Bab 9

Hari yang cerah bagiku, meskipun hujan rintik-rintik mengenai kepalaku ketika aku berjalan pulang ke kos setelah kerja. Besok aku mau keluar jalan-jalan setelah seminggu kerja dengan giatnya. Mungkin diturunkan sedikit, agak giat.

Aku sangat menantikan besok. Aku akan ke pantai. Aku harus menyiapkan baju dan semua barang yang akan mendukung kegiatanku di pantai. Horeee. Aku sangat menyukai pantai.

Semua sudah siap. Baju sudah disetrika rapi, tas sudah dikemas, dan semua barang yang aku perlukan sudah ada

di dalamnya. Saatnya santai.

Baru beberapa menit aku mencari-cari video lucu di Youtube, teleponku bergetar, ada telepon masuk, nomor yang tidak terdaftar di kontakku. Siapa?

“Halo, selamat malam.” salamku dengan suara lembut, ‘kan sedang gembira.

“Apa keputusanmu?”

Apa? Apa keputusanku?

“Siapa ya?” tanyaku ketus dengan kening berkerut. Aku yang tadinya sedang rebahan, segera duduk bersila di

ranjangku yang kecil. 120 x 200 tergolong kecil, tidak?

“Sudah seminggu sejak tawaran itu diberikan.” Jawabannya tidak menjawab pertanyaanku sama sekali, seolah-olah aku tidak bertanya. Tapi, aku tahu siapa dia sekarang.

“Darimana kamu mendapatkan nomor teleponku?” Bagaimana dia bisa tahu?

“Jawabanmu.” Diam beberapa saat, mungkin dia menunggu aku menjawab, tapi aku diam saja. Dia harus menjawab pertanyaanku dulu.  “Kamu terima?” dia terus menuntut.

“Aku tidak tahu kamu siapa, asalmu dan apapun hal dasar tentang kamu dan kamu langsung menawarkan aku itu?”

Aku sudah membaca tawaran itu, lebih dari sepuluh kali, setiap hari aku membacanya dan tetap tidak yakin dengan semua yang tertulis di dokumen itu. Mungkin ini modus penipuan baru, tapi tidak tercantum kalau aku harus menyetorkan uang terlebih dahulu atau memberikan dia barang atau apapun sebagai jaminan atau semacamnya. Jangan-jangan aku mau dijual? Tapi, aku tidak cantik. Wajahku dipenuhi bekas-bekas jerawat, aku tidak mulus seperti banyak wanita di portal cari jodoh itu. Kalau begitu, organ tubuhku mungkin mau dijual? Lalu, kenapa harus mengajak bertemu di tempat umum. Tapi, Dunkin Donuts di Jalan Pattimura adalah tempat umum yang sepi.

“Jawab saja.” tuntutnya lagi.

“Tidak.” Jawaban ini sudah aku pikirkan berkali-kali setiap hari setelah aku pertama kali selesai membaca dokumen yang adalah surat perjanjian pernikahan itu di hari minggu malam setelah aku tiba kembali di kos. Jawabanku seringkali berubah-ubah. Kalau aku sedang tidak berpikir sehat, jawabannya adalah: ya. Namun akal sehatku selalu mengambil alih dan itu juga kata hatiku yang terdalam.

“Besok jawaban terakhir.”

Tut… tut… tut… tut….

Menyebalkan sekali!!!!! Aku selalu dianggap seperti orang bodoh yang seenaknya dipermainkan.

Kalau aku menyetujui tawaran ini, aku akan diperlakukan sangat buruk olehnya, sikap dan kata-katanya sangat tidak sopan. Tapi, itu ‘kan hanya pernikahan kontrak, bukan berdasarkan suka, jadi  sikap dan sifatnya tidak berpengaruh. Tentu saja ada pengaruhnya, kalau nanti aku diapa-apakan, bagaimana?

Dari 21 poin perjanjian yang ditawarkan, salah satunya berkata kalau tidak akan ada kontak fisik bahkan pertemuan dengan “suami kontrak”, kecuali untuk keperluan tertentu yang akan sangat jarang terjadi. Jadi, seharusnya tidak masalah sama sekali. Tapi, aku tidak tahu.

Telepon darinya benar-benar merusak hariku, benar-benar merampas sukacitaku.

Jangan dipikirkan, jangan dipikirkan, Embun. Fokus saja ke rencanamu besok, jangan biarkan hal itu mengganggumu sama sekali. Abaikan saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, kalau besok dia menelepon lagi? Berikan jawaban yang sama: tidak. Konsisten!

Aku bangun di minggu pagi dengan mata agak bengkak dan kepala terasa pening. Layar ponselku menunjukkan jam 06.05. Aku harus bangun sekarang, menyiapkan sarapan, makan, mandi, dandan dan berangkat ke negeri impianku.

Hoaem… tidak berhenti aku menguap sepanjang pagi itu. Tapi, guyuran air dingin di kamar mandi membuatku

benar-benar terjaga.

Aku sedang di perjalanan bersama abang Grab kali ini, ketika ponselku tidak berhenti bergetar. Apa sih ini yang membuat ponselku tidak berhenti bergetar? Hanya telepon masuk yang berani seperti ini.

“Aduh!” abang Grab sukses melewati sebuah tanjakan.

“Maaf, Mbak, tadi ada mobil menyalip.” Suaranya yang lembut kontan mengundang respon lembutku juga.

“Tidak apa, Bang.”

“Sudah sampai, Mbak.” Motornya berhenti di samping trotoar, tangannya memegang ponselnya, menekan tombol selesai di layarnya, mengambil helm yang aku kenakan, berucap terima kasih dan berlalu.

Ponselku terus bergetar. Aku mengeluarkannya dan melihat nomor tidak terdaftar yang sama dengan nomor yang meneleponku semalam. Aku mengingatnya karena itu nomor cantik yang berakhir 6789.

Waduh, dia mau menagih jawabanku lagi.

“Halo,” dengan ketus kujawab teleponnya.

“Bertemu di Fizh and Chipz sekarang! Pakai Grab!” suara memerintah itu lagi.

“Tidak bisa.” ujarku.

“Ini tawaran terakhir, paling lambat pukul 1.”

Tut… tut… tut….

Aaargh… ingin sekali aku berteriak, tapi di sekitarku banyak orang, jadi yang keluar dari mulut hanya bunyi ‘aa’ pelan seolah jariku terjepit. Hanya seorang gadis yang melirikku.

Seenak jidatnya saja dia menyuruhku seperti boneka. Tapi, dari mana dia tahu kalau aku menggunakan Grab? Apakah dia memata-mataiku? Hahaha… pikiran yang bodoh, terkontaminasi karena film-film barat. Siapa yang tidak menggunakan Grab sebagai moda transportasi saat ini?

Teriknya sinar matahari menyengat kulit tanganku yang hanya menggunakan mantel tipis. Aku berpindah ke bawah tenda yang dipasang di depan toko elektronik, ke samping gadis yang tadi melirikku. Sepertinya dia juga menunggu bus seperti aku.

Aku menatap sepatuku, aku ingin ke pantai. Aku sudah membawa sendal, topi dan sunscreen SPF 50. Aku sudah siap menikmati pantai.

Uuummh… bagaimana kalau aku bertemu dengan si tak tahu malu dulu dan setelahnya ke pantai? Lagipula, pertemuan dengan pria itu pasti tidak akan berlangsung lama seperti sebelumnya. Dia bertingkah seperti orang yang sangat sibuk yang harus segera pindah ke tempat lain yang lebih penting dan menggantung pertemuan denganku.

Tak ada salahnya dicoba, apalagi aku belum pernah ke Fish and Chips. Dari namanya, pasti ada menu Fish and Chips, sudah lama aku tidak menikmati makanan dari negeri Ratu Elizabeth itu. Cari dulu lokasinya di Google Maps. Jari-jariku mengetik begitu cepat tanpa typo sekali pun dan terbukalah beberapa restoran, tapi tidak ada yang bernama Fish and Chips. Yang teratas adalah: Fizh and Chipz, di bawahnya Fish Seafood dan berbagai restoran yang tidak ada kata Chips sama sekali. Mungkin yang paling atas? Aku mengeklik yang pertama dan tampaklah restoran yang begitu elegan yang terletak di sebuah lorong, jaraknya cukup dekat, hanya 10 menit dengan sepeda motor. Pasti yang ini.

Aku melihat jam, sudah hampir jam 12. Pasti restoran yang ini. Tidak mungkin, ‘kan dia memintaku datang ke restoran bernama Fish and Chips yang ada di Inggris?

Jari telunjuk segera menekan aplikasi berwarna putih bertulisan hijau, menyentuh tanda motor dan memasukkan alamat tujuan. Tidak sampai lima menit, Abang Grab sudah di depanku.

“Mbak Embun? Fizh and Chipz?” tanyanya membaca tulisan di layar ponselnya.

Aku memeriksa plat nomornya, sesuai dan berkata, “Iya.”

Kami berangkat dengan kecepatan kura-kura disebabkan lampu merah yang selalu berubah merah setiap tiga puluh detik. Kami terhenti di lampu merah yang sama sebanyak tiga kali. Apakah ini benar solusi untuk mengurai kemacetan?

Aku tiba di Fizh and Chipz jam 12. 25 dengan kulit yang terasa terpanggang saking lamanya di perjalanan di siang

bolong seterik hari ini.

Aku terkagum dengan arstitekturnya yang didominasi kayu dicat cokelat tua dengan atap agak rendah, ruangan terbuka disanggah tiang-tiang dan lampu-lampu berwarna putih kekuningan bertebaran di mana-mana, baik di langit-langit maupun di tiang-tiang penyanggahnya. Lantai marmer hitamnya mengkilap, sangat terawat.

Saat memasuki ruangan restoran itu, mataku menyapu semua orang yang terjangkau mataku. SI tak tahu malu tidak terlihat di manapun. Aku terus mencari sambil melangkah ke kiri ke kanan dan kadang berjingkat berusaha menjangkau seluruh ruangan. Aksiku terhenti saat seorang pelayan pria berusia sekitar 2o tahun menghampiriku.

“Selamat siang, Bu. Sudah janji bertemu seseorang di sini?” Aku salut dia tanggap, tapi… “Ibu”? Ya… tampangku

memang tampang ibu-ibu dengan kemeja pink tangan setengah dan celana jeans dan sepatu sandal biasa ditambah tas tenteng cokelat polos model ibu-ibu ke pasar yang gembung berisi bermacam barang untuk ke pantai .

“Iya.” Aku tidak tahu harus menjelaskan apa ke pelayan itu.

“Di sebelah mana duduknya?” ini pertanyaan yang tidak aku inginkan, karena aku tidak mempunyai jawabannya.

“Aku tidak tahu.” Jawabku polos dengan tampang bingung.

“Mungkin bisa ditelepon dan ditanyakan, Bu?”

Saran yang tidak aku harapkan, karena aku tidak mau menelepon orang itu. Kenapa dia tidak mencoba mencarikannya untukku?

“Apakah ada orang yang hanya duduk sendirian? Aku janjian dengan seorang pria.”

“DI pojok kiri belakang sepertinya ada pria yang duduk sendirian, dia hanya memesan minum, seperti sedang menunggu seseorang.” Sahut pria kecil di belakang tumpukan menu tepat di samping pintu masuk empat langkah di belakangku.

“Terima kasih.” ucapku dan langsung beranjak menuju pojok kiri belakang seperti katanya yang tertutup dengan tanaman-tanaman hias setinggi dua meter. Aku melewati beberapa meja yang terisi beberapa pelanggan yang sedang menunggu makanannya tiba maupun yang telah selesai makan.

Sebelum berbelok kiri, aku berpapasan dengan dua orang asing yang baru saja berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. Mereka sibuk berbincang bahasa yang tidak aku kenali. Mungkin Turki, Arab, entahlah.

Saat berbelok kiri, mataku langsung tertumbuk ke pojok paling kanan berisi meja dan dua kursi. Salah satu kursi sudah terisi, di mejanya terletak sebuah cangkir putih dengan tatakan piring putih dan sebuah sendok the  terletak di pinggiran piring.

Itu dia, memakai kemeja abu-abu lagi, dengan model berbeda, yang ini tidak berkerah. Dari balik meja tampak celana kain hitam dengan sedikit corak abu-abu di beberapa bagian dan sepatu kets.

Setelah kuperhatikan, dia tidak tampak mirip dengan foto yang dipajang di portal pencarian jodoh. Apakah itu fotonya? Atau apakah pria di balik meja itu, dia?

Aku berdiri di depannya tanpa berkata apapun. Dia menengadah menatapku dan berujar, “Duduk.”

Seperti robot yang sudah diprogram, aku duduk di kursi di depannya. Sebelum aku sempat membuka mulutku untuk berucap, seorang perempuan sudah berdiri di sampingku memegang sebuah catatan dan memegang pulpen, bertanya, “Mau pesan apa?”

Aku bahkan belum melihat buku menunya, aku baru saja sedetik duduk.

“Air putih.” Seolah juru bicaraku, pria di depanku menjawab.

Si pelayan tidak menyerah begitu saja. “Makanannya?”

“Nanti.” Suara tajam si pria membuat si perempuan pelayan segera berkata, “Baik.” Dan segera menghilang dari

sampingku.

Si pria tak tahu malu langsung bertanya pada topiknya seperti biasa, “Jawabanmu?”

Aku menghela napas agak panjang, namun sudah terbiasa dengan situasi tidak berdaya seperti ini. “Tidak.”

Dia memandangku datar, diam.

Dikeluarkannya sebuah map hitam seperti yang dikeluarkannya minggu lalu di Dunkin Donuts, lalu mengambil isinya yang ternyata dokumen yang sama seperti yang sudah diberikannya padaku, yang sekarang tersimpan di dalam lemari bajuku, di antara baju-bajuku agar tidak kusut dan tidak berceceran ke sana kemari.

“Tanda tangani.” Dibukanya lembar terakhir dan menyodorkan pulpen hitam yang berukiran, kelihatannya mahal.

Aku tertawa ketus melihatnya. Kenapa juga aku datang ke sini, kenapa aku menuruti kata-katanya kalau sudah

menduga akan diperlakukan seperti orang bodoh, atau dia mungkin tidak menganggapku orang sama sekali?

“Siapa kamu?” aku seperti bertanya kepada seorang penjahat yang sembarangan masuk ke rumahku.

“Saya pengacara.” jawabnya masih dengan ekspresi datar. Wajahku berkerut.

Ini jawaban yang sama sekali tidak aku sangka. Seorang pengacara? Aku tidak pernah terbayang sekalipun untuk

berhubungan dengan seorang pengacara sama sekali dan aku tidak berkeinginan menjalin hubungan dengan seorang pengacara.

Seolah tahu apa yang aku pikirkan, dia melanjutkan, “Saya yang bertugas mengesahkan perjanjian ini.”

Dia bertugas untuk mengesahkan? Lalu, siapa “calon suamiku”? Wajahku semakin berkerut, mataku menyipit.

Menjawab ekspresi wajahku, dia berkata, “Jika kamu menandatangani surat ini, kamu akan mendapatkan data calon pasanganmu.”

Gaya bicaranya seperti seorang sales sedang menawarkan mobil tapi dengan intonasi datar. Memangnya dia sedang jualan? Beli satu gratis satu. Kalau kamu beli satu, kamu akan mendapatkan satu lagi. Kalau kamu menandatangai surat perjanjian ini, kamu akan mendapatkan data calon pasanganmu. Kenapa aku merasa didesak? Seolah aku memang sangat membutuhkannya dan mau tidak mau harus berkata iya. Seolah aku berhutang padanya dan sekarang aku harus melunasi hutangku.

Aku tertawa ketus dan menarik napas panjang, lalu diam.

Apa yang bisa aku katakan? Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini.

Aku seperti sedang tersedot ke dalam sinetron atau drama korea.

Pikiranku buntu, aku sama sekali tidak memikirkan apa-apa sekarang. Mataku lurus menatap dokumen di hadapanku, kosong.

“Permisi, ini minumannya. Sudah mau pesan makanan sekarang?” pelayan perempuan yang tadi, kembali membawa segelas air putih di nampan kayu cokelat.

Aku seperti dibangunkan dari mimpi dan tanpa sadar menjawab, “Mie.”

“Mie apa?”

“Eh? Ehm….” Kata “mie” terlontar begitu saja dari mulutku, aku bahkan tidak tahu apa saja menu yang restoran ini

miliki.

Pelayan perempuan itu menyodorkan buku menu yang tebal lengkap dengan gambar makanan yang menggugah selera. Ini memang sudah jam makan siang dan aku lapar, tapi, aku tidak ingin makan bersamanya, lagipula sebentar lagi dia pasti pergi setelah dia merasa urusannya sudah selesai.

“Tidak jadi.” ralatku menyodorkan buku menu ke wanita itu sambil tersenyum manis.

Si pelayan kaget, tidak tahu harus berkata apa.

“Dessert bucket.” pria yang ternyata seorang pengacara di depanku berujar datar, lagi.

“Yang mana, Pak?” Si pelayan membuka halaman menu berisi beberapa gambar makanan terisi di dalam wadah

semacam timba perigi. Tapi, timba perigi di samping rumahku dulu dari ember, hehe….

“Nomor dua.”

“Baik, Pak. Ditunggu paling lama lima belas menit, ya. Mau tambah minumannya?” Kalau aku pemilik restorannya,

aku pasti memberikannya bonus, teknik upselling pelayan ini mantap. Atau mungkin mereka memang diajarkan begitu?

“Tidak.”

“Baik.” Diambilnya menu di depan si pengacara dan berlalu meninggalkan kami berdua dalam keheningan, tanpa obrolan apapun selama beberapa menit, tapi, pandangannya tetap tertuju padaku. Membuatku risih.

Disodorkannya dokumen dan pulpen itu semakin dekat padaku. Halaman paling akhir terpampang jelas di depanku. Ada yang berbeda. Ada sebuah kotak bergambar dengan tulisan empat buah angka terpampang di sebelah kiri bagian yang harus berisi tanda tanganku. Meterai. Ini bukan main-main.

Sebuah dokumen baru dikeluarkan si pengacara dari dalam tas yang sama seperti yang dibawanya minggu lalu. “Ini

dokumen yang akan aku berikan kepadamu kalau kamu mau menandatangani  surat perjanjian ini di atas meterai.”

Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa memutuskannya sama sekali. Orang di depanku pun tidak

membantuku sama sekali. Aku harus bagaimana? Waktu terus berjalan.

“Permisi. Dessert Bucket-nya.” Interupsi si pelayan kali ini membuatku lega. Aku punya sedikit waktu untuk

berpikir.

Sebelum aku sempat berpikir, si pelayan sudah berlalu dan meninggalkan kami berdua dengan sebuah timba berisi

makanan, dua gelas minuman dan yang menyeramkan: dua dokumen, yang satu terbuka lebar di hadapanku dan yang satu lagi menunggu untuk aku buka jika aku sudah melewati tes di dokumen pertama. Bagaimana ini?

Sebelum aku sempat mengedipkan mataku, pengacara di depanku sudah berucap. “Tanda tangani.” Dengan nada

memerintah yang datar.

“Tidak.” jawabku tidak yakin. Kenapa dia terus memaksaku? “Apa untungnya bagiku?”

“Sudah jelas tertulis di dokumen itu, kan?” katanya menatapku lurus. Aku membuang muka, menatap dokumen di

depanku seolah dokumen itu bisa menjawab pertanyaanku, padahal itu hanya pengalihan.

Sekarang aku merasa goyah. Sebenarnya aku sudah merasa goyah, atau lebih tepatnya tertarik dengan penawarannya. Banyak hal menguntungkan yang bisa aku dapatkan, salah satunya aku bisa mengubah statusku dari single menjadi double. Hehe, ini bukan permainan bulutangkis. Aku bisa mengubah status KTP-ku menjadi ‘menikah’ dan status itu melekat kepadaku ke manapun aku pergi dan tidak akan ada lagi pertanyaan seperti ‘Kapan menikah?’ atau pernyataan yang menurutku lebih ke perintah ‘Cepetlah menikah!’

Selain itu, ada tawaran uang yang lumayan besar, bahkan setelah setahun menikah aku bisa mendapatkan sebuah rumah bahkan akan dimodali usaha untuk membuka bisnisku sendiri. Aku bisa mewujudkan impianku untuk memiliki sebuah restoran dan mengelolanya selagi aku berada di luar negeri. Itu juga salah satu keuntungannya. Aku bisa tinggal di luar negeri seperti yang sudah lama aku impikan.

Haruskah aku terima tawaran ini?

“Hari ini terakhir kalinya.” Serunya menjadi semakin serius.

Ya, Tuhan, tolong aku untuk mengambil keputusan, secepat mungkin. Sekarang juga.

Ya, Tuhan, ampuni aku, aku tidak bermaksud memaksakan kehendakku kepada-Mu.

“Baiklah.” kataku setelah diam mematung memandang dokumen itu selama mungkin lima menit? Standarnya lima menit kan, ya?

“Aku tanda tangani.” Nekadku sudah muncul ke permukaan, salah satu sifat sanguinis yang tidak aku sukai, karena

kadang sifat spontan yang nekad seperti ini menimbulkan masalah, tapi tanganku terus menuju ke arah pulpen di sebelah dokumen itu.

Selesai, tulisan naik turun tidak jelas sudah tertera di bagian setengah meterai dan sampingnya. Bagaimana ini?

Pengacara itu menarik dokumen di depanku, kemudian memberikan dokumen yang satunya lagi.

“Bagaimana dengan tanda tangan yang satunya lagi?” tatapku penuh tanda tanya.

“Kamu akan menerima salinan kontrak ini setelah dia menandatanganinya juga.”

“Kapan? Bagaimana aku yakin kalau itu tidak disalahgunakan?” keraguanku terlambat mencuat.

“Paling lambat dalam lima hari. Bacalah.” angguknya ke arah dokumen kedua di depanku terus memerintah.

Rasa penasaranku begitu besar bercampur takut dan ragu. Bagaimana kalau hal-hal jelek yang aku bayangkan

selama ini, semuanya ternyata benar, atau bahkan lebih buruk lagi?

Perlahan aku meraih dokumen kedua yang lebih tipis dari dokumen pertama.

Aku membuka halaman pertama yang kosong seperti dokumen kontrak sebelumnya sambil menutup mataku. Perlahan aku membuka mata kiriku sedikit, kemudian mata kananku dengan mulut monyong. Aku

pasti kelihatan aneh.

Yang ada hanya tulisan-tulisan berwarna hitam. Kecewa. Aku mengharapkan adanya sesuatu yang berwarna dengan bentuk seorang manusia. Aku berharap akan ada fotonya terpampang.

“Tidak ada foto?”

“Itu sudah cukup.” katanya sambil menyilangkan tangannya di dada.

Perlahan aku membaca setiap tulisan yang tertera. Semua informasi dasar seseorang tertera di dokumen yang hanya berisi dua halaman itu, tepatnya hanya satu yang berisi data. Hanya sedikit, tapi memang cukup.

“Namanya berbeda dari nama di portal.” Aku berkata tapi sebenarnya bertanya, aku menuntut jawaban.

 “Tidak ada yang menggunakan nama sebenarnya di portal seperti itu.”

“Ada. Aku.”

Tidak ada tanggapan, hanya sedikit suara kopi disesap. Setelah aku pikir kembali, bukankah namanya di portal

adalah ‘Aku’. Bodohnya.

“Orang asing?” tanyaku menengadahkan wajahku menatapnya.

“Iya.”

“Foto yang di portal benar fotonya? Ataukah?”

“Bukan.”

Bagaimana bisa dia menjawab pertanyaan itu setenang ini?

“Bukankah itu penipuan?” nada bicaraku mulai naik.

“Sebagian pengguna portal seperti itu adalah penipu.” Masih tenang dan datar.

“Jadi, ini juga penipuan?” semakin tinggi nada bicaraku, bahkan beberapa pelanggan di bagian depan menatap kami.

“Begitukah menurutmu?”

“Kamu sendiri yang mengatakannya.”

“Tidak ada penipuan sama sekali.” Jari-jarinya yang kekar meraih dokumen surat perjanjian dan memasukkannya ke dalam tas. “Dalam beberapa hari, aku akan menghubungimu lagi.” Dia berdiri, “Makanlah, semua sudah dibayar.”

Dan seperti sebelumnya, aku ditinggalkan sendirian. Kali ini tidak benar-benar sendirian, masih ada segelas air putih dan ember makanan yang belum tersentuh. Seketika perutku bereaksi melihat makanan di depanku. Bisakah aku makan? Tidak beracun, kan?

Kruyuuukkkk…..

Segera kutusukkan garpu yang diletakkan pelayan perempuan tadi di samping ember itu ke sebentuk makanan

berwarna cokelat, sepertinya digoreng. Udang goreng, itu kata lidah dan gigiku. Apakah gigiku merasakannya atau hanya membantu menghancurkan makanan saja? Aku terus menusukkan garpu di tangan kiriku sampai tidak ada sisa lagi di ember. Aah,,, kenapa aku tidak memesan minuman yang manis? Aku mau es jeruk dingin. Oh, ya, kenapa aku tidak memesan Fish and Chips tadi? Padahal itu yang terpampang pada halaman pertama buku menu. Gara-gara si tak tahu malu.

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

aku mampir lagi nih kak

2024-04-23

1

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

hal yg menyenangkan adalah makan, lanjut makan dan makan ditemani bersama es

2024-04-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!