Bab 12

Pagi yang berat. Mataku berat, kepalaku berat, badanku berat. Tak ada satupun anggota tubuhku yang mau meninggalkan ranjang dan bantal. Hari ini aku hanya ingin berbaring, tidak ingin melakukan hal lain selain berpikir dan menerawang, apalagi ke kantor. Haruskah aku izin sakit saja? Tidak profesional, apalagi setelah surat pengunduran diriku.

Jam 7. Aku masih di sini, di bawah selimut. Lapar, tapi tidak ingin makan. Seandainya ada pintu ke mana saja milik

Doraemon, aku pasti sudah pergi ke mana saja membawa semua barang-barangku dan menghilang. Melarikan diri, salah satu spesialisasiku.

Apa yang harus aku lakukan?

Aku berdiri dengan bahu terkulai, mengambil handuk, berjalan mondar-mandir, lupa harus melakukan apa lagi. Ketika berjalan melewati meja, ponselku bordering. Siapa itu? Jangan-jangan pemilik meneleponku? Waduh, aku harus bilang apa?

Ponselku terus bergetar. Aku berdiri hanya sejauh selangkah dari ponselku, tapi aku terlalu takut untuk

melirik ke ponselku.

Diam.

Selamat untuk sementara. Bencana yang tertunda?

Aku melangkah menuju pintu. Dan… trrrr….

Aku berhenti, rasanya ingin berteriak. Ponselku terus berdering. Kalau aku tidak mengangkat teleponnya sekarang, nanti pasti aku akan terus ditelepon sampai aku menjawabnya. Sekarang saja deh.

Aku meraih ponselku tanpa melihat apa yang tertulis di layarnya. Kuangkat sejajar mataku lalu aku menoleh. Si

pengacara.

“Halo.” Pertama kalinya aku bersemangat menerima telepon si pengacara.

“Jam 3 besok keluar dari kos.” Putus, lebih tepatnya, dimatikan.

Begitu saja? Dan aku disuruh keluar dari kos. Apa maksudnya? Tanggal pengunduran diriku masih 14 hari lagi.

Apa maksudnya keluar tanpa membawa barang-barangku, atau dengan barang-barangku? Pindah?

Sepanjang hari ini benar-benar melelahkan, menguras semua energiku. Aku pulang ke kos tanpa semangat. Aku

hanya ingin berbaring dan tidur. Aku tidak ingin mandi, makan atau melakukan apapun. Dan aku tidak mau bertemu siapapun, apalagi rekan-rekan kerjaku. Sudah cukup cercaan pertanyaan sepanjang delapan jam aku kerja. Aku diberondong pertanyaan yang sama berkali-kali oleh orang-orang yang berbeda. Dan sebanyak itu pula aku harus menjawab dengan variasi improvisasi yang berbeda tergantung siapa penanyanya.

Tapi, syukurlah pemilik tidak meneleponku, hanya seorang atasan lagi yang mengajukan pertanyaan yang sama

seperti rekan-rekanku yang lainnya, tapi dia lebih kreatif, karena dibumbui wejangan menohok dan menghakimi yang memperburuk hariku. Aku terlalu lelah untuk menangkis ataupun membalasnya, diam saja.

Dengan langkah berat aku melangkah ke kamar mandi dan mandi dengan durasi lama. Hawa dingin tidak berasa sama sekali, yang terbayang hanya hari besok. Ke mana aku akan pergi besok? Kenapa selalu dipenuhi teka-teki?

Aku memutuskan untuk bertanya kepadanya lewat SMS maksud dari kata ‘keluar’ yang dia katakan, balasannya

singkat; ‘Pindah.’ Ke mana aku akan dibawa? Jaraknya jauh dari kantor?

Lalu, ibu kos? Apakah dia telah mengetahuinya? Apakah si pengacara menginformasikan kepadanya? Lebih baik aku telepon lewat Whatsapp. Aku membuka aplikasi berwarna hijau itu dan di paling atas ada wa dari ibu kos: ‘Tinggalkan kunci di pintu besok. Saya sedang di luar kota. Deposito kamu akan saya transfer.’ Pesan itu dikirimkan sejak tadi siang.

Ibu kos memang bukan orang yang peduli dengan yang terjadipada orang lain, yang penting baginya uang kos dibayar tepat waktu dan tidak merusakkan barang-barang di dalam kamar. Jika ada yang rusak, akan dipotongnya

dari deposito yang disetorkan.

Ternyata barang-barangku lumayan banyak. Aku memasukkan barang-barang penting dan baju-baju bagus ke dalam koperku yang berukuran sedang hingga benar-benar tidak ada rongga lagi yang bisa aku selipkan sesuatu.

Sisanya aku masukkan ke dalam tas travel dan ransel. Proses berkemas ini menghabiskan waktu 4 jam. Tak terasa sudah jam 10 lewat dan kamar kos berantakan dengan berbagai macam barangku yang tergeletak di lantai, di meja dan di ranjang. Aku tidak memiliki energi lagi untuk membereskannya.

Barang-barang yang berserakan kumasukkan asal-asalan ke dalam lemari dua pintu yang kini hampir kosong.

Beres. Barang-barang itu masih kuperlukan besok. Kututup pintu lemari dan kamar kos terlihat sama seperti tadi pagi, rapi. Kusisihkan pakaian yang akan aku kenakan untuk kerja dan keluar besok.

Tidak seperti kemarin, semalam aku tidur nyenyak, bahkan ada sedikit tanda di bantalku yang bersarung putih. Aku

terlalu cape kemarin, cape berkemas, cape dibombardir pertanyaan dan cape berpikir.

Aku sudah pernah terpikir tentang hal seperti pernikahan kontrak sebelumnya, tapi aku tidak terpikir akan terasa

cape seperti ini. Rasanya beratku turun drastic.

Hari ini terasa lebih ringan meskipun aku masih dicerca pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti kemarin, bahkan lebih canggih dan lebih bervariasi dari yang kemarin, dihiasi fantasi-fantasi yang fantastis. Lumayan aku dibuat tertawa terbahak-bahak oleh pertanyaan mereka.

Jam 3, aku mendapat telepon dari seorang abang Grab. Aku terkejut, tapi sudah bisa menduganya. Ini pasti ulah si

pengacara. Aku segera pulang. Untung saja jarak kantor ke kos hanya 5 menit berjalan kaki. Kenapa harus jam segini? Aku masih memerlukan waktu untuk mandi dan mengemasi sisa barang.

Aku memeriksa posisi abang Grab, sekitar 10 menit lagi dia tiba di kos. Jika dia melalui jalan raya, akan terjebak macet. Semoga dia tiba lebih lama, sehingga tidak perlu menungguku lama. Benar saja, abang Grab tiba di depan kos 15 menit kemudian. Aku sudah selesai, tinggal menurunkan barang-barangku dari lantai 2 kos. Aku tidak bertemu siapapun, semua penghuni kos yang adalah pekerja kantoran, belum pulang. Syukurlah, aku tidak perlu meladeni pertanyaan mereka juga.

Sebuah mobil hitam terparkir di depan kos. Seorang Bapak beruban menyapaku dan mengambil koper yang berat dari tanganku. Semua barang-barangku sudah berpindah ke bagasi mobil. Selamat tinggal kosan.

Aku diantarkan ke pusat kota. Belum lama duduk di dalam mobil, aku merasa ponselku bergetar. Telepon dari pengacara. Aku mengangkatnya tanpa mengucapkan ‘halo’, hanya diam.

“The Riots kamar 313.” Ditutup.

The Riots? Hotel?

“Permisi, Pak. Tujuan saya ke mana, ya?”

“Toko Mulya, Bu.”

Apa? Sebentar. Ini tidak cocok.

Jari-jariku sibuk mengetikkan nama The Riots di Maps. Terpampanglah sebuah layar dengan jalur-jalur jalan dan di bagian bawah ada sebuah nama tempat lengkap dengan alamatnya. Jalan Mulia. Kuperbesar lokasinya dan semakin jelas kelihatan petak-petak bangunan. Berjarak 2 bangunan di seberang jalan The Riots terdapat Toko Mulya.

“Di jalan Mulia ya, Pak?” aku memastikan kepada abang, bukan bapak Grab.

“Benar, Bu.”

“Sepertinya teman saya keliru meletakkan titik pengantarannya. Seharusnya di The Riots, hanya berjarak dua

bangunan dari Toko Mulya.” Koreksiku dan ditanggapi positif oleh bapak Grab. Aku tidak mau turun di Toko Mulya dengan barang sebanyak ini, bagaimana aku bisa membawa semuanya? Tidakkah terpikirkan oleh si pengacara tak tahu malu itu? Selain tak tahu malu, dia juga sok tahu.

Sepanjang perjalanan aku diam, sedang tidak ingin bicara dengan siapapun, apalagi ditanya-tanya. Sudah cukup aku dijadikan objek pertanyaan selama dua hari ini. Aku hanya ingin ketenangan saat ini, meskipun aku tahu aku tidak akan mendapatkannya. Untungnya Bapak ini juga tidak begitu senang bicara seperti yang lainnya.

Satu jam kemudian mobil hitam yang aku tumpangi sudah terparkir tepat di depan The Riots. Aku turun dan menurunkan barang-barangku dibantu si Bapak. Ongkos Grab sudah dibayar si pengacara, tapi aku tetap memberikan si Bapak tip, karena sudah mengangkat barang-barangku dan juga karena tidak mengajakku bicaraku selama perjalanan. Bapak itu masuk ke mobil dan berlalu setelah mengucapkan terima kasih.

Aku masuk ke lobi hotel dan seorang cowok menawarkan untuk membawakan barang-barangku yang langsung aku

setujui. Resepsionis menunjukkan arah lift dan dua menit kemudian aku sudah berada di depan sebuah pintu dengan sebuah ukiran besi berangka 3 1 3. Aku mengetuk tiga kali.

Pintu terbuka setengah. Aku memberanikan diri melangkah masuk diikuti cowok dengan barang-barangku. Dia meletakkannya di lorong masuk dan pergi setelah aku memberikan uang tip.

Ruangannya kecil berisi dua sofa kecil dan sebuah sofa panjang dan di tengahnya terdapat sebuah meja kayu cokelat tua dengan sebuah vas berisi beberapa tangkai bunga yang tidak aku ketahui namanya. Si pengacara berdiri di dekat jendela di belakang sofa panjang yang di sampingnya terdapat sebuah standing lamp, layaknya di drama atau sinetron, dia seolah-olah memberi kesan dramatis.

“Duduk.” Katanya menyuruhku duduk di sofa yang berada di depan sebuah pintu. Aku melangkah pelan ke arah sofa diikuti tatapan matanya. Kuletakkan ranselku di samping sofa dan aku duduk diam, menunggu. Yang aku tunggu tidak kunjung bereaksi selama sepuluh menit. Entah apa yang dipandanginya di luar jendela.

“Ehmm…” kucoba melancarkan kerongkonganku yang tidak gatal. Tidak ada reaksi.

“Ehm… ehm….” Kali ini aku coba dengan agak batuk. Hasilnya nihil.

“A…”

“Buka map itu.” Baru saja aku akan memprotes, dia sudah berbalik dan memerintahkan seperti sebelum-sebelumnya. Tanganku meraih map hitam di atas meja dan membukanya.

Di dalam map terdapat sebuah kartu sebesar kartu ATM berwarna biru tua dengan logo bunga berwarna merah muda redup di tengah kartu. Dengan kartu itu di tanganku, aku menatapnya bertanya.

“Mulai hari ini kamu tinggal di sini. Akan ada antar jemput ke kantormu setiap hari.” Dia melangkah ke arah

pintu diikuti pandangan mataku yang hanya pasrah dengan apa yang baru saja dikatakannya. Aku ingin membantah, tapi itu tidak akan mengubah apapun, kecuali suasana hatiku yang akan berantakan.

“Semua kebutuhanmu ada di dalam amplop itu.”

Benar, aku tidak mengindahkan amplop cokelat di bawah kartu tadi. Aku mengambilnya, melihat isinya. Sejumlah

kertas berwarna merah, kutarik keluar dan mendapati jari-jariku memegang lembaran uang seratus ribu sebanyak 15 lembar. Lagi-lagi dengan wajah bodoh aku menatap pengacara yang sudah berada di depan pintu masuk.

“Apa ini?” aku tahu itu uang, tapi kenapa aku diberikan uang?

“Sejak menandatangai surat perjanjian, kamu akan mendapatkan dana persiapan pernikahan dan setelah menikah kamu akan mendapatkan dana pernikahan seperti yang tertuang di surat perjanjian.”

Aku lebih suka dia hanya bicara sedikit saja, terlalu cepat seperti robot yang diprogram kalau dia bicara terlalu panjang.

“Uang itu akan cukup untuk biaya kebutuhan selama dua minggu.” Diam sejenak. “Pindahkan barang-barangmu ke

sini.”

Pintu sudah berbunyi terbuka ketika aku menghentikannya dengan pertanyaanku, “Apa yang harus aku lakukan di

sini?”

“Ada dokumen yang harus diselesaikan.”

“Apa aku akan diantarkan sesuai jadwal kerjaku?”

"Antar dan jemput sesuai jadwalmu.”

“Bagaimana kalau jadwalku berubah?”

“Beritahu sopirnya.”

Pintu berbunyi tertutup dengan berisik. Kontras dengan gaya dan pembawaan si pengacara yang tenang. Dan aku

sangat cocok dengan ruangan kecil yang hening ini. Ruangan ini cantik sekali, minimalis tapi elegan dan berkesan menenangkan. Tidak banyak hiasan di dinding, hanya sebuah ukiran kayu cokelat muda bercorak rumput. Di atas meja kayu berisi peralatan makan, coffee maker dan beberapa jenis minuman botolan dan sachet. Di samping meja terdapat sebuah kulkas  minibar.

Aku berdiri dan melangkah ke jendela kaca lebar di belakang sofa dan memandang ke luar. Apa yang diperhatikan si pengacara tadi? Pemandangan di luar hanya genteng rumah dan beberapa pohon yang tumbuh tinggi menghalangi pemandangan di baliknya. Sebentar…

Kenapa aku harus peduli dengan yang dilihatnya di balik jendela? Yang paling penting sekarang adalah tentang

pernikahan ini. Ini benar-benar berjalan dengan cepat dan aku bahkan belum mengetahui lebih banyak detail tentang proses pernikahan ini. Jik setelah berhenti kerja aku akan langsung ke Swiss setelah visaku keluar, apakah aku akan langsung menikah? Bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana dengan mamaku? Mama akan ke Swiss?

Aku mencoba menghubungi si pengacara ingin mendapat kejelasan, tapi tidak diangkat. Mungkin dia masih di

perjalanan. Aku akan meneleponnya lagi dalam setengah jam.

Aku menarik napas panjang. Sekarang tiba-tiba banyak hal yang sebelumnya tidak kupikirkan, terpikir. Namun, hal yang paling membuatku kuatir adalah mamaku. Bagaimana aku memberitahunya tentang pernikahan ini. ‘Mama, aku akan menikah.’ Mudah, tapi pertanyaan tanggapan setelah itu yang aku kuatirkan. ‘Dengan siapa? Dari mana asalnya? Sudah berapa lama kenalnya? Bagaimana kenalnya? Apa pekerjaannya? Bagaimana orangnya?’ dan seterusnya. Masa aku harus berbohong? Kebohongan pertama harus ditutupi dengan kebohongan lainnya.

Ruangan kecil berukuran 3x4 meter itu sudah ditapaki kakiku bolak balik, tapi kuatirku masih saja tinggal. Tenang, Embun, tenang, sebentar lagi kamu akan mendapatkan jawaban setelah pengacara itu mengangkat teleponnya.

Setengah jam terlalu lama untukku menunggu. Aku meneleponnya sekarang juga.

Trrrt… trrrt… trrrt…. Tidak ada jawaban.

Aku mencobanya dua kali lagi, tapi tidak dijawab juga. Kenapa dia tidak mengangkat panggilan teleponku? Aku

meneleponnya tiga kali, tidak mungkin kalau dia tidak mendengarnya.

Kucoba lagi dan nihil.

Kruyuuuuk… aduh, nyaring sekali suara perutku. Untung saja aku sendirian di sini. Malu kalau kedengaran orang

lain. Hari ini aku hanya makan siang sedikit disebabkan keberangkatanku meninggalkan kos hari ini.

Aku mendekati meja di bawah lukisan dan mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perut. Tidak ada. Aku harus mencari makanan terdekat di Grab atau Gojek.

Aku habiskan 15 menit berikutnya mencari makanan yang sesuai seleraku yang jaraknya dekat dari hotel. Nasi goreng sepertinya cocok dimakan sekarang, tapi mie juga enak, atau pizza dan pasta. Selagi aku sedang memikirkan yang mana yang akan aku pesan, layar ponselku yang awalnya berisi foto makanan berubah menjadi gambar orang botak setengah badan berwarna abu-abu. Si pengacara meneleponku.

“Halo.”

“Kenapa?” tanyanya dengan nada khasnya yang datar.

“Kenapa aku harus tinggal di sini selama dua minggu ini? Ini mempersulitku untuk bekerja. Bagaimana kalau aku kerja sampai tengah malam dan kerja lagi paginya? Terlalu jauh perjalanan pulang perginya. Dan bagaimana dengan keluargaku? Bag…”

“Ikuti saja, akan dijelaskan nanti.”

“Aku ingin kejelasan sekarang, aku tidak ingin berjalan tanpa tahu apapun. Ak…”

“Mulai besok kamu akan tahu.” Lagi-lagi omonganku dipotong sebelum selesai. “Jangan pernah keluar dari kamarmu kecuali berangkat dan pulang kerja.”

“Aku mau makan.” kataku jengkel.

“Pesan di penginapan, jangan membeli apapun dari luar. Tidak ada bantahan.” Perbincangan yang menaikkan tensi darah, terasa wajahku memanas. Tapi, tidak menghilangkan rasa laparku, perutku terus saja berteriak minta diisi.

Tidak jadi memesan makanan lewat aplikasi online, aku menelepon nomor ekstensi yang tercantum di sebuah kertas berlaminating di samping telepon di atas meja kayu di samping peralatan makanan. Aku memesan nasi goreng dan kue. Aku lapar dan ingin makan apa saja yang bisa masuk ke dalam perutku. Tapi, aku tahu tagihannya akan banyak. Ah, kenapa aku harus peduli? Harusnya aku pesan saja sebanyak mungkin. Tidak boleh, kuasai dirimu. Jangan-jangan semua ini tidak berjalan mulus dan aku diminta mengembalikan semua dana yang sudah diberikan.

Langkahku terhenti di depan sofa tempat aku duduk tadinya, aku memandang pintu di belakangnya. Aku bahkan

melupakan pintu itu, tidak mempedulikannya. Aku melangkah ke pintu itu dengan rasa penasaran. Ini kamar tidur, kan? Seperti apakah bagian dalamnya?

Sebuah ranjang berukuran queen size berada di tengah ruangan, di sampingnya ada dua buah meja kecil.

Sebuah meja dan kursi berwarna cream terletak di samping jendela kaca serupa dengan jendela di ruang tamu yang memberikan cukup penerangan masuk ke dalam kamar. Ada sebuah lemari baju dengan cermin setinggi aku, kurang lebih 170 cm. tinggiku 160 cm, tinggi normal untuk seorang wanita Asia. Kamarnya sederhana, tapi berkesan elegan minimalis karena didominasi warna putih, abu-abu tua dan muda, serupa ruang tamu.

Ranselku kubawa masuk dan kuletakkan di atas ranjang, lalu memasukkan barang-barang lainnya yang memenuhi

lantai di samping ranjang. Oh, ya, aku belum melihat kamar mandinya. Aku sangat menyukai berada di suatu tempat baru. Aku akan berusaha mengeksplorasi setiap sudutnya jika memungkinkan.

Kamar mandinya kecil, berukuran 1,5 m x 2,5 m dengan shower room di paling ujung, toilet dan wastafel beserta

cermin seukuran dada di sampingnya. Di bawah cermin, sebuah sabun batang, shampoo, sikat gigi, odol dan handuk kecil duduk dengan lucunya. Warnanya senada dengan ruang tamu dan kamar tidur, putih dengan lis abu muda dan tua. Aku menyukainya. Aku menyukai tempat tinggal baru sementara ini. Tidak masalah aku tinggal di sini selama dua minggu, dua bulan pun aku mau.

Rasa haus melandaku. aku menuju meja minibar, mengambil air mineral dan meminumnya. Apakah di dalam minibar ada sesuatu yang bisa aku makan? Aku lupa memeriksanya tadi. Yes, ada camilan wafer cokelat. Wafer bukan jenis camilan kesukaanku, tapi lumayanlah sebagai makanan pembuka.

15 menit kemudian makananku datang, diantarkan seorang pria muda memakai seragam serupa  resepsionis wanita, berwarna abu-abu muda dengan lis putih di lengan dan dadanya. Disuguhkan di dalam kotak makanan.

Saking laparnya, kotak makanannya kosong dalam hitungan beberapa menit. Enak juga makanan di sini. Aku bisa mencoba semua menunya selama aku tinggal di sini.

Terpopuler

Comments

Ai

Ai

Perubahan yg bikin excited sekaligus takut

2024-04-07

0

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Mendadak kehidupan berubah sudah dimulai

2024-04-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!