BAB 5 - PELATIHAN KHUSUS (2)

Jangan lupa like, vote dan komen supaya author senang dan makin semangat buat update!

Zeha memfokuskan pandangannya. Ia berlari dengan cepat ke arah sang nenek lalu mengayunkan pedangnya. Sang nenek jelas bisa menghindarinya dengan sangat mudah. Zeha terus memberikan serangan, tapi sang nenek bisa menghindari semua serangan itu tanpa harus bergerak dari tempatnya berdiri.

“Kugh!” Zeha mulai kesal. Padahal dia kesulitan untuk menyerang, namun nenek itu bisa menghindari semua serangan seolah itu bukan apa-apa.

Zeha mempercepat serangannya namun masih belum cukup untuk menekan sang nenek.

“Apa hanya segini kemampuanmu?” Sang nenek memukul perut Zeha menggunakan pedang, membuat Zeha terlempar cukup jauh ke belakang. Zeha beruntung bisa menahan tubuhnya agar tidak terguling di lantai.

Area perutnya terasa sangat sakit. Terlihat jelas dari ekspresinya kalau ia sedang menahan sakit.

“Seranganmu lemah sekali. Bahkan kau tidak akan bisa membunuh seekor rusa dengan serangan lemah itu,” ucap sang nenek.

“Meski kau tidak bisa menggunakan sihir, kau bisa mengalirkan mana pada pedangmu,” lanjut sang nenek.

Zeha tampak cukup terkejut. “Mengalirkan mana? Apa itu bisa dilakukan?”

“Tentu saja bisa. Itu adalah aturan dasar sebelum menguasai teknik Magic Sword. Meski berbeda, tapi konsep mereka sama.”

Zeha terdiam sejenak. Ia memandangi pedang kayunya dengan seksama. “Bagaimana caraku melakukannya?”

“Terdengar sederhana, tapi tak semua orang bisa langsung menguasainya. Pokoknya kau harus fokus merasakan manamu dan mengalirkannya ke seluruh bilah pedangmu.” Sang nenek menjelaskan bersamaan mengalirkan mana ke dalam pedangnya.

Pedang kayu yang tadinya tampak biasa saja, kini berubah. Ada asap biru yang keluar dari dalam dan menyelimuti bilah pedangnya.

Zeha yang melihat itu sukses terkejut. “Mana sword?” ucapnya dengan mata melebar.

Sang nenek lantas tersenyum senang, “Benar. Mana sword.”

Salah satu teknik dasar sebelum menguasai teknik Magic Sword, yaitu mana sword. Teknik dasar itu harus bisa dikuasai dengan sangat benar agar bisa mengontrol mana dengan baik saat menggunakan sihir. Pedang yang sudah dialiri mana akan menjadi tiga kali lebih kuat.

“Serang aku lagi jika kau sudah bisa menguasai teknik Mana Sword,” imbuh sang nenek.

Sementara itu, Zeha sedang berusaha melalukan teknik yang dikatakan oleh sang nenek. Ia memejamkan mata, dan mulai fokus pada aliran mananya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.

Meski tak sempurna, Zeha bisa merasakan aliran mananya yang menyebar ke seluruh tubuh. Rasanya cukup dingin dan aneh. Sang nenek yang melihat kondisi Zeha dari luar, langsung bisa memahami hal apa yang tengah terjadi di dalam tubuhnya.

“Alirkan manaku ... Perlahan ...” Zeha membatin, bersamaan dengan itu dia mencoba mengontrol mananya pelan-pelan dan mengalirkannya pada pedang melalui tangan.

“Oh?” Sang nenek tampak cukup terkejut dan kagum. Ia tak menyangka kalau Zeha bisa melakukannya dengan sangat cepat. Mengalirkan mana memerlukan kontrol yang bagus agar. Tak jarang banyak orang yang gagal dalam percobaan pertama, tapi Zeha bisa melakukannya dalam sekali coba.

Meski belum sempurna.

“Uukh!” Zeha tampak tengah menahan rasa sakit. Mana yang ia coba alirkan semakin lama terasa semakin panas. Aliran mana yang tadinya stabil mulai bertambah cepat.

“Jangan mencoba untuk memaksa aliran mananya. Jika kau kesulitan untuk mengontrolnya, maka biarkan saja mereka mengalir dengan semestinya. Tubuhmu akan meledak jika mencoba untuk memaksakan aliran mananya!” Sang nenek berteriak.

“Uukh!” Zeha masih merintih kesakitan. Pedang yang ia pegang juga mengeluarkan asap biru. Meski sedikit, itu adalah mana yang menyelimuti bilah pedangnya.

Zeha berhasil menyelesaikan teknik Mana Sword dalam sekali coba, meski sangat kesulitan. Napasnya terengah dan keringat juga membasahi wajahnya.

Zeha membuka mata dan langsung memeriksa pedangnya. Kedua sudut bibirnya terangkat tinggi saat tahu kalau ia telah berhasil.

“Nenek! Aku berhasil!” teriaknya kegirangan sembari mengayun-ayunkan pedangnya ke sembarang arah.

Sang nenek tak bisa menutupi senyuman kagum di wajahnya. “Kau sangat luar biasa. Kau adalah murid pertama yang berhasil menguasai teknik Mana Sword dalam waktu sesingkat ini.”

Mendengar pujian itu membuat Zeha semakin kegirangan.

“Eh? Bukan. Kau adalah murid kedua. Sebelumnya ada satu murid nenek yang juga bisa melakukan teknik itu dalam sekali coba,” ralat sang nenek beberapa saat kemudian.

Zeha langsung terdiam begitu mendengar perkataan sang nenek. Ia tampak sedikit terkejut dan juga penasaran.

“Nenek punya berapa murid?” Zeha bertanya sembari berjalan mendekat.

“Hum? Mari kita hitung.” Sang nenek meletakkan jari-jarinya di dagu dan memasang raut wajah serius—sedang berpikir keras. Setelah beberapa detik berlalu, ia pun membuka suaranya, “Ada sekitar dua belas orang, sepertinya.”

Zeha sukses terkejut. “Dua belas?! Serius?!”

Sang nenek menyunggingkan senyuman angkuh. “Nak, apa kau tahu soal sepuluh Swordsman Mage terkuat di Kekaisaran ini?”

“Oh... Aku pernah mendengar tentang mereka, tapi aku tak pernah melihat mereka secara langsung. Kecuali beberapa orang,” jawab Zeha.

“Mereka semua adalah murid nenek.”

Seluruh tubuh Zeha seketika membeku. Rahangnya merosot ke bawah, dan kedua matanya membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut dan tidak percaya. 

“Mustahil!” ucapnya. Sementara sang nenek tersenyum bangga dan sombong. Hidungnya bahkan tampak memanjang dan sedikit runcing.

“Nenek, apa kau punya masalah psikologis? Khayalanmu sangat tidak masuk ak—”

Sang nenek langsung memukul kepala Zeha karena kesal. “Kurang ajar!” ucapnya kesal.

Zeha menggosok-gosok area kepalanya yang terkena pukul. Meski pelan, tapi pukulannya terasa cukup sakit. Bagaimana pun, ia masih tak percaya pada pernyataan sang nenek tadi. Apalagi penampilan nenek itu terlihat seperti pengemis. Tidak mungkin orang seperti itu adalah guru dari sepuluh Swordsman Mage terkuat di Kekaisaran.

“Apa maksud dari tatapanmu itu?” tanya sang nenek, seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Zeha. Sementara Zeha hanya membalas dengan kekehan pelan seperti orang lugu.

“Ck, ck, ck. Kelihatan sekali kalau kau meragukan perkataanku,” kata sang nenek, memberikan tatapan sinis pada Zeha.

Lagi-lagi Zeha hanya membalas dengan kekehan kecil seperti orang dungu. Sejatinya ia pun tak tahu harus berkata apa lagi.

“Dari dua belas murid nenek, ada satu orang yang paling menonjol. Bisa dikatakan dialah yang paling kuat melebihi sepuluh Swordsman Mage terkuat,” ujar sang nenek, berhasil mengembalikan atensi Zeha dan membuatnya fokus kembali.

“Lalu kenapa dia tidak masuk ke daftar sepuluh Swordsman Mage terkuat?” tanya Zeha penasaran.

“Sebelum penentuan peringkat para Swordsman Mage, mereka akan diuji melalui kompetisi, bukan?”

“Iya.”

“Padahal jika dia ikut serta saat itu, maka dia akan menjadi peringkat pertama. Tapi dia tidak mengikutinya.”

Zeha terkejut. “Kenapa?”

“Entahlah. Saat nenek bertanya dia hanya menjawab kalau kompetisi itu hanya buang-buang waktu. Dia mengatakan itu seolah tak tertarik pada pertarungan. Padahal dia adalah murid yang sangat berbakat,” lanjut sang nenek, kemudian menghembuskan napas panjang.

Zeha merasa cukup tercengang dengan cerita sang nenek barusan. Ia merasa sedikit tidak suka pada murid yang sang nenek maksud.

Bagi Zeha, pertarungan antar Swordsman Mage adalah hal yang sangat ia mimpikan. Fakta bahwa dirinya yang tak bisa menguasai sihir benar-benar membuatnya sangat putus asa. Ia merasa sangat iri pada mereka yang dinilai sangat berbakat dan bisa mengembangkan sihir mereka tanpa batas.

Salah satunya adalah ‘murid’ yang diceritakan oleh sang nenek. ‘Murid’ yang dinilai sangat berbakat, namun tidak memedulikan bakatnya dan menganggap itu bukanlah apa-apa.

Zeha sungguh sangat kesal pada mereka yang memiliki sikap seperti itu. Dirinya yang sama sekali tidak berbakat, sihir adalah hal yang sangat berharga baginya.

“Apa kau kenal Giant Ellsworth?” Sang nenek bertanya lagi setelah terdiam selama beberapa saat, membuat lamunan Zeha langsung hancur.

“Oh, tentu saja aku tahu. Bukankah dia adalah Swordsman Mage di peringkat pertama?”

“Benar. Dia sangat kuat. Seperti rumornya, dia memiliki sihir berelemen tanah dan angin. Nenek sangat kesulitan mengajarinya waktu itu. Dia benar-benar liar dan cukup keras kepala,” ujar sang nenek.

Kedua mata Zeha berbinar-binar. Ia juga sangat antusias dan bersemangat mendengarkan keseluruhan cerita sang nenek.

“Lalu bagaimana dengan murid yang lain, nek?”

“Um ...” Sang nenek diam sebentar untuk berpikir. Setelah itu dia kembali berbicara, “Ada satu murid yang sangat jenius. Nenek selalu dibuat kagum oleh hasil ciptaannya. Kalau tidak salah namanya adalah Wendy Cornelis. Sifatnya hampir sama dengan Giant, tapi Wendy lebih menyebalkan.”

“Ooh!” Zeha semakin antusias dan bersemangat.

“Mungkin karena mereka dari generasi yang sama, sifat mereka jadi sangat menyebalkan.”

“Saat aku di akademi, aku pernah mendengar rumor kalau Menara Sihir pernah dirobohkan oleh para senior dari generasi ke delapan. Apa itu benar?” Zeha bertanya dengan ekspresi penuh tanda tanya.

Sang nenek sukses meringis saat mendengar pertanyaan Zeha. Ia jadi teringat kembali saat masih menjadi Profesor di Akademi Callister. Kenangan itu benar-benar tidak baik untuk dikenang.

Memori kelam ketika ia menangkap basah dua orang pelaku yang merobohkan Menara Sihir, yaitu Giant dan Wendy. Saat itu mereka berdua sedang berduel di tempat terbuka. Mereka tak bisa meminjam ruangan pelatihan karena duel itu tidak resmi. Karena itu mereka memilih bertarung di luar. Namun siapa sangka kalau pertarungan mereka sangat sengit sampai bisa merobohkan Menara Sihir.

Wendy memberikan pernyataan kalau robohnya Menara Sihir itu disebabkan ketika ia menghindari serangan sihir Giant, dan sihir itu malah mengenai Menara Sihir hingga meledak dan roboh.

Sang nenek yang merupakan penanggung jawab mereka merasa sangat frustrasi sampai depresi melihat kelakuan muridnya yang sudah seperti monster.

Terlebih mereka berdua malah kembali bertengkar alih-alih meminta maaf.

Zeha yang mendengar cerita itu tak kuasa menahan tawa. Ia tertawa terbahak-bahak membayangkan bagaimana kacaunya suasana saat itu.

“Tapi aku tak menyangka kalau nenek ternyata adalah mantan profesor di sana,” kata Zeha saat tawanya sudah mereda.

“Nenek pensiun sekitar enam tahun yang lalu. Wajar kau tidak mengenalku,” balas sang nenek. “Lagi pula, nenek masih bisa mengajar sebagai guru pribadi meski sudah pensiun.”

“Nenek benar!”

“Ekhem! Ekhem! Sudahi pembicaraan ini dan cepat kembali latih Mana Swordmu!”

“Baik!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!