Bab 20

Aku terbangun pagi ini karena bunyi alarmku, seperti biasanya. Tanganku meraba, mencari ponselku yang aku letakkan di bagian bawah ranjang. Setelah meraihnya, aku menggeser layar ponsel ke atas, mematikan alarm. Aku membuka mataku dan menatap ruangan yang remang-remang. Di mana aku? Mataku menatap ke depan ke sekitar jendela di depanku. Ah, aku sudah kembali ke Swiss, di rumah baru yang keren.

Kuraih lagi ponselku yang kini lebih dekat dengan tanganku dan melirik jam di layarnya setelah aku mengetuk layarnya dua kali: 06.02 am. Terlalu pagi untuk bangun, apalagi di musim dingin seperti ini. Tak ada yang bisa aku lakukan sepagi ini. Walaupun aku bangun siang, tetap saja tidak ada yang bisa aku lakukan. Minggu ini aku libur, entah libur dari apa, karena masa setelah acara pernikahan adalah masa libur dari apapun. Aku hanya akan diam di rumah sepanjang hari sepanjang minggu, kecuali keluar berbelanja mingguan atau ke dokter dan ke klinik perawatan kesehatan.

Lalu, kenapa aku menyetel alarm jam 6 pagi? Sepertinya semalam aku lupa menyetel ulang alarm ponselku.  Aku tidur lagi.

Jam 9.20 aku terbangun karena kepentingan mendesak. Ketika aku membuka mataku, isi di dalam kamarku sudah kelihatan, sinar matahari yang redup meneranginya. Aku memperhatikan kamarku. Oh, ya, kamar mandi di sebelah kiri.

Lega sekali rasanya saat keluar dari kamar mandi dan mencuci wajahku. Di depan pintu kamar mandi, aku memandang kamar baruku berkeliling dan tersenyum. Aku suka kamar ini.

Aku melangkah keluar kamar ke arah balkon di bagian depan rumah. Salju bertebaran di atapnya dan juga di pekarangan depan rumah dan di pinggiran jalan. Bagian tengah jalan bersih tanpa salju, sudah dibersihkan. Aku tersenyum, aku suka rumah ini dan lingkungan di sekitarnya. Antara satu rumah dengan rumah lainnya dipisahkan

dengan halaman samping dan pagar yang memberi privasi pada setiap penghuni rumahnya. Aku suka ini.

Tangga kayu turun ke bawah tidak mengeluarkan suara sama sekali dan karpet yang membalutnya membuat kakiku

yang terbungkus kaos kaki tebal terasa makin hangat. Aku melangkah menuju pintu depan dan membuka pintunya, hanya memakai sandal rumah, aku keluar ke beranda. Halaman depan tampak putih hijau. Salju sudah berhenti, tapi hawanya masih terasa dingin. Angin yang tiba-tiba berhembu menerpaku membuatku memutuskan untuk kembali ke dalam rumah.

Aku mengitari semua ruangan yang ada di lantai pertama, lagi, seolah kemarin belum cukup, dan berakhir di dapur, membuka lemari dan kulkas mencari apa yang cocok dimakan pagi ini. Mataku tertuju ke roti yang ada di dalam wadah roti dari kayu. Aku harus menyantapnya hari ini, kalau tidak, nanti basi. Aku mengambil semua selai yang aku temukan di lemari dan meletakkannya di meja dapur. Lalu, aku mengeluarkan setiap makanan yang bisa aku pasangkan dengan roti dari dalam kulkas. Meja dapur setengah penuh dengan berbagai selai, keju oles, keju cheddar, salami, sosis, sayuran dan mentega. Aku tidak suka mentega, tapi pagi ini aku ingin mencoba banyak makanan dengan bermacam kombinasi.

Ada 12 potong vollkornbrot. Aku bisa makan setengahnya sekarang dan setengahnyalagi besok pagi. Apakah masih enak dimakan besok pagi? Ataukah dimakan nanti sore? Tidak, aku ingin makan sesuatu yang lain nanti sore.

Pagi ini aku habiskan untuk makan dan mengotak-atik seisi rumah dan tentu saja mengambil beberapa foto, maksudku beberapa puluh, hehe….

Lima hari aku habiskan dengan aktivitas yang tidak berarti. Bangun, makan, merenung di nook dapur, membaca buku, bermain permainan di ponsel, menonton film, belajar bahasa Jerman, memasak, bersih-bersih rumah, dan rutinitas kecil lainnya yang sama. Setiap hari ada pembersih salju yang datang membersihkan salju di pekarangan depan hingga belakang. Aku sudah diwanti-wanti oleh Assis untuk tidak menyapa dan membukakan pintu bagi siapapun selain dia dan Fahrer. Jadi, aku hanya diam di dalam rumah ketika mereka datang.

Aku sedang menonton film yang aku sambungkan dari flash disk ke televisi ketika Assis menelepon.

“Selamat sore, Nyonya.” sapanya yang aku tebak sambil tersenyum. Aku ikutan tersenyum membayangkan itu.

"Selamat sore, Assis.” Aku tidak pernah tahu nama aslinya dan aku tidak diperbolehkan tahu nama mereka semua, bukankah ini sangat mencurigakan? Tapi, aku sudah hidup seperti ini selama lebih dari 2 bulan dan sudah terbiasa. Kalau nanti akan timbul masalah, itu urusan nanti.

“Bagaimana kabar Nyonya?” tanyanya ramah.

“Aku baik-baik saja. Kamu?” aku bertanya balik.

“Kabar saya baik. Terima kasih.” Sopan dan formal sekali. “Besok jam 3 sore Fahrer akan menjemput Nyonya dan diantarkan ke supermarket untuk berbelanja mingguan. Apakah Nyonya ada keperluan lainnya? Kalau ada, akan saya atur jadwalnya.” Memangnya aku ini Ibu Negara dengan jadwal yang padat sehingga perlu asisten untuk mengaturnya? Tapi, aku menjawab saja.

“Tidak.”

“Baiklah. Jadwal…”

 “Eh, bolehkah aku jalan-jalan besok?” selaku memotong omongannya.

“Nyonya mau ke mana?” ada jeda sedikit sebelum Assis menjawab.

“Aku hanya ingin berkeliling Geneva.”

“Tidak ada yang berubah di Geneva sejak kepergian Nyonya sebelumnya. Saya rasa tidak ada yang dapat dilihat.”

Menyebalkan sekali jawabannya. Dia pasti mengerti maksudku, kenapa tidak diizinkan? Aku hanya ingin melihat-lihat Geneva saja.

“Bisakah aku ke toko buku?” tawarku.

“Buku apa yang Nyonya ingin beli? Saya bisa memesankannya secara daring.” Aku kalah.

“Aku ingin membeli beberapa buku berbahasa Indonesia.”

“Nyonya bisa memberikan saya judul-judulnya dan saya akan memesankan untuk Nyonya.”

“Bagaimana kalau aku sendiri yang memesannya?”

“Sayayang akan melakukannya untuk Nyonya.” Tak bisa dibantah lagi. Aku bahkan tidak tahu buku apa yang ingin aku beli. Aku hanya ingin memilliki kegiatan di rumah.

“Baiklah.” Suaraku melemah.

“Ada hal lain yang Nyonya inginkan?”

Aku berpikir. Apa  lagi yang bisa aku minta? Aku ingin ke restoran. Akankah dia mengizinkanku?Harus dicoba dari yang ringan terlebih dahulu.

“Bisakah aku memesan makanan pesan antar?” tanyaku agak pelan dengan suara halus, mencoba memulai negosiasi.

“Jika Nyonya ingin makan sesuatu, Fahrer bisa membelikannya untuk Nyonya.”

“Maksudku bukan hari ini, tapi besok besok.”

“Fahrer yang akan membelikannya untuk Nyonya dan mengantarkannya.”

Hah,,, sudah kuduga tidak bisa, tapi apa salahnya mencoba, bukan? Dan aku terus mencoba.

“Kalau aku makan di luar?”

“Bisa kalau saya menemani.”

Ada harapan.

Sambil berharap, aku bertanya, “Kapan kamu bisa?”

“Saya tidak bisa berjanji.” Sama dengan tidak bisa. Sudahlah, aku terlalu berharap tadi.

Aku diam.

“Ada lagi yang Nyonya butuhkan?”

“Tidak ada.” Ingin sekali aku menutup telepon, tapi aku menunggu.

“Baiklah. Jika ada yang Nyonya perlukan, silakan hubungi saya. Selamat sore.”

Aku diam, aku pikir dia akan menutup teleponnya, tapi aku masih mendengar suara seperti bunyi mesin di latar belakang, jadi aku berucap, “Selamat sore.” dan menutup telepon.

Menyebalkan sekali rasanya, aku hanya ingin melihat-lihat kota, dari dalam mobil. Yang aku lihat setiap hari hanya rumah ini. Aku tidak bosan dengan rumah ini, malahan sangat menikmatinya, tapi aku ingin menikmati suasana di luar sana selagi aku bisa. Aku hanya bisa keluar seminggu sekali, ya mungkin hanya untuk minggu ini, semoga minggu depan jadwalku akan lebih sering ke luar. Dia belum memberitahu apapun tentang kegiatanku mulai minggu depan.

14.30. Aku sudah siap, duduk di nook dapur dan menunggu Fahrer menjemputku. Aku bisa melihat halaman depan dari sini, jadi aku akan segera ke pintu ketika dia tiba. 14.50 mobil sudah terparkir di depan rumah, tapi tidak ada seorang pun yang turun. Fahrer akan menunggu hingga 14.59 untuk turun dari mobil. Benar saja.

Penuh semangat aku melangkah menuju pintu depan dan sebelum Fahrer mengetuk, aku sudah membuka pintu dan tersenyum berkata, “Selamat sore. Apa kabarmu?”

“Selamat siang, Bu. Kabar saya baik. Terima kasih.” Berbeda dari Assis, Fahrer seperti hanya berkomunikasi satu arah. Tidak apa dia tidak bertanya kabarku, aku tidak begitu memikirkannya, sebab aku ingin menikmati hari ini dengan bahagia.

Aku menutup pintu depan, menguncinya, memasukkan kunci ke dalam kantong kecil di dalam tas selempangku, tersenyum ke Fahrer dan berkata, “Ayo.”

Sepanjang perjalanan menuju supermarket, yang aku lihat adalah warna putih jalanan dan rumah-rumah yang didominasi salju. Salju masih turun perlahan, menambah suasana menyenangkan, tapi sangat dingin ketika aku turun menuju supermarket. Mobil diparkir di depan supermarket, tidak ada area parkir bawah tanah, jadi aku harus berjalan di antara salju yang sedang turun.

Sejam kemudian aku kembali ke mobil bersama Fahrer yang terus mengekori seperti anak ayam. Aku tidak suka ini sejak pertama kali aku tiba di Swiss, tapi aku juga paham kalau ini adalah tugasnya. Dia diperintahkan untuk mengikutiku selama aku berada di luar rumah. Kenapa aku dijaga ketat saat berada di lua

rumah? Memangnya aku aman di dalam rumah? Jangan-jangan ada CCTV di dalam rumah? DIi kamarku mungkin??? Ataukah ada orang yang mengawasiku dari kejauhan, mungkin tetangga sebelah atau depan rumah adalah orang yang ditugaskan mengintaiku? Aduuh, aku terlalu banyak menonton film aksi, pikiran jadi liar kemana-mana. Bukankah Swiss adalah negara yang aman?

Perjalanan pulang melewati rute yang sama, terasa lebih cepat dari sebelumnya. Seperti biasanya, perjalanan pertama kali akan berasa lebih lama dari perjalanan kedua dan seterusnya. Sebentar lagi aku tiba di rumah dan

terkurung. Aku harus menggunakan kesempatan ini.

“Aku ingin membeli makanan.” ujarku dari kursi belakang memandang Fahrer di depanku.

“Maaf, tidak bisa, Bu.” balasnya dengan nada tegas. Salut.

“Aku lapar, ingin makan sesuatu.” tegasku coba bernegosiasi.

“Ibu harus segera pulang setelah dari supermarket.” katanya tidak goyah.

“Kamu boleh mengikutiku ketika aku membeli makanan.” aku terus mencoba.

“Katakan saja Ibu ingin membeli apa dan saya akan membelikannya setelah Ibu tiba di rumah.” Saran yang tidak masuk akal.

“Bukankah lebih baik dibeli sekarang selagi kita masih di jalan?” tawarku.

“Anda harus langsung kembali ke rumah tanpa singgah di manapun.” Kali ini dengan intonasi yang lebih keras dan tegas. Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku bilang kalau Assis mengizinkanku? Aku yakin itu tidak akan berhasil. Bagaimana kalau aku pura-pura sakit perut dan harus ke toilet? Atau mungkin aku bilang kalau ada sesuatu yang aku lupa beli tadi? Layak dicoba meskipun mencurigakan setelah usahaku untuk berhenti membeli makanan.

“Ak…”

“Maaf, Bu, alasan apapun tidak bisa saya terima. Dalam 15 menit Ibu akan tiba di rumah. Kalau ada sesuatu yang

harus dibeli, saya akan membelikannya untuk Ibu setelah Ibu masuk ke dalam rumah.”

Lemas aku mendengarnya. Benteng pertahanannya begitu kokoh, dia tidak mudah dibujuk. Atau haruskah aku mencoba dengan cara yang halus? Tidak perlu, aku pulang saja.

Aku mengamati setiap hal yang lewat di depan mataku dan mencoba menyimpannya dalam memoriku dan menikmatinya. Aku tiba di rumah dan ketika akan masuk ke dalam rumah, Fahrer bertanya, “Ada yang harus saya belikan?”

“Tidak ada, terima kasih, selamat sore, hati-hati di jalan.” aku mengucapkan semuanya dengan datar tanpa intonasi dan tanpa semangat sama sekali. Aku masuk dan menutup pintu dengan Fahrer yang masih berdiri di depan pintu. Dia selalu begitu, memastikan aku masuk ke dalam rumah, aman, kemudian dia pergi.

Aku menatap lorong di depanku dan mendesah, “Di sini lagi.”

Kenapa harus bersedih dan mengeluh. Ini bukan pertama kalinya aku ditinggal sendirian, aku sudah terbiasa sendirian, sendirian di rumah, sendirian di kos, sendirian menonton film di bioskop. Sendiri bukan berarti kesepian, bukan? Lagipula aku punya banyak makanan. Aku bisa pesta, mukbang sambil menonton film. Bukankah ini hidup yang menyenangkan?

Sore ini aku habiskan untuk mencoba beberapa resep dari youtube. Ada yang berhasil dan ada juga yang tidak. Tidak apa-apa, ini menjadi makanan ala aku, resep buatanku.

Masih sore tapi langit sudah gelap. Lampu taman, lampu pintu depan dan pintu belakang menyala otomatis. Aku menyalakan lampu lorong dan lampu kecil di ruang tamu, ruang makan dan ruang depan atas. Lalu, kedua tanganku sibuk membawa makanan-makanan pindah ke ruang keluarga. Aku menutup tirainya, mematikan lampu yang tadi aku nyalakan ketika mengantar makanan pertama. Aku membuka sofa ranjang yang berada di depan layar monitor 100 inchi dan duduk meregangkan kakiku.

Tanganku meraih remote dan memasang TV ke mode USB dan mencari film yang ingin aku tonton. Mrs. Harris goes to Paris sepertinya film yang menarik. Kuletakkan remote kembali ke sampingku dan mencoba meraih

minuman.

Lupa. Aku lupa mengambil Sprite dingin dari lemari es. Tanpa menghentikan film yang masih di bagian pembukaan, aku beranjak kembali ke dapur dan mengambil sebotol besar Sprite dan air mineral, lalu kembali ke kursi nyamanku.

Film ini membuatku tertawa terbahak-bahak sekaligus sedih. Mrs. Harris yang awalnya kukira seorang sanguin, ternyata melankolis juga. Dia bersedih dan menunggu kepulangan suaminya dari perang, dia merasa sedih dan kecewa ketika ternyata dikira disukai oleh seorang pria yang ternyata hanya mengaguminya, karena hatinya mirip seperti gurunya ketika sekolah dulu. Tapi, aku menyukai akhir bahagianya. Dia membuka hatinya untuk teman baiknya yang telah menunggunya sejak dia masih menjadi suami orang lain. Kalau aku jadi Mrs. Harris, aku tidak mungkin menerima teman baikku sebagai pasanganku. Teman ya teman saja, tidak bisa lebih

dari teman.

Aku ingin menonton film lain lagi, tapi aku harus mengosongkan sedikit air di dalam perutku. Aku sudah menghabiskan setengah botol Sprite berukuran 1,5 liter dan air hampir setengah liter. Aku kembali ke ruang keluarga dengan sekantong keripik kentang di tangan kiriku dan cokelat di tangan kananku. Ini makanan penutup yang pas. Mungkin aku perlu jus juga untuk menyegarkan tenggorokan dan perutku. Sebotol kecil jus apel cukup.

Kali ini aku memilih film aksi yang membuatku tegang dan penuh konsentrasi selama hampir dua jam.

Ketika sudah di tempat tidur setelah berendam, aku merasakan efek film yang sudah aku tonton tadi. Kebaikan Mrs. Harris masih terbayang dan betapa memalukannya ketika dia mengira si pria kaya menaruh hati padanya. Aku membayangkan diriku di posisinya, aku pasti malu sekali, tapi aku tidak akan lari dari depannya seperti itu. Itu akan sangat memalukan dan membuatnya curiga kalau aku menyukainya.

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

aku mampir Thor

2024-05-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!