Bab 10

Senin berlalu dengan cepat. Kerjaanku banyak, aku bahkan tidak sering membuka portal-portal pencari jodohku. Selasa juga berlalu dengan cepat karena pekerjaan ibu rumah tangga yang menumpuk, seperti menyapu, mengepel, mencuci baju, menyeterika, dan lain sebagainya yang kukerjakan dari sore sepulang kerja hingga malam hari sebelum tidur.

Rabu berlalu begitu lambat, tidak banyak yang aku kerjakan. Dan pikiranku terus tertuju ke si pengacara yang tidak kunjung meneleponku. Jangan-jangan ini hanya penipuan. Lalu, tanda tanganku disalahgunakan? Tapi, siapapun bisa membuat tanda tangan seperti itu. Aku tidak menyerahkan KTP, rekening bank atau hal-hal pribadi lainnya. Tetap saja aku kuatir.

Kamis pagi aku makan dengan lahapnya. Aku memasak mie goreng pedas dengan sayur dan bawang ditemani segelas kopi, karena aku tidak memiliki cangkir. Pekerjaanku hari ini tidak menuntut konsentrasi. Aku lebih banyak berurusan dengan ponselku dan sedikit-sedikit menengok bukuku yang belum juga selesai dibaca sudah hampir sebulan.

“Hei, tuli, ya? Ponsel kamu bergetar sedari tadi.” Tepuk rekan kerjaku yang usil.

Benar saja, ada telepon masuk. Si pengacara.

Aku keluar dari ruangan menuju lorong depan kantor yang sunyi.

“Halo.”

“Besok jam 12 siang di Tomatoz.” ucap suara di seberang tanpa menyapa.

“Tidak bisa, aku kerja.” Ya, besok aku kerja sampai malam.

“Kamu tidak kerja besok.” bantahnya percaya diri.

Aku hanya tertawa ketus.

“Jangan terlambat.” Ditutupnya telepon tanpa pamit, aku sudah terbiasa.

Aku hanya menarik napas. Rasanya tidak ingin marah-marah hari ini. Aku kembali ke dalam kantor, meraih jadwal

kerjaku dan terpana. Kamis besok aku libur. Bagaimana dia bisa tahu aku libur besok? Tiba-tiba semua hal yang terjadi dua minggu terakhir ini berkelebat di kepalaku. Bagaimana dia memperoleh informasi pribadi seperti jadwal kerjaku?

Otakku berputar dari pertama kali dia mengirimkan pesan kemudian ke pertemuan pertama. Aku merinding. Apa yang sedang? Ini tidak mungkin ulah rekan-rekan kerjaku.

              Jam 10 pagi aku sudah siap,

menunggu Gojek yang sedang dalam perjalanan. Dia memasuki daerah kampung tempat

kosku berada. Sudah berbelok kanan, 100 meter lagi tiba. Aku turun tergesa

dengan pikiran yang masih berkecamuk dengan segala hal yang terjadi. Aku harus

mengetahui apa yang sedang terjadi hari ini. Aku harus menanyakan banyak hal

kepada pengacara itu.

Jam 12.15 aku tiba di Tomatoz. Pelayan berpakaian putih hitam berambut tersanggul rapi, menyambutku. Ketika

aku mengatakan kalau aku ada janji dengan seorang pria, dia langsung mengantarkaku ke bagian paling belakang restoran. Kenapa selalu di bagian belakang restoran, seolah-olah tidak ingin ketahuan orang lain. Kenapa tidak bertemu di tempat yang sepi kalau begitu? Tapi, aku tidak akan mau jika diajak bertemu di tempat sepi.

Kali ini di pojok kanan, bukan pojok kiri, duduk seorang pria yang membelakangiku, mengenakan kemeja abu-abu

bergaris dan celana kain hitam. Apa dia penyuka warna abu-abu?

Aku langsung duduk tanpa menyapanya. Dia memandangku seperti ingin memprotes soal keterlambatanku. Sebelum dia mengatakan sesuatu, si pelayan bertanya “Mau pesan apa?”

 Lagi-lagi aku dianggap seperti sudah lama tiba di restoran dan sudah memiliki menu pasti yang akan aku pesan.

Aku tidak diberi kesempatan untuk melihat menunya, aku bahkan tidak tahu restoran ini menjual jenis makanan apa. Tomat? Sesuai namanya?

“Snack bowl dan air putih.” Lagi-lagi si pengacara menjadi juru pesanku tanpa aku minta. Dan lagi-lagi menu serupa dengan sebelumnya. Snack Bowl sama dengan Dessert Bucket pastilah, berisi penganan-penganan ringan. Kalau dalam jumlah besar, tidak ringan lagi, sih.

Aku diam saja, aku mengumpulkan segenap ketenangan yang bisa aku temukan dari pikiranku. Sebenarnya aku tidak bisa tenang sama sekali, karena begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku yang ingin aku tanyakan kepadanya. Tenang, tenang, aku harus mendapatkan jawaban tentang semua teka-teki ini hari ini dari mulutnya.

“16 menit.” Suara datarnya menarik pandanganku yang awalnya sedang mengangumi interior restoran bergaya barat ini. Bukannya hanya 15 menit? Masa aku berjalan dari pintu depan ke meja ini selama semenit?

“Macet.” kataku datar.

“Ini terakhir kalinya kamu terlambat. Ada konsekuensi untuk ketidakdisiplinan.”

Apa? Memangnya aku sedang di sekolah? Atau jangan-jangan dia jelmaan kakekku yang dulunya tentara perang?

Tangan kanannya menyodorkan dokumen di dalam map hitam seperti biasanya. Tumben dia memberikan mapnya juga.

Aku meraihnya, mengeluarkan dokumen di dalamnya, membuka halamannya dan sampai ke halaman paling akhir. Ada satu lagi tanda tangan di sebelah kiri tanda tanganku yang juga dilengkapi meterai.

"Ini milikmu. Sekarang tanda tangani ini.” Pengacara itu mengeluarkan sebuah map hitam lagi dari dalam

tasnya, mengeluarkan dokumen yang sama-sama kosong di bagian paling depannya, membuka halaman terakhir, memutarnya dan menyodorkannya padaku dengan pulpen khasnya.

Aku memandangi dokumen yang sudah berisi tanda tangan di atas meterai di bagian kiri, seperti dokumen yang

satunya. Tapi, ada yang berbeda. Aku membacanya. Dalam bahasa Inggris.

Seperti mengetahui pikiranku, si pengacara berkata, “Isinya sama.”

Pikiranku langsung bekerja. Dalam bahasa Inggris. Bisa saja ada yang berbeda, kalaupun benar sama, tapi terkadang terjemahan bisa saja memiliki arti berbeda. Aku tidak mau mengambil risiko.

“Kenapa suratnya harus berbeda? Kenapa punyaku tidak dalam bahasa Inggris juga?”

“Lebih mudah dimengerti dalam bahasa Indonesia.” Katanya masih dengan suara datarnya yang kedengaran sangat menyebalkan bagiku sekarang. Aku dianggap tidak mengerti bahasa Inggris, ya? Memang bahasa Inggrisku tidak fasih, kosakataku tidak banyak, tapi zaman sekarang ini, apa yang tidak bisa dikerjakan internet? Aku bisa

menerjemahkannya di internet, bukan?

“Aku ingin surat yang sama.” Aku bersikukuh.

“Isinya sama.” Seperti robot, dia mengulang kata-kata yang sama.

“Terjemahan bisa saja berbeda arti.” Aku ngotot.

“Kamu bisa memiliki kopinya.” Dikeluarkannya satu dokumen lagi dari dalam tasnya

“Bagaimana kalau aku foto dokumen yang ini?” tawarku menunjuk dokumen berbahasa Inggris di depanku. Bisa saja ‘kan dia memberikan aku fotokopian yang isinya berbeda dari surat perjanjian yang akan aku tanda tangani. Aku harus tetap waspada.

Dia mulai kelihatan jengkel, tapi dengan tenang berkata, “Silakan.”

Eh, dia tidak menolak. Bagus. Kuambil ponselku dari dalam tas. Ketika aku akan mengambil foto pertamaku, dia

berseru, “Tanda tangani dulu.” Apa bedanya, pikirku. Tapi, aku langsung melakukan apa katanya kemudian mengambil 10 foto. Jumlah halamannya sama dengan dokumen berbahasa Indonesia yang aku miliki.

Ya, ampun, kenapa aku menandatanganinya sekarang, harusnya aku meminta waktu untuk membacanya dulu.

“Sebentar. Aku harus membaca dan membandingkan dulu isinya dengan yang aku miliki.”

“Kamu tidak rugi apapun. Dan juga tidak ada yang bisa dilakukan dengan tanda tanganmu.” katanya sembari

mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah amplop cokelat tua. Dia menganggukkan kepalanya menyuruhku melihat isinya.

Dengan patuh aku membuka amplopnya. Dalam sekejap, di tanganku sudah ada beberapa barang. Ada sebuah

buku tabungan dan beberapa lembar kertas. Aku mengeceknya. Kertas pertama berisi surat rekomendasi perjalanan ke Swiss dalam bahasa Jerman, hingga lembar ketiga, berisi tanda tangan yang sama seperti di surat perjanjian. Beberapa lembar selanjutnya yang terpisah adalah lembar Lembar pengajuan visa Schengen dan lembar terakhir yang juga terpisah berisi daftar dokumen yang harus aku siapkan untuk ke Swiss. Mataku terbelalak memandangi kertas-kertas di tanganku.

Selagi aku membolak-balik dan hanya membaca sekilas kertas-kertas di tanganku, pengacara itu memerintah,

“Periksa yang lain.” Aku mengambil buku tabungan, bank internasional. Kubuka lembar pertama dan tercengang. Namaku tercantum lengkap dengan alamat dan nomor rekening. Aku membalik halaman selanjutnya dan melihat beberapa transaksi dan melihat jumlah yang tertera pada tulisan paling bawah.

Wow. Aku menghitung jumlah nol yang tertera. Delapan angka nol dan angka satu paling depan. Transaksi itu

terjadi selama 2 bulan terakhir, ditransfer.

Dengan mulut menganga, aku mengangkat wajahku memandang pengacara di depanku yang sedang memperhatikanku.

“Itu jaminanmu mengajukan visa.”

Pandanganku kembali tertuju ke dokumen yang ada di depanku dengan bertanya-tanya, apakah ini benar sedang

terjadi? Benarkah aku akan menikah dan tinggal di luar negeri? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa mimpi ini panjang sekali? Kapan aku akan terbangun?

“Ajukan pengunduran diri besok.”

“Apa?” aku benar-benar kaget mendengarnya.

Tangannya menggeser selembar kertas ke depanku. Kapan dia mengambilnya dari dalam tasnya?

Aku membacanya dan tertegun. Surat pengunduran diriku tertanggal besok, isinya sederhana layaknya surat

pengunduran diri yang bisa aku temukan di pencarian internet. Di bagian paling bawah, masih ada yang menunggu untuk diisi, sebuah bagian kosong di antara salam dan nama lengkapku: tanda tanganku.

“Tanda tangani.” Aku disuruh lagi, “Serahkan besok pagi.”

"Aku belum siap sekarang.” Keraguan masih meliputiku, semuanya berjalan terlalu cepat dan masih begitu

banyak teka-teki yang belum terjawab. Aku bingung.

Dari dalam hatiku, aku mendengar suara berkata, ‘Tenanglah.’ Benar, aku harus tenang. Aku menarik napas panjang dan menengadah menatap pengacara di depanku.

“Aku pu…” belum sempat kuselesaikan kata-kataku, pelayan yang tadi mengantarku kembali dengan membawa

segelas air putih dan sebuah mangkuk sebesar piring spaghetti berisi bermacam-macam makanan dengan berbagai warna. Apa itu?

“Permisi. Maaf agak lama penyajiannya.”

Aku melirik jam dinding yang tidak menempel di dinding melainkan di salah satu tiang di tengah ruangan. Benar

saja, sudah lewat 37 menit dari pukul 12. Aku bahkan tidak memperhatikan. Ini pertama kalinya aku duduk berhadapan dengannya selama ini.

“Lanjutkan.” Perintahnya setelah pelayan itu berlalu.

“Aku punya beberapa pertanyaan.” Aku diam sebentar melihat responnya, tapi dia diam saja. “Kenapa memilihku dari sekian banyak wanita di portal itu?” aku diam, tapi beberapa pertanyaan seperti mendesakku untuk diucapkan. “Berapa banyak portal yang diikuti?” Waduh, ini bukan pertanyaan yang penting, kenapa itu yang aku tanyakan. “Maksudku, kenapa harus lewat portal seperti itu? Apa tujuannya? Kenapa begitu cepat?” aku membobardir.

“Bagaimana kamu tahu kalau hari ini saya libur?” ini pertanyaan yang paling ingin aku ketahui. “Apakah aku

dimata-matai?”

Diangkatnya cangkir kopinya yang tidak kelihatan berisi dari pandangan mataku, sepertinya masih ada ampasnya.

Setelah meminum seteguk, dia menatapku. Tidak berkata apapun, semenit.

“Hanya yang layak yang mendapat kesempatan ini. Seorang yang layak perlu diobservasi.”

Keningku berkerut.

“Bagaimana?” suaraku cempreng, seperti tersekat di kerongkonganku. “Bagaimana kamu melakukannya?”

“Mungkin suatu hari nanti kamu akan tahu.” Ini bukan kata-kata yang bisa menenangkan dan meyakinkan seseorang. Bukankah seharusnya seorang pengacara belajar tentang psikologi? Ataukah tidak?

“Aku ingin jawaban pasti.”

“Semua proses legal, tidak perlu cemas.”

“Perjanjian semacam ini legal? Tidak ada kepastian kedepannya.”

“Sebelum mengajukan visa, kamu akan mendapatkan detailnya.”

“Kenapa tidak sekarang saja?”

“Ikuti saja prosesnya.”

Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri dan menutupnya dengan berkata, “Hubungi saya setelah mengajukan

pengunduran diri besok.” Dan diapun meninggalkanku dengan semangkuk makanan dan segelas air putih yang belum tersentuh.

Aku merasakan kegelisahan yang begitu mengganggu. Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi. Tolong bangunkan aku

dari mimpi ini.

Terpopuler

Comments

Arvilia_Agustin

Arvilia_Agustin

Aku kasih bunga ni thor

2024-05-04

1

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)

orang yg misterius banget, yg sini dag dig dug takut diapa-apain

2024-04-07

2

marrydianaa26

marrydianaa26

mampir thor, semangat!!
feedback juga ya di karya aku

2024-04-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!