangan-jangan dibatalkan? Aku masih berharap dan menepis

spekulasiku sebelumnya.

Aku membuka portal pencarian jodoh itu dan membuka pesan darinya. Tidak ada pesan baru. Lalu, di mana dia? Aku merasa sangat bodoh, malu dan jengkel bersamaan.

14.00. Sebuah mobil hitam, entah apa, memasuki parkiran. Diakah? Kalau benar, dia sudah terlambat.

Seorang pria bertubuh tegap memakai celana kain hitam dan kemeja abu-abu turun dari kursi pengemudi membawa sebuah tas kulit berwarna cokelat. Ketika membuka pintu, matanya langsung tertuju padaku. Seketika aku merasa gugup. Dia?

Pria itu langsung menuju konter kasir, memesan Americano, menunggu kopinya, mengambilnya dan datang ke arahku.

Ya, Tuhan. Benarkah dia? Jantungku serasa mau melompat dari tempatnya.

“Kamu datang.”

Deg. Jantungku serasa berhenti, mataku melotot menatapnya yang sekarang duduk di depanku. Aroma kopi yang keras menusuk hidungku, membuatku menahan napas sesaat.

“Harusnya di pojok sana.” Dia menganggukkan kepalanya ke arah kanan belakangku. Aku diam.

Sekarang ia menatapku lekat-lekat. Tangannya mengambil tas yang diletakkan di atas meja di samping kiri kopinya, bagian kiriku, kanannya. Dikeluarkannya dokumen tebal yang diisi di dalam map hitam tebal.

“Bacalah.” Disodorkannya dokumen itu ke depanku.

Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Aku ingin bertanya, tapi mulutku hanya ternganga tanpa bisa membentuk kata-kata. Aku menatap dokumen yang kini berada di depanku, tepatnya depan kopiku, tepatnya lagi depan gelas kopiku yang kosong.

Diam. Itu yang aku lakukan. Pikiranku entah kosong entah terisi banyak hal.

Melihatku yang melongo menatap dokumen itu, diraihnya dokumen itu, dibukanya lembaran pertama dan disodorkan ke depanku lagi.

Dokumen yang awalnya hanya putih kosong, sekarang berisi warna hitam di sana-sini.

“Apa ini?” Suaraku akhirnya keluar setelah lama tertahan di kerongkongan.

“Tawaran.”

Akal sehatku mulai kembali, tapi yang pertama kembali adalah kejengkelan.

“Tanpa basa-basi, bahkan tanpa perkenalan?” ujarku jengkel yang ditanggapi dengan tatapan matanya yang diam.

Dia menarik napas dan berkata singkat, “Bacalah!” lebih tepatnya memerintah.

“Aku tidak ingin membacanya, kamu yang jelaskan!” bantahku masih jengkel.

“Semuanya tertulis jelas di situ.” Katanya menggoyangkan kepalanya ke arah dokumen di depanku.

“Saya ingin mendengarnya, bukan membacanya.”

Pria di depanku menyesap kopinya, meletakkannya kembali di meja dan berdiri.

“Hubungi nomor yang sudah saya berikan setelah membacanya.” Seperti kedatangannya yang tidak mengucapkan salam, perginya pun tidak ada kata pamit.

Diraihnya tas dan segera beranjak ke pintu masuk, lurus ke arah mobilnya, masuk dan mobilnya menghilang dari pandanganku.

Apa-apaan ini???

Kemarahan memenuhi kepalaku, terasa sekali darah mengalir di wajahku, aku pasti semerah kepiting rebus sekarang. Ingin sekali kuremas-remas dokumen di depanku dan melemparkannya ke tempat sampah. Itu, di depan ada tong sampah yang besar.

Tidak, aku harus melihat isinya dan memeriksa kenarannya.

Sekali kutarik napas panjang  dan diam selama beberapa detik memandangi dokumen di depanku yang membisu. Tanganku menjangkau dokumen itu dan mulai membacanya.

Surat Perjanjian Pernikahan.

Hah?

Aku membalik halaman selanjutnya hingga halaman terakhir,halaman sepuluh. Panjang amat, apa saja isinya? Yang tertangkap mataku hanya bagian akhirnya yang berisi dua kolom untuk tanda tangan dua orang, seperti surat-surat resmi pada umumnya. Apa yang sedang terjadi? Apakah aku sedang bermimpi? Tidak mungkin ini benar-benar sedang terjadi, pasti ada yang mengerjaiku. Tapi, siapa? Atau ini mungkin prank camera? Siapa juga yang mau memasukkanku ke acara televisi?

Haduh, sakit kepalaku. Aku perlu keluar dari sini, aku perlu udara segar. Aku tidak mau memikirkan ini sama sekali.

Terpopuler

Comments

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Wah, tiba2 dapet tawaran pernikahan nih, jadi penasaran.
1 🌹 untuk mu

2024-04-03

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!