BAB 10 - PERJUANGAN KERAS

Like

Vote

Dan

Komen

*

*

Zeha hanya bisa membatu sembari menyaksikan pertarungan sengit antara sang nenek dengan raksasa itu. Meski sekilas pertarungannya tampak seri, namun sebenarnya sang nenek sedang terpojok. Dari semua serangan yang dilancarkan, tak ada satu pun yang berhasil memberikan luka berarti pada raksasa itu.

Ditambah sebentar lagi mananya akan segera habis. Karena itulah yang sejak tadi sang nenek lakukan hanyalah menghindar sebaik mungkin.

Di sela-sela itu, sang nenek masih sempat memberikan perintah pada Zeha. Sebelum itu dia mengeluarkan sebuah pedang, lalu melemparnya ke arah Zeha. “Nak, pergilah dari sini dan cari jalan keluar lain! Hanya itu yang bisa kau lakukan sekarang!”

Zeha menatap pedang itu dengan mata membulat. Itu adalah White Sword yang tadi ditunjukkan oleh sang nenek di ruangan bawah tanah.

“Berjuanglah!” teriak sang nenek.

Zeha meraih pedang itu. Tak ada sensasi apa pun yang dirasakannya, itu karena dia belum memiliki sihir. Namun entah kenapa dia merasa kalau pedang itu terasa familier, seolah menyatu dengan dirinya. Ia berdiri begitu selesai merenung, dan memantapkan hatinya.

“Baik!” Ia pun segera berbalik dan berlari sejauh mungkin.

Si raksasa yang melihat aksi Zeha yang hendak kabur, sukses geram.

[Sia-sia saja kau kabur ...] Si raksasa melayangkan kapaknya kepada Zeha, namun kapak itu terhenti sebelum mengenai tubuhnya. Ada rantai yang mengikat tangannya. Rantai itu berasal dari dua lingkaran sihir yang dibuat oleh sang nenek.

“Eternal Chain Prison.” Itu adalah nama tekniknya.

Si raksasa terkejut ketika menyadari salah satu tangannya yang terikat itu tidak bisa dilepas. Rantainya sangat kuat, meski dia sudah berusaha memotongnya berkali-kali.

“Aku akan mengeluarkan segenap kekuatanku di sini,” ucap sang nenek, bersamaan memunculkan dua puluh lingkaran sihir yang berbeda warna di belakangnya.

[Grrr ...! Manusia hina ...!]

“Mari kita selesaikan ini.”

-

-

-

Sementara itu, Zeha sibuk berlari tanpa tahu ke mana gua itu membawanya. Berkat bola api yang sempat dibuat oleh sang nenek tadi, Zeha jadi bisa melihat, meski tak begitu jelas karena cahaya dari apinya cukup redup.

Napasnya terengah-engah, tak tahu sudah berapa lama dia berlari. Gua yang ia lalui juga tak memiliki cabang. Ia merasa semakin masuk ke dalam.

[Kiyaaak!]

Tiba-tiba seekor laba-laba raksasa datang entah dari mana dan menyerang Zeha hingga membuat tubuhnya terpental jauh. Tubuhnya terguling di tanah, dan terhenti lantaran membentur dinding gua.

“Kukh! Kuaakh!” Zeha merasakan tulang belakangnya patah, sakitnya bukan main. Dadanya sesak hingga kesulitan bernapas.

Ukuran laba-laba itu jauh lebih kecil dari laba-laba yang dihadapi oleh sang nenek tadi. Namun bukan berarti dia bisa mengalahkannya dengan mudah.

Tiga ekor laba-laba berdiri di depannya. Meski ukurannya lebih kecil, namun dia masih merinding oleh keberadaannya. Salah satu laba-laba itu berlari dan menyerang. Zeha bisa menghindar dan langsung melakukan serangan balik.

Ia menggunakan White Sword dan menebas kaki laba-laba itu. Suara jeritan laba-laba terdengar cukup kuat saat kakinya berhasil terpotong.

“Kukh ... Ini sangat sulit ...!” Zeha menggeram frustrasi. Padahal dia baru menebas satu buah kaki, tetapi tenaganya terkuras banyak.

Selagi menghindari serangan laba-laba, Zeha terus memutar otak, mengingat kembali teknik-teknik yang ia pelajari dari sang nenek.

“Oh! Mana sword!” Pada akhirnya yang teringat olehnya yaitu pelatihan di mana ia mempelajari cara menggunakan mana sword. Zeha ingin menggunakannya, tapi ragu apakah teknik itu bisa berhasil melawan laba-laba atau tidak.

Zeha menjulurkan pedangnya, kemudian fokus membentuk mana sword. Aura biru berkobar dan perlahan menyelimuti seluruh bilah pedangnya.

[Kiyaak!]

Zeha menyerang laba-laba yang berlari ke arahnya. Butuh tiga tebasan hingga membuat laba-laba itu mati. Tebasan pertama dan kedua di kaki, tebasan ketiga di leher. Dan jika gagal terpotong, Zeha menusuk matanya.

Serangannya menjadi sedikit lebih kuat dari sebelumnya.

[Kiyaaaaak!]

Seekor laba-laba yang tersisa tiba-tiba berteriak sangat kencang. Kemudian tanah bergetar. Zeha bisa merasakan adanya eksistensi yang menyeramkan sedang mengarah padanya dengan kecepatan tinggi.

Begitu sadar, puluhan laba-laba sudah berkumpul di depannya. Laba-laba itu bergerak secara bersamaan dan menyerangnya.

Zeha kewalahan. Kemampuannya sekarang sangat kurang untuk membunuh semua laba-laba yang ada di sini. Meskipun menggunakan teknik mana sword, itu masih belum cukup untuk membunuh semuanya.

Tubuhnya juga sudah beberapa kali terkena sayatan hingga berdarah. Ia tak memedulikan rasa sakit dan terus berjuang. Berjuang, dan terus berjuang.

Meskipun kakinya tertusuk, dia tetap mengayunkan pedangnya.

Meskipun tenaganya sudah hampir habis, dia tetap bertahan.

Meskipun tangannya sudah tersayat, dan tertusuk, dia tetap mampu bergerak.

Meskipun seluruh tubuhnya serasa mau hancur, lehernya seolah tercekik, jantungnya yang seakan hampir meledak, namun dia tetap melawan.

Menebas, memotong, menusuk, menebas, dan menebas lagi, hingga titik darah penghabisan.

Bau anyir darah yang melekat di tubuhnya seolah bukan apa-apa. Puluhan mayat laba-laba tergeletak, sementara dirinya terbaring di tanah yang bermandikan darah segar.

Tak peduli seberapa kacau kondisinya sekarang, Zeha berhasil bertahan hidup.

Sayangnya, dia tak punya waktu untuk beristirahat barang sedetik. Zeha harus bergegas mencari pintu keluar. Ia bangkit, dan berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan kakinya yang tertusuk.

Sakit, rasanya sangat teramat sakit.

Perasaan sakit yang tak bisa dibandingkan oleh apa pun. Ia tak pernah sekacau ini sebelumnya.

Ia berjalan terpincang-pincang, dengan menggunakan sarung pedang sebagai alat tumpuan. Ia terus melangkah, dan terus melangkah. Kegelapan semakin menyelimutinya, dan udaranya terasa semakin panas dan sesak. Meski begitu, Zeha tak menyerah dan terus melangkah.

Ditengah-tengah kesunyian itu, ada sebuah cahaya kecil yang terpancar dari ujung gua. Di detik itu juga, kedua mata Zeha melebar. Ia langsung meyakini kalau itu adalah jalan keluar.

Ekspresi lega terpancar di wajahnya. Zeha yang tadinya hampir ditelan oleh keputusasaan, langsung disuguhkan oleh harapan besar yang bersinar di ujung sana.

Zeha mempercepat langkah kakinya. Ia berharap bisa berlari, namun sekarang ini kondisi kakinya sangat parah. Cahaya yang tadinya hanya sebesar kepalan tangan, perlahan mulai membesar dan menjadi sangat menyilaukan.

Ketika Zeha membuka mata, hal pertama yang ia lihat bukanlah hutan atau pun tempat lain. Melainkan ratusan kristal biru yang menempel hampir si setiap sisi gua. Kristal biru yang tingginya hampir dua meter itu begitu bersinar.

Zeha tak tahu pasti benda apa itu, tapi yang jelas, benda itu bukanlah benda sembarangan. Dan di antara kristal-kristal yang menjulang tinggi itu, ada satu buah benda yang menarik perhatian.

Sebuah bola putih seukuran bola takraw, tergeletak di antara kristal-kristal panjang yang membentuk sebuah tempat tumpuan. Bola itu sedikit bercahaya, membuat siapa pun yang melihat teringin untuk menyentuhnya.

“Apa ini?” Zeha mendekatkan tangannya, hendak menyentuh bola itu meski sebenarnya ia merasa takut. Namun beberapa saat setelahnya, ia memutuskan untuk memberanikan diri dan akhirnya menyentuh bola itu. Cukup lama, namun tak terjadi apa-apa.

Zeha tertawa pelan. “Haa, kupikir ini adalah bola sakti.”

Tiba-tiba saja bola itu bercahaya kembali. Cahayanya semakin terang dan menyilaukan.

“Akh! Silau! Mataku!” Zeha merintih sembari menarik tangannya. Namun nihil, tangannya tak bisa ditarik, seolah ditahan oleh bola itu. Ia juga merasa ada sesuatu yang masuk dan keluar dari dalam tubuhnya. Rasanya sangat asing, dia belum pernah merasakan energi semacam itu sebelumnya.

Ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi tetap saja tangannya tak bisa dilepaskan. Sekitar satu menit berlalu, cahaya yang tadinya sangat menyilaukan perlahan-lahan redup, hingga hilang sepenuhnya.

Zeha juga sudah bisa menarik tangannya, dan refleks memeriksa telapak tangannya. “Tidak ada yang aneh pada tanganku.”

(Master ... master ...)

Suara seorang wanita tiba-tiba muncul, dan sontak membuat Zeha terlonjak kaget. Ia refleks memeriksa ke sekeliling untuk mencari sumber suara.

(Master. Kau, kah itu?)

“Hah?” Zeha mengalihkan atensinya pada bola itu. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. “Kau bisa bicara?”

(Iya, master. Aku adalah Litch, peninggalan terakhir dewa yang agung.)

Kening Zeha mengerut bingung. “Hah? Apa yang kau bicarakan?”

(Master, senang bisa bertemu denganmu.)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!