Bab 16

Aku bangun pagi inI membayangkan akan meninggalkan negara tercintaku malam harinya. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam karena pikiran yang sama. Tapi, aku juga sangat menantikan saat pertama kali menginjakkan kaki di Swiss, negara bertabur cokelat dan keju, dua hal yang aku sukai.

Si pengacara menjemputku jam 3 sore. Bukankah ini terlalu cepat? Penerbanganku masih 4 jam lagi. Tidak dibutuhkan 1 jam ke bandara dari hotel tempatku menginap dan tak akan membutuhkan waktu 1 jam untuk check in dan segala tetek bengek di bandara. Jadi, kenapa harus secepat ini? Aku tidak ingin bertanya, tidak ingin memancing emosi baik diriku maupun dirinya.

Jalanan agak macet, kami tiba di bandara jam 4 lebih. Dia menuntunku untuk mengurus check in dan semuanya hingga mengantarku ke VIP lounge, tempat aku akan menunggu keberangkatanku.

Jam 6, dalam sejam aku akan meninggalkan Jakarta, meninggalkan Indonesia. Ingin rasanya aku melompat-lompat di karpet yang empuk di bawah kakiku saking bersemangatnya, tapi aku juga merasa sentimental memikirkan keluargaku, terlebih mama. Aku membayangkan sekarang mama mungkin sedang menonton TV atau berbincang dengan kakakku.

Si pengacara membuyarkan lamunanku ketika dia menyodorkan sebuah kotak kepadaku. Sekotak makanan, tidak ada namanya, hanya di dalamnya berisi nasi, mujair goreng lengkap dengan sambal dan lalapannya. Darimana dia mendapatkan makanan ini? Adakah yang menjualnya di bandara?

“Antisipasi kalau makanan di pesawat tidak sesuai selera.”

Bagaimana mungkin dia berpikir aku tidak akan menyukai makanan di pesawat? Aku suka mencoba makanan baru.

Aku duduk di samping kanan seorang wanita tua yang tidak bicara apapun dan di samping kiriku jendela. Aku sangat menikmati perjalanan, melihat di sekitarku, tapi yang terlihat hanya lampu-lampu dari atas. Ada keindahan tersendiri, tapi aku lebih memilih untuk melihat pemandangan dari atas pesawat yang tidak bisa aku nikmati setiap hari.

Dan aku bisa menikmati pemandangan itu setelah pagi menyingsing dalam perjalanan dari Singapura ke Munchen, kedua tempat di mana aku akan transit sebelum tiba di Geneva.

Pagi yang cerah, matahari sudah bersinar ketika aku memijakkan kakiku di Geneva. Swiss,Berbagai pengumuman dalam bahasa Jerman terdengar dari pengeras suara dan orang-orang berambut pirang berseliweran di mana-mana. Aku benar-benar tidak berada di Indonesia lagi, aku berada di Swiss.

Seorang priabule bertubuh tinggi besar berambut pirang mendekatiku ketika aku keluar dari pintu kedatangan bandara Geneva. Dia mengucapkan sebuah kalimat dengan aksen kental Swiss yang membuatku mengangguk. Aku menangkap dia mengatakan namaku dan mobil. Jadi, dia sopir yang akan menjemputku seperti kata si pengacara: “Seorang pria dengan jas hitam berlogo bendera Swiss di kerahnya akan menjemput dan mengantarkanmu di Geneva."

Aku mengikutinya ke mobil yang sudah menunggu di depan. Koper kecilku ditarik olehnya dan dimasukkan ke bagasi mobil keren yang lagi-lagi aku tidak tahu namanya. Interior dalam mobil terkesan mewah. Kursinya empuk dan memiliki tempat meletakkan lengan dan kaki di depan.

Si pria besar duduk di samping sopir. Aku mengira dia adalah sopirnya, ternyata ada seorang pria lagi dengan pakaian sama seperti pria yang membawakan koperku tadi. rambutnya cokelat kehitaman.

Mobil keluar dari bandara, aku begitu terkagum dengan situasi sepanjang perjalanan. Pemandangan alam yang mengagumkan, rumah-rumah tradisional yang tertata rapi dan bersih. Pohon-pohon yang berwarna kuning kemerehan. Aku suka musim gugur dibanding musim lainnya di Eropa. Rasanya damai memandangi daun berwarna merah dan kuning berguguran di jalan. Aku ingin jalan-jalan berkeliling.

Mobil memasuki sebuah kawasan berisi rumah-rumah yang agak berjauhan, sepertinya kompleks elit. Kemudian, mobil berbelok masuk ke sebuah halaman dengan sebuah rumah sederhana bergaya minimalis.

Pria yang tadi membawakan koperku membuka pintu mobil dan merentangkan tangannya, memintaku turun. Aku turun dengan bertanya-tanya, apakah di dalam rumah calon suamiku sedang menunggu? Tapi, di surat perjanjian yang isinya detail, dijelaskan kalau aku akan bertemu dengannya menjelang hari pernikahan. Apakah pria ini yang akan berurusan denganku?

Koperku dibawanya masuk ke dalam rumah yang pintunya sekarang menganga membuka menungguku masuk. Aku melangkah ragu. Pertanyaan-pertanyaan dan dugaan memenuhi kepalaku.

Interior di dalam rumah berkesan elegan minimalis dan modern, mengesankan, tapi bukan tempat aku akan memilih untuk tinggal dan menetap.

Seorang pria menyambutku dengan senyum, “Selamat datang di Swiss, Nyonya,” ada juga yang ramah, “Bagaimana perjalanannya? Nyonya pasti capek.” Nyonya? Aku dipanggil nyonya? Aku menahan tawaku. Aku bahkan belum menikahi siapapun pria yang sudah pasti atasannya.

Pria tinggi tegap ini memiliki bahasa Inggris Amerika lancar dan mudah dimengerti.Dia kelihatan terpelajar dan menyenangkan, dibanding si pengacara di Indonesia.

"Saya yang akan mengurus keperluan Nyonya selama berada di Swiss. Panggil saja saya, Assis.” Katanya menyodorkan tangan kanannya masih sambil tersenyum. Terima kasih Tuhan, kelihatannya dia baik dan bisa bekerjasama dengan baik.Tapi, Assis? Nama seperti apa itu? Apakah itu nama khas Swiss? Kenapa dia tidak memperkenalkan nama lengkapnya? Setidaknya dia memiliki nama. Tidak seperti si pengacara yang tidak kuketahui namanya hingga saat ini.

Aku menyambut uluran tangannya dengan senyuman juga.

“Mulai hari ini Nyonya akan tinggal di rumah ini hingga segala urusan pernikahan selesai. Nyonya akan diantarkan sopir yang tadi dan jika saya berkesempatan, saya juga akan ikut serta.” katanya masih dengan senyum di bibir tipisnya.

“Ini rangkuman kegiatan Nyonya selama di Swiss. Jika ada yang perlu ditanyakan, silakan menghubungi saya. Nomor telepon saya ada di sini.” Ucapnya menyerahkan sebuah map. Aku membukanya dan ada beberapa lembar kertas berisi jam dan kegiatan-kegiatan yang kubaca sekilas, juga kartu namanya.

“Maaf, saya tidak bisa berlama-lama. Permisi.” Dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya, dia pamit dan meninggalkanku sendiri di tempat ini seperti orang bodoh. Orang bodoh yang bersemangat.

Terpopuler

Comments

EMP Official

EMP Official

Smoga dia tidak terbelenggu sindikat mafia 🤦

2024-04-21

2

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Jadi was2, antara mau masuk kehidupan bahagia, atau tertipu dan sengsara

2024-04-25

1

Bilqies

Bilqies

aku mampir Thor /Smile/

2024-05-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!