BAB 17 - KESALAHPAHAMAN KECIL

“Pe-permisi ...”

Zeha sukses terkejut dan langsung berbalik. Ia mendapati lima orang asing yang sudah berdiri di hadapannya. Ada tiga pria, dan dua wanita. Masing-masing memakai jenis baju zirah yang berbeda-beda.

“Kalian ... Siapa ...?” tanya Zeha bingung.

Hans selaku kapten tim lantas angkat bicara, “Saya adalah Hans Edarson. Saya adalah kapten dari tim penyerangan dungeon ini.”

“Tim penyerangan? Apa itu?” Zeha sama sekali tidak mengerti.

Zeha melirik mereka satu persatu. Ia bisa mengetahui level mereka berkat kemampuan Litch.

Dari sebelah kiri, yaitu Vior, memiliki jumlah sihir sebanyak 4.208. Lalu Ryan, berjumlah 4.012, Karina berjumlah 4.392, Helmi berjumlah 4.312, dan terakhir, kapten mereka yang memiliki jumlah energi sihir terbanyak, yaitu 5.820.

Mustahil bagi Zeha untuk mengalahkan mereka berlima dengan kekuatannya yang sekarang.

“Ada keperluan apa?” Zeha bertanya pertama kali.

Hans tampak terkejut sesaat, sebelum kembali menetralkan ekspresinya. “Kami adalah tim yang ditunjuk langsung oleh Yang Mulia Putra Mahkota sebagai tim penyerangan dungeon ini. Kami juga mendengar bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam tanpa izin.”

Zeha tersentak. Ia tak tahu kalau harus meminta izin terlebih dahulu sebelum memasuki gate. Karena sudah terlalu lama tinggal di hutan, ia jadi ketinggalan informasi.

“Ah, saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau ada peraturan seperti itu. Bagaimana ini? Monsternya sudah saya kalahkan.” Zeha tersenyum canggung. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuat pertikaian sekecil apa pun.

Bisa gawat jika dia berurusan dengan seorang Putra Mahkota.

Hans mengernyit dan menajamkan tatapannya. Tanpa diberitahu pun ia sudah tahu kalau orang yang membunuh monster-monster di sana adalah pria di hadapannya. Itu karena Hans melihatnya secara langsung bagaimana sengitnya pertarungan Zeha dengan monster ular raksasa.

Hans sudah mengetahui kemampuan Zeha, dan itu membuatnya semakin waspada.

Apa pun itu, yang harus ia lakukan sekarang adalah segera kembali dan melaporkan kejadian ini kepada Putra Mahkota.

“Apa boleh buat. Mari kita kembali sekarang.” Hans berbalik dan melangkah pergi, yang kemudian langsung disusul oleh keempat anggotanya.

Zeha menunggu selama beberapa detik sebelum ikut menyusul dari belakang.

Ketika baru saja berjalan selama beberapa meter, Hans menghentikan langkahnya. “Sebaiknya kita mengumpulkan seluruh batu-batu ini dan membawanya ke laboratorium.”

“Baik.” Keempat anggotanya menjawab secara serempak. Lalu mereka semua bergerak untuk mengumpulkan seluruh batu mana yang tergeletak di tanah.

Zeha tentu saja terkejut. Padahal tadi ia ingin menjual semua batu mana itu kepada menara sihir, tapi malah diambil oleh orang lain. Bagaimana pun, yang ia harus lakukan adalah diam dan tidak menyela.

“Apa boleh buat ...” Ia berkata seperti itu. Kendati demikian, sebenarnya ia sangat tidak rela membiarkan batu-batu mana itu diambil oleh orang lain.

Hans yang berdiri di sana, tak sengaja menangkap ekspresi Zeha yang tampak masam. Lantas ia pun bertanya, “Ada apa?”

Zeha sontak tersentak dan refleks menoleh. “Ah, tidak ada apa-apa.”

Setidaknya, Zeha masih memiliki batu mana yang ia dapatkan dari monster ular raksasa. Itu sudah cukup baginya.

“Kau sangat hebat bisa mengalahkan semua skeleton-skeleton ini. Jumlahnya mungkin lebih dari seratus.” Hans kembali membuka suara, membuat Zeha kembali tersentak.

“Ah, aku hanya beruntung ...” jawabnya asal. Zeha tak ingin menyombongkan kekuatannya kepada seseorang yang lebih kuat darinya. Ia tak bisa mengatakan kalau skeleton-skeleton itu sangat lemah.

Hans terdiam. Ia terus menatap tajam pada Zeha dalam diam. “Beruntung katanya? Dia bisa mengalahkan ular raksasa itu dan semua skeleton-skeleton yang ada di sini. Mana mungkin itu sebuah keberuntungan belaka. Siapa dia sebenarnya?”

“Kapten, kami sudah tidak bisa lagi membawanya.” Vior mendatangi Hans sembari membawa tumpukan batu mana di bajunya.

“Kapten ...”

Lalu disusul oleh Karina, Ryan dan Yn yang juga membawa setumpuk batu mana di baju mereka.

“Biarkan saja sisanya. Ayo keluar.” Hans melangkah pergi, dan disusul oleh yang lain.

...*******...

Xavier masih menunggu di depan gate. Ia sudah menyuruh pasukan yang tersisa untuk kembali ke rumah masing-masing. Yang tersisa di sana hanyalah dirinya, Rose, dan dua orang kesatria yang bertugas menjaga gate.

“Sudah setengah jam berlalu ...” gumamnya pelan.

Meskipun gate yang dimasuki oleh Hans adalah level rendah, tapi tetap saja dia masih merasa cemas.

“Yang Mulia! Gatenya berubah!”

Suara teriakan salah satu kesatria membuat Xavier tersentak kaget. Perasaan cemas dan gelisah bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Ia berharap kalau yang keluar dari dalam sana bukanlah segerombolan monster, melainkan rekan-rekannya.

Tak hanya Xavier yang tengah dipenuhi oleh perasaan gelisah, Rose juga sama khawatirnya.

Tak lama, Hans dan anggota yang lain keluar dari gate. Seketika mengubah ekspresi Xavier yang tadinya tegang, menjadi lega sepenuhnya.

Rose segera berlari menghampiri Zeha yang baru saja keluar dan memeluknya erat. Air mata merembes keluar dari mata, disertai teriakan kuat, “Dasar bodoh! Kupikir kau tidak akan keluar!”

Zeha tertawa pelan. “Maaf, karena sudah membuatmu khawatir.”

“Tidak apa-apa.” Rose melepaskan pelukannya, lantas tersenyum hangat pada Zeha. “Syukurlah kau baik-baik saja.”

“Iya,” balasnya sembari tersenyum.

Sementara itu di sisi lain, Hans tengah berbicara dengan Xavier terkait hal yang terjadi di dalam dungeon. Dia menceritakan segalanya tanpa kebohongan sedikit pun. Wajah Xavier tampak cukup terkejut oleh penjelasan Hans, namun ia segera kembali menutupinya.

“Baiklah. Kalian bisa beristirahat di rumah,” ucap Xavier.

“Baik!” kelima pasukannya menjawab dengan serempak.

Xavier kemudian berpaling pada Zeha, dan menghampirinya. “Jadi kau orangnya?”

Zeha lantas menoleh, dan langsung terkejut melihat sosok pria yang ada di hadapannya. Segera ia membungkuk demi memberi hormat.

“Salam kepada Matahari Kecil Kekaisaran.”

“Iya. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan kepada—‘” Kalimat Xavier terhenti ketika matanya tertuju pada pedang yang bergantung di pakaian Zeha.

Itu adalah pedang yang sangat familier di matanya. Pedang itu hanya ada satu di dunia.

Ia sangat terkejut bukan main. Aura merah terang muncul dan berkobar di sekitar tangan kanannya. Kemudian api itu berubah menjadi pedang sihir yang kemudian ia arahkan ke leher Zeha.

Sorot matanya tajam dan dingin. “Siapa kau sebenarnya?!”

Zeha yang baru saja berdiri tegap sontak terkejut. Jelas ia tak mengerti kenapa Putra Mahkota tiba-tiba menghunuskan pedang kepadanya. Terlebih lagi, ia bisa merasakan ada aura membunuh dari dirinya.

“Apa yang anda lakukan?” Zeha mencoba untuk tetap tenang. Pria yang berdiri di depannya sekarang jauh lebih kuat darinya.

(Jumlah energi sihirnya adalah 21.390.)

Zeha bisa memakluminya karena Putra Mahkota termasuk ke dalam daftar sepuluh swordsman mage terkuat di Kekaisaran. Ia juga tak begitu terkejut saat tahu selisih kekuatan mereka yang sangat besar.

Rahang Xavier mengeras. Darahnya semakin meninggi. “Katakan yang sebenarnya, siapa kau sebenarnya?!”

Zeha sama sekali tidak mengerti apa yang Xavier bicarakan. Namun ia juga tak bisa sembarangan menjawab. Niat membunuh yang dipancarkan oleh Xavier bukan sekedar gertakan.

“Yang Mulia! Apa yang terjadi?” Hans tiba-tiba muncul dan berdiri di depan Zeha. Ini kali pertama ia melihat Putra Mahkota semarah ini. Jelas saja dia tidak bisa tinggal diam.

“Minggir, Hans. Ini bukan masalah yang bisa melibatkan dirimu,” jawab Xavier dingin.

Kening Hans mengerut. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa. Ia juga tak tahu kenapa Putra Mahkota tiba-tiba jadi emosional begitu.

Zeha menghela napas pendek. “Setidaknya jelaskan kenapa anda tiba-tiba menghunuskan pedang pada saya. Saya pikir ada kesalahpahaman di si—”

“Pedang itu!” Xavier berteriak menyela.

Zeha terkejut. “Pedang?”

Rahang Xavier semakin mengeras. “Pedang itu bukanlah pedang biasa. Di dunia ini, hanya ada satu pedang yang seperti itu. Itu adalah artefak yang dilindungi mati-matian oleh guru! Pedang itu ... Kenapa ...!? Siapa kau sebenarnya?!”

Aura Xavier tampak tak stabil. Ia tengah berusaha menahan sekuat tenaga untuk tidak melepaskan kekuatannya.

Zeha tertegun. Ia tak tahu kalau pedang pemberian sang nenek ternyata sangat berharga. Padahal waktu itu dia bilang kalau pedang itu tidak begitu penting.

“Kalau anda memanggilnya guru ... Apa itu berarti anda adalah muridnya nenek?!”

Xavier terkejut dan sukses membatu. Matanya terbelalak dan tampak tak percaya. “Bagaimana kau bisa ...”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!