BAB 20 - KALAH TELAK

Zeha membuka kedua matanya. Perlahan-lahan ia melirik ke sekitar, dan mencoba untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Beberapa saat kemudian, begitu ia tersadar, ia langsung duduk dengan perasaan kaget. Sekali lagi ia melihat ke sekeliling, dan menyadari bahwa dirinya tengah berada di ruangan asing.

Zeha memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Ia mencoba untuk mengingat kembali apa yang telah ia alami sampai tertidur di ruangan asing.

Tak butuh waktu lama baginya untuk berhasil mengingat kilas balik sebelum ia berada di sini. Memori itu mengalir deras di kepalanya seakan ditransfer secara sengaja.

“Aku akan melakukannya dengan serius,” ucap Xavier bersamaan mengeluarkan aura yang begitu besar. Sesaat Zeha sempat terkejut dan merinding, namun ia segera memfokuskan diri dan bersiap pada pertarungan.

“Aku mulai.”

Xavier melancarkan serangan dengan sangat cepat. Saking cepatnya, Zeha sampai tak bisa melihat atau pun merasakan kecepatannya. Yang ia rasakan hanyalah pukulan luar biasa kuat mendarat di perutnya.

“Kuakh!”

Zeha pun terlempar jauh dan menabrak gubuk hingga roboh. Ia bahkan belum menahan serangan dan memberikan serangan balik, tapi ia sudah pingsan lebih dulu hanya karena terkena satu serangan fatal.

Hal terakhir yang ia lihat beberapa prajurit yang sedang berlari menghampirinya.

Seluruh tubuh Zeha membatu setelah selesai mengingat kembali memori yang sempat hilang. Ia tiba-tiba menyesal karena telah menerima tawaran Xavier saat itu yang mengajaknya untuk berduel.

Ia kalah dengan sangat mengenaskan.

Zeha tersenyum miring. Ia merasa sangat malu.

(Master, aku turut berdua cita atas kekalahanmu yang mengenaskan.)

"Sialan kau ...!"

Tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk. Lalu pintu terbuka dan menampakkan seorang pelayan pria, berjalan menghampiri Zeha.

“Tuan, anda sudah bangun?” tanya pelayan itu.

“Ah...iya,” Zeha membalas dengan canggung.

“Tuan muda menunggu anda di tempat pelatihan.”

-

-

-

Zeha sampai di tempat pelatihan. Di sana, ia langsung bertemu dengan Xavier yang tengah berdiri di tengah-tengah lapangan. Pria itu tidak memakai pakaian latihan, berbeda dengan dirinya.

Xavier tersentak saat melihat kedatangan seseorang yang sudah ia tunggu. “Lama sekali.”

Rahang Zeha mengeras. Hanya karena dua kata itu ia berhasil naik darah. Namun ia harus menahan emosinya lantaran Xavier merupakan seorang Putra Mahkota.

“Ada perlu apa memanggil saya kemari?” tanya Zeha begitu sampai di hadapannya.

“Aku akan menepati janjiku.”

Kening Zeha sedikit berkerut, dan memiringkan sedikit kepalanya. “Janji? Janji apa?”

“Padahal kau mengatakannya tepat sebelum kita berduel, tapi kau sudah lupa? Kau pikun juga ternyata,” ucap Xavier.

“Kkhhkk ...!” Zeha menggertakkan giginya kesal. Ia sedang menahan emosi. “I..ya, maaf karena saya sudah pikun. Jadi, bisakah Yang Mulia mengatakan janji apa yang saya maksud?”

Xavier terdiam sejenak, sebelum menjawab, “Kau menawarkan janji kalau aku akan mengajarimu cara penggunaan sihir setelah duel berakhir.”

Zeha tersentak. Sekarang ia baru mengingatnya dengan jelas. “Begitu ya? Jadi, apa anda akan mengajari saya?”

“Aku tidak tahu bagaimana cara mengajari seseorang. Tapi aku akan mencobanya.”

“Tidak perlu diajari sepenuhnya. Cukup ajari dasar-dasarnya saja. Setelah itu saya akan belajar sendiri.”

Tatapan Xavier sedikit berubah. Ada perasaan kecewa yang terpancar di dalamnya, meski sedikit dan nyaris tak kentara.

“Baiklah.”

Zeha lantas tersenyum. “Kalau begitu, mohon bantuannya.”

Kemudian, Xavier pun mulai mengajari cara menggunakan sihir dengan efektif secara perlahan. Awalnya Zeha merasa kesulitan dan susah untuk memahami penjelasan Xavier. Ia terus mencoba dan terus mencoba.

“Kau pasti sudah pernah mendengarnya dari guru. Kau hanya perlu fokus memikirkan objek apa yang kau inginkan, dan kemudian melepaskan sihirmu. Kau yang harus mencari teknikmu sendiri. Kau harus tahu seperti apa teknik yang kau gunakan. Hanya dengan mengatakan tekniknya saja tanpa tahu seperti apa wujud teknik itu, maka semuanya akan sia-sia.”

Zeha terkejut. Itu sebabnya kenapa saat itu dia tidak bisa mengeluarkan sihir waktu itu. Karena dia tak tahu bagaimana wujud dari teknik-teknik yang ia ucapkan saat itu.

Zeha tersenyum miring, entah kenapa dia jadi merasa malu sendiri.

“Aku hanya bisa mengatakan itu. Sisanya kau usahakan sendiri,” ucap Xavier.

Zeha lantas mulai mencoba mempraktikkan apa yang ia dengar dari Xavier. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya keluar. Matanya fokus menatap ke depan, dengan satu tangan menjulur ke depan.

“Jangan ditahan. Keluarkan saja,” ucap Xavier.

Zeha mengerti sepenuhnya. Aura merah-biru yang menyelimuti dirinya berkobar. Keningnya berkerut ketika mencoba untuk lebih fokus dan konsentrasi.

Beberapa detik setelahnya, sebuah lingkaran sihir muncul dari dasar tanah. Panjang diameternya sekitar tiga meter.

Mata Zeha berbinar. Senyum merekah di wajahnya.

Kemudian, api muncul dari lingkaran sihir itu dan berkobar dengan sangat besar. Seperti api unggun yang sangat besar.

Baik Xavier, maupun Zeha terkejut.

Api itu sangat tinggi dan besar. Berkobar seakan tengah melahap sesuatu dengan ganas.

“A ... Aku berhasil—”

“Woy! Apa yang kau lakukan?”

Zeha sontak menoleh dan mendapati Xavier yang tengah menatapnya tajam dan tampak marah.

“Ada apa?” tanyanya.

“Kenapa kau membuat api sebesar ini!?” Xavier berteriak lagi.

“Aku tidak tahu! Aku hanya melakukan seperti yang kau katakan!” Bahkan Zeha sampai lupa menggunakan bahasa formal karena panik.

“Tapi tak perlu sampai sebesar ini, kan!?”

“A-aku tidak tahu! Aku tidak bisa mengendalikannya!”

“Lupakan itu, dan cepat matikan.”

Kening Zeha berkerut. “Hah?”

“Cepat lenyapkan sihirmu!”

“A-aku tidak tahu bagaimana!”

Xavier menganga lebar. Ia benar-benar tak percaya oleh kata-kata Zeha barusan. “Jangan bercanda! Kau mau membakar tempat ini?!”

“Gak mungkinlah!” Zeha bergerak gelisah kesana kemari untuk mencari jalan keluar. Ia berkali-kali mencoba untuk menghilangkan sihirnya, tapi tak kunjung berhasil. Dia sudah mencoba berbagai teknik sihir, tapi yang ada, apinya malah semakin besar.

“Dasar bodoh!” Xavier berteriak saking kesalnya. Urat-urat lehernya sampai terlihat jelas.

Zeha menggaruk kepalanya panik. “Aaarrgghh, aku harus bagaimana?!”

“Cih!” Xavier mencoba untuk tetap tenang dan mencari solusi, sementara Zeha masih panik dan bertingkah seperti orang gila.

Xavier mengamati api yang berkobar di tengah-tengah lapangan. Kebetulan, Xavier memiliki elemen air. Untuk memadamkan api, ia harus mengeluarkan sihir sebanyak dua kali lipat dari yang dikeluarkan oleh Zeha. Tapi ia ragu apakah itu akan berhasil atau tidak, mengingat api yang berkobar di sana itu tampak berbeda dari api biasanya.

Kening Xavier mengerut frustrasi. “Cih, aku tidak punya cara lain.”

Xavier menjulurkan tangan kanannya ke depan. Muncul dua lingkaran sihir berwarna biru. Yang satu muncul di tempat yang sama dengan lingkaran sihir milik Zeha, dan yang satunya lagi muncul di atas api tersebut. Ukurannya lebih besar dari lingkaran sihir milik Zeha.

“Prison of Frozen!”

Sebuah bongkahan es yang sangat besar muncul dari atas dan bawah. Api itu terperangkap di dalam bongkahan es, dan tidak kunjung padam. Perlahan-lahan, bongkahan es yang ukurannya dua kali lipat dari api itu mulai mencair.

Xavier menggeram kesal. “Cih! Ini sungguh membuatku frustrasi.”

Xavier terus membekukan bongkahan es yang mencair, terus begitu sampai api itu menyusut dan hilang sepenuhnya.

Ia membutuhkan waktu sekitar tujuh menit agar api itu benar-benar lenyap sepenuhnya.

Dua lingkaran sihir pun ikut hilang, bersamaan dengan bongkahan esnya. Napas Xavier terengah-engah, keringat pun turut membanjiri wajahnya.

“Woah ...! Hebaat ...!” Di sana, Zeha memandanginya dengan ekspresi kagum sembari memberikan dua buah jempol.

“Cih!” Xavier lantas menoleh pada Zeha sembari memberikan tatapan dingin dan menusuk. Zeha yang menyadari itu refleks membuang muka ke arah lain, lantas bersiul pelan seolah tak merasa bersalah sama sekali atas kekacauan yang ia perbuat.

Xavier menghembuskan napas panjang. “Dasar. Membuat repot saja ...”

Xavier yang tengah diselimuti oleh perasaan kesal, sementara Zeha hanya terkekeh-kekeh tanpa alasan.

“Maaf, soalnya anda belum memberi tahu cara membatalkan sihirnya. Aku, kan masih belajar ...” ucap Zeha.

“Diam!”

“Baik.”

Xavier lantas melangkah pergi untuk mengganti pakaiannya yang sudah kotor. Baru beberapa langkah ia berjalan, Xeha kembali memanggilnya.

“A-anu ...”

Xavier sontak berbalik, menatap Zeha dengan sangat tajam dan dingin. Zeha tahu kalau pria itu merupakan orang yang dingin dan cuek, tapi ia merasa kalau tatapan itu lebih mengarah kepada perasaan kesal daripada dingin.

“Te-terima kasih karena telah mengajariku ...” ucapnya tanpa melirik ke arah Xavier sama sekali. Ia tahu tindakannya itu tidak sopan terhadal Putra Mahkota, tapi ia merasa kalau harga dirinya akan turun jika ia memujinya sembari membungkuk hormat.

Tatapan Xavier sedikit berubah. “Kau bahkan belum bisa menguasai teknik sihir dengan baik, untuk apa berterima kasih?”

“I-itu wajar kan? Soalnya aku baru pertama kali belajar melakukannya! Mana ada orang yang langsung bisa mempraktikkannya dengan sempurna dalam sekali coba!” Zeha membalas tidak terima.

“Aku bisa, tuh.”

Zeha langsung tak bisa berkata-kata. “Ka-kau dan aku itu berbeda!” cicitnya.

“Apanya yang beda? Kau dan aku memiliki guru yang sama. Itu artinya, kau itu bodoh. Sangat teramat bodoh.”

“Kukh ...” Rahang Zeha mengeras, urat-urat lehernya terlihat jelas. Emosinya pun kembali naik.

Ia harus menahan emosinya selagi Xavier melangkah menjauh. Ia tak boleh kelepasan, apalagi sampai mengumpat di depan Putra Mahkota. Jika tidak, kepalanya akan langsung terpisah dari tubuhnya.

Tak lama, ekspresi Zeha berubah ketika ia tiba-tiba teringat oleh sesuatu. “Yang Mulia!”

Xavier menghentikan langkahnya. Jarak mereka mungkin sudah sekitar sepuluh meter.

“Aku akan mengunjungi rumah nenek besok, apa anda ingin ikut?”

Xavier terkejut. Tak waktu lama baginya untuk berpikir dan langsung menjawab dengan tegas, “Mengunjungi rumah guru tanpa sepengetahuannya itu merupakan tindakan tidak terpuji!”

Zeha terkejut mendengarnya. “Oh ... Ya sudah kalau tidak mau.”

-

-

-

Zeha akhirnya sampai di rumah sang nenek. Senyuman lebar merekah di wajahnya. Padahal ia belum lama meninggalkan rumah, tapi rasanya sudah lama sekali.

“Aku ikut bukan karena ingin.”

Zeha tersentak dan refleks berpaling ke arah sumber suara. Di belakangnya, ada Xavier yang tengah memalingkan wajah ke arah lain.

Pada akhirnya, Xavier memilih ikut untuk mengunjungi rumah sang nenek.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!