BAB 3 - HUTAN HERIO

Jangan lupa like, vote dan komen supaya author senang dan makin semangat buat update!

Lima hari kemudian, Zeha telah sampai di Wilayah Selatan Kota Bern. Tempat tujuannya kali ini adalah Hutan Herio yang letaknya berada di pinggiran kota. Ia bisa langsung tahu di mana lokasinya karena sebelumnya ia pernah bekerja di Wilayah Selatan sebagai seorang pengantar makanan.

Hutan Herio adalah wilayah yang memiliki banyak jenis hewan. Meskipun tidak begitu berbahaya, namun di suatu tempat di dalam hutan, terdapat habitat hewan-hewan buas yang memiliki energi sihir. Karena itu Hutan Herio kini tak begitu banyak dihuni oleh penduduk biasa.

Cukup jauh Zeha berjalan. Petunjuk yang tertulis di kertas yang diberikan nenek itu sangat terbatas. Meski begitu, Zeha tak takut akan tersesat karena dia juga sering mengunjungi hutan ini dulu.

Tak lama, akhirnya ia menemukan sebuah gubuk kecil yang berjarak cukup jauh dari tempat ia berdiri. Awalnya Zeha ragu kalau gubuk itu adalah rumah si nenek, tapi ia tak punya banyak waktu untuk terus berdiam diri. Lantas ia melangkahkan kaki dan berjalan menuju gubuk itu.

Ternyata tidak begitu besar, namun sudah lebih dari cukup untuk tinggal seorang diri. Meskipun sangat buruk dan tampak tidak kokoh.

“Aku tidak menyangka kalau nenek itu tinggal di sini. Apa dia miskin?” Zeha teringat kembali ketika pertama kali ia bertemu dengan si nenek. Saat itu si nenek memintanya untuk membelikan roti. Memang jelas seperti pengemis.

“Apa sebenarnya nenek itu berbohong soal kemampuan sihirku?! Apa dia hanya ingin memanfaatkanku, lalu setelah itu menjualku?!”

Zeha mendadak panik dan gelisah. Ia melirik ke kiri dan ke kanan seolah mencari sesuatu. Setelah itu ia berbalik dan melangkah pergi dari sana. Namun aksinya itu terhenti lantaran kehadiran si nenek yang entah sejak kapan berada di belakangnya—berdiri sembari membawa seekor rusa di punggung.

Zeha semakin panik. Namun ia segera menghilangkan kepanikannya agar si nenek tidak curiga. Ia benar-benar sudah berprasangka buruk pada si nenek.

Zeha tersenyum semringah sembari menggaruk-garuk tengkuknya. “Ah, nenek. Sejak kapan kau ada di sana?”

“Sejak tadi,” si nenek menjawab dengan nada datar.

“Begitu, ya?” ucapnya lalu terkekeh-kekeh kecil. Ia merasa sangat bersyukur kalau si nenek tidak mendengar kata-katanya tadi soal menuduh sang nenek yang berniat mencelakai dirinya.

Kedua mata Zeha tertuju pada seekor rusa yang tengah digendong oleh sang nenek. “Ne-nenek, kau menangkap rusa, ya?” tanyanya kikuk.

“Kalau sudah tahu, untuk apa bertanya?” Sang nenek bertanya balik. Zeha hanya membalas dengan kekehan kecil lantaran tak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Ia sudah terlanjur panik.

“Sini, nek. Biar aku saja yang membawanya. Pasti berat, kan?” tawar Zeha sembari tersenyum manis. Hanya itu yang bisa lakukan saat ini agar kecanggungan ini cepat terselesaikan.

“Ini tidak berat sama sekali,” jawab sang nenek, lantas melangkah masuk ke dalam rumah. “Mumpung kau sudah datang, ayo kita makan dulu.”

Zeha hanya berdiam diri di tempatnya tanpa ada niatan untuk ikut masuk ke dalam. Itu karena prasangka buruknya tadi masih tersisa di kepala. Sang nenek yang menyadari kalau Zeha masih tak berniat beranjak pun lantas menghentikan langkahnya sejenak ketika sudah berada di ambang pintu.

“Tenang saja, kata-kataku waktu itu bukanlah kebohongan. Aku juga tidak akan memanfaatkanmu apalagi menjualmu. Jadi jangan khawatir,” ucap nenek itu lalu masuk ke dalam rumah.

Zeha membeku sesaat. Sebelum dia menyadari kalau sebenarnya sang nenek telah mendengar semua ucapannya tadi. Seluruh tubuhnya membatu, dan tiba-tiba ia merasa tidak enak badan.

...******...

Setelah selesai makan siang, sang nenek langsung mengajak Zeha untuk pergi ke ruangan bawah tanah yang ada di dalam rumah ini. Mungkin terdengar konyol mengingat kondisi gubuk yang begitu buruk. Zeha juga memikirkan hal yang sama. Namun pemikirannya sepenuhnya berubah ketika mereka benar-benar sampai di ruangan bawah tanah.

Bahkan kondisi ruangan bawah tanahnya jauh lebih bagus dan kokoh dibanding gubuknya. Luas dan terbuat dari bahan-bahan berkualitas.

Zeha tak bisa menutupi ekspresi kagumnya saat memandangi seisi ruangan tersebut.

“Apa nenek yang membuat ruangan bawah tanah ini?” tanya Zeha, masih mengikuti langkah sang nenek dari belakang.

“Benar. Ruangan bawah ini juga dilapisi oleh sihir, jadi tingkat ketahanannya menjadi lima kali lipat lebih kuat. Meski tak mudah membuatnya, aku akhirnya berhasil juga. Ruangan ini cukup berguna untuk berlindung ketika terjadi serangan dari luar,” jawab sang nenek.

Mata Zeha berbinar-binar setelah mendengar jawaban sang nenek seolah baru saja mendengar hal yang luar biasa. Ia juga tak berhenti menunjukkan ekspresi kagum.

“Anu, nek.” Zeha tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Kepalanya cukup tertunduk dan sorot matanya berubah sedikit sendu.

“Hm?” Sang nenek juga menghentikan langkahnya.

“Apa aku benar-benar bisa menguasai ilmu sihir? Satu-satunya tujuanku datang ke sini adalah karena berharap penyakitku ini bisa disembuhkan.”

Sang nenek sempat terkejut. Ia berbalik dan memberikan tatapan penuh tanda tanya. “Penyakit? Omong kosong apa yang kau—”

“Aku tahu kalau penyakitku ini sangat sulit disembuhkan, bahkan terbilang mustahil. Tapi nenek berbicara seolah tahu cara untuk menyembuhkannya! Karena itu aku datang ke sini!” Zeha berteriak menyela perkataan sang nenek.

“Woy, kau ini bicara apa—”

“Aku juga sempat ingin menyerah karena tahu kalau penyakitku ini mustahil untuk disembuhkan! Meski begitu...!” Zeha meringis, dan juga kedua tangannya tengah mengepal kuat di bawah. Ia tampak seperti seseorang yang sedang menahan tangis.

“Aku tetap berusaha untuk tidak menyerah dan terus bertahan...!” sambungnya.

Sang nenek benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya Zeha katakan.

“Kau ini sebenarnya dari tadi bicara apa, sih? Apa kau menderita penyakit serius atau semacamnya?” Sang nenek bertanya. Ia sangat kebingungan.

“Hah?” Zeha sontak terkejut sampai mengangkat wajahnya. Kedua matanya juga sudah membulat sempurna. Matanya berkedip beberapa kali karena bingung.

“Bukankah nenek tahu kalau ilmu sihirku tidak bisa berkembang?”

“Iya, lalu?”

“Hah?” Zeha semakin kebingungan. Ia tadinya mengira kalau sang nenek tahu inti penyebab dirinya tak bisa mengembangkan satu pun ilmu sihir. Ternyata semua itu hanya sebuah kesalahpahaman?

“Bukankah penyebab aku tidak bisa mengembangkan sihirku karena aku terkena penyakit penyumbatan mana?”

“Hah?! Omong kosong macam apa itu?!” Sang nenek terkejut bukan main. “Orang bodoh mana yang mengatakan itu padamu?”

“Para profesor dari akademi tempat aku sekolah dulu,” jawabnya.

“Memangnya kau sekolah Akademi mana?” tanya sang nenek lagi.

“Akademi Callister,” jawabnya.

“Ck. Sebenarnya apa, sih, yang dilakukan para cacing bodoh itu? Bisa-bisanya mereka bilang kalau anak ini menderita penyakit penyumbatan mana. Mereka memang bodoh, tapi tak kusangka akan sebodoh itu,” gumam sang nenek yang tampak sangat kesal setengah mati.

Sementara itu Zeha masih tampak kebingungan. Ia tak mengerti kenapa sang nenek mendadak berubah kesal. Sejujurnya ia juga sedikit tercengang, tak menyangka kalau nenek itu menyebut para profesor dari Akademi Callister adalah orang-orang bodoh.

Akademi Callister adalah salah satu Akademi terkemuka di Kekaisaran Alexander. Reputasi mereka terbilang sangat bagus, dan juga banyak penyihir kelas atas yang berasal dari sana. Tentu saja para pengajar dan profesor di sana bukanlah orang-orang yang berkemampuan biasa-biasa saja. Namun nenek itu malah dengan santainya mengatakan kalau mereka adalah orang-orang bodoh.

Sang nenek menghembuskan napas panjang dan berat setelah berhasil meredakan emosinya. Setelah itu ia kembali fokus pada Zeha, lantas menyentuh sebelah pundaknya.

“Dengar, nak. Fenomena yang kau alami saat ini bukanlah penyakit konyol seperti penyumbatan mana,” ucap sang nenek yang berhasil membuat Zeha terkejut bukan main.

“A-apa ma-maksudmu...nek?” Zeha masih tak percaya. Padahal informasi soal penyakit yang ia derita itu diberitahu langsung oleh salah satu profesor terkemuka di Akademi.

“Dengar, ya. Kau bukan menderita penyakit penyumbatan mana. Konsepnya saja sudah berbeda apanya yang penyumbatan mana? Rata-rata manusia yang menderita penyakit itu hanya akan bertahan hidup selama lima tahun setelah mereka dilahirkan. Mana itu sudah seperti oksigen di dalam tubuh. Mana yang tersumbat dan jika dibiarkan terlalu lama, akan meledak dan menyebabkan kematian. Karena itu tak ada manusia yang bisa hidup normal setelah menderita penyakit itu,” Sang nenek menjelaskan panjang lebar dengan ekspresi serius.

Tapi Zeha masih tampak tak mengerti. Sang nenek menyadari itu dan memutuskan untuk menjauh.

“Biar langsung aku tunjukkan saja padamu.” Sang nenek berdiri cukup jauh dari Zeha. “Lihat baik-baik.”

Tak lama setelah itu, sekumpulan asap biru keluar dari tubuh sang nenek, berbentuk seperti kobaran api. Aliran asap itu perlahan menjadi cepat dan besar. Zeha bisa merasakannya, tekanan yang begitu kuat ia rasakan dari nenek itu.

Zeha sukses kagum.

“Hebat,” ucapnya terkagum-kagum. Ia tak menyangka kalau sang nenek yang ia sangka sebagai pengemis itu memiliki energi sihir yang sangat kuat.

“Kau lihat? Ini adalah energi sihir yang aku keluarkan dengan cara mengalirkan mana ke seluruh tubuh secara maksimal,” kata sang nenek, bersamaan menghilangkan energi sihirnya.

“Jadi itu namanya energi sihir?” tanya Zeha yang masih terpana.

“Benar. Energi sihir akan semakin meningkat selama kau mengasahnya. Tapi itu juga tergantung seberapa banyak mana yang kau miliki. Sebenarnya kau bisa mengumpulkan mana dari lingkungan sekitar untuk menciptakan energi sihir. Meskipun tak semua orang bisa melakukannya.”

Penjelasan sang nenek sekali lagi berhasil membuat Zeha terkagum-kagum.

“Sekarang giliranmu.”

“Hah?” Detik itu juga Zeha membeku. Ia merasa seperti telah mendengar sesuatu yang tidak masuk akal. Ia tampak cukup kebingungan.

“Coba lakukan seperti yang aku lakukan,” ucap sang nenek.

“Hah? Mana mungkin aku bisa melakukannya, nek!” Zeha berteriak.

“Lakukan saja dulu,” imbuh sang nenek.

“Tidak! Itu mustahil, kan?” bantah Zeha yang tampak cemas.

“Sudah kubilang, lakukan saja!” perintah sang nenek geram lantas memukul kepala Zeha hingga membuatnya merintih kesakitan.

Zeha mengusap bekas pukulan sang nenek dengan pelan. Meski pelan, tapi terasa cukup sakit.

“Ba-baiklah.” Zeha tak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang nenek.

Terpopuler

Comments

Dewo Bumi

Dewo Bumi

cerita na terlalu bertele-tele Thor

2024-04-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!