BAB 6 - KEMUNCULAN GATE

Esoknya, sang nenek membawa Zeha ke hutan untuk berburu hewan menggunakan alat pemanah. Inti pelatihannya adalah untuk melatih insting, kecepatan refleks, dan konsentrasi.

Zeha berdiri di tengah-tengah hutan dan mencoba merasakan keadaan sekitar. Mungkin dari luar, Zeha terlihat seperti seseorang yang sedang berkonsentrasi penuh, namun sebenarnya dia hanya sekedar menutup mata dan melamun.

“AKU BILANG KONSENTRASI BUKAN MALAH TIDUR!”

Suara teriakan sang nenek terdengar begitu kuat sampai berhasil membuat Zeha terlonjak kaget.

“A-aku ta-tahu!” Zeha merasa cukup malu karena gagal melakukan hal yang terdengar sepele itu. Mungkin kedengarannya sederhana, namun memfokuskan seluruh indera ke satu titik itu sungguh sulit baginya.

“Di belakangmu!”

Arahan sang nenek membuat Zeha tersentak dan langsung membalikkan badannya sembari menarik anak panahnya. Ia sudah bersiap untuk melepaskan anak panahnya jika ada hewan yang muncul. Namun yang ada di depannya hanyalah hutan kosong belaka.

“Dasar bodoh! Kalau kau saja tertipu dengan omongan kecil seperti itu, kau tidak akan bisa bertahan hidup!”

Kepala Zeha mulai terasa pening lantaran suara teriakan sang nenek terus bergema di kepalanya. Meski sosok sang nenek tak terlihat, namun suaranya terdengar lantang sekali.

“Karena itu berhentilah menggangguku, nek!” Zeha membalas dengan nada kesal.

Krak. Krak.

Zeha mendengar ada suara bising dari balik semak-semak. Ia langsung berbalik dan bersiap siaga menarik anak panah.

Krak. Krak.

Zeha masih diam di tempatnya tanpa bergerak satu senti pun, menunggu sesuatu keluar dari balik semak.

“Dasar bodoh! Kau pikir mereka akan keluar kalau kau berdiri di situ? Seharusnya kau bersembunyi di suatu tempat dan mengamati dari kejauhan. Apa gunanya kau memegang anak panah jika menyerang dari dekat!”

“Uugh ...” Ekspresi Zeha tampak masam. Ia sepertinya sudah mulai tak tahan dengan ocehan sang nenek.

Zeha dengan berat hati melangkahkan kakinya dan bersembunyi dibalik sebuah pohon besar. Dari sana ia mengamati keadaan semak-semak yang tadi.

Krak. Krak.

Beberapa detik kemudian, seekor kelinci muncul dan bergerak pelan seperti menelusuri area sekitarnya.

Zeha buru-buru menarik anak panah, dan memfokuskan arahnya agar tidak meleset. Saat sudah yakin, ia langsung melepas tarikannya, sehingga anak panah itu melesat cukup cepat ke arah kelinci.

“Bagus!”

Namun sayangnya anak panah itu gagal mengenai target lantaran si kelinci langsung melompat menjauh seolah sudah tahu kalau ada panah yang akan mengenainya.

“Ha? Tidak mungkin mele—”

“DASAR BODOH!”

“Akh!”

Zeha sampai harus menutup kedua telinganya lantaran teriakan sang nenek begitu kuat sampai membuat burung-burung di sekitar kabur.

“Kau benar-benar payah. Kaulah yang terburuk.”

Zeha sampai kehabisan kata-kata dan ekspresi. Ia memang sudah sering mendengar perkataan orang lain yang selalu menghinanya, dan saat itu ia hanya diam dan menerima semua penghinaan itu. Ia tidak bisa marah atau pun membalas. Dikarenakan ia hanyalah seorang rakyat jelata.

Tapi saat mendengar kritikan sang nenek, entah kenapa dia merasa sangat kesal hingga rasanya ingin membalas dengan umpatan.

...****...

Malam harinya, Zeha berlatih pedang setelah makan malam. Seperti biasa ia berduel dengan sang nenek, dan serangannya tak ada satu pun yang berhasil.

Ayunan yang lemah, lambat dan tanpa aturan. Benar-benar buruk.

“Kau hanya menyerang menggunakan teknik yang itu-itu saja. Intinya, kau hanya menyerang secara asal-asalan. Benar-benar pecundang terburuk,” celoteh sang nenek.

Hati Zeha benar-benar tertusuk. Tapi entah kenapa dia tidak merasa terhina. Mungkin karena sang nenek tidak bermaksud merendahkan dirinya, dan hanya murni mengatakan sebuah kejujuran. Tapi tetap saja rasanya kesal.

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Kenapa kau menanyakan itu padaku?”

“Ha?”

“Tanyakan pada dirimu sendiri. Kau ingin menjadi Swordsman Mage yang seperti apa? Kau yang paling tahu soal kondisi tubuhmu dari siapa pun. Itu artinya kau’lah yang harus mencari tahu sendiri apa yang dibutuhkan oleh dirimu.”

Perkataan sang nenek cukup membingungkan, namun setidaknya Zeha mengerti garis besarnya. Ia menunduk dan menatap telapak tangannya.

“Yang dibutuhkan oleh diriku, ya?”

Zeha mengepalkan tangannya cukup kuat, lalu ia lepaskan kembali. “Saat ini sihirku tersegel. Tapi aku masih bisa mengendalikan mana. Apakah aku harus fokus melatih konsentrasi mana?”

Sang nenek tersenyum. “Akhirnya kau paham juga. Mungkin ini adalah kesempatan yang bagus untukmu. Kau harus melatih konsentrasi mana sampai mencapai batas tertinggi. Mungkin itu akan membutuhkan waktu yang lama, namun berhubung sihirmu masih tersegel, kau bisa melatihnya terus.”

“Tapi, kalau aku hanya melatih konsentrasi mana, dan sihirku tetap tersegel, apa yang harus aku lakukan?”

Sang nenek terdiam. Sebenarnya ia cukup khawatir. Melatih konsentrasi mana tidaklah sulit, namun tekniknya sangat sederhana sampai diabaikan dan jarang dipelajari secara menyeluruh.

Di akademi, pelatihan konsentrasi mana hanya dilakukan sekali sebelum memasuki teknik pengembangan sihir. Itu pun hanya mempelajari teknik dasarnya saja. Pada dasarnya, jika seseorang sudah bisa mengendalikan mana, mereka sudah bisa mengembangkan sihir mereka. Bagi mereka saat ini yang terpenting adalah pengembangan sihir, bukan pengembangan konsentrasi mana.

Memang, semakin tinggi kemampuan pengendalian mana, maka semakin mahir pula mereka mengendalikan sihir mereka.

“Apa yang harus aku lakukan pertama kali?” Zeha bertanya.

“Pertama kau harus bisa merasakan mana. Kedua, mengalirkan mana ke seluruh tubuh. Ketiga, mengonversikan mana menjadi energi lalu mengubahnya menjadi sihir. Tahap terakhir, merealisasikan sihir ke dalam bentuk yang diinginkan dan juga mengalirkan ke senjata masing-masing. Itu adalah tahapan yang biasanya digunakan di akademi. Namun kasusmu berbeda. Kau tidak bisa menggunakan sihir, jadi kau tidak akan bisa mengonversikan manamu menjadi energi sihir.”

Zeha terdiam sepenuhnya. Tatapannya kosong, dan mulutnya terbuka. Singkatnya, ia sama sekali tak mengerti penjelasan sang nenek barusan.

“Kau pasti tidak mengerti penjelasanku barusan, kan?” tanya sang nenek sembari memberikan tatapan tajam.

“Hah? Ti-tidak! Aku paham, kok! Uh, itu... Mengalirkan mana ke seluruh tubuh lalu mengubahnya menjadi sihir. Begitu, kan?”

“Dasar bodoh!” Sang nenek memukul kepala Zeha karena kesal. Dia benar-benar tak mengerti kenapa anak bodoh seperti Zeha bisa masuk ke Akademi tersohor itu.

Embusan napas panjang keluar dari mulut sang nenek. “Intinya kau akan mempelajari teknik yang berbeda dari yang kau pelajari di akademi.”

“Apa nenek akan mengajariku?!” Tatapan Zeha yang semula malas langsung berubah cerah dan berbinar-binar. Raut wajahnya sudah seperti anjing yang diberi mainan baru.

“Apa aku pernah tidak mengajarimu?”

“Uwoooh!”

“Berhenti kagum dan segera bersiap!”

“Baik!”

-

-

Malam hari, di Ibu Kota Bern.

Sebuah pusaran magis berwarna biru yang berukuran besar tiba-tiba muncul di tengah-tengah jalan. Semua warga yang ada di sana tentu saja kebingungan. Secara mereka tak pernah mengalami fenomena aneh seperti itu. Mereka juga tidak berani untuk mendekati, bahkan menyentuh pusaran magis itu itu.

Para warga yang melihatnya, menganggap itu adalah sebuah portal.

“Si-siapa saja! Tolong panggilkan kesatria!” Seseorang berteriak kencang, namun tak ada satu pun dari mereka yang bergerak dari sana.

“Hei, bukankah itu terlihat berbahaya?”

“Entah kenapa aku merasa akan ada sesuatu yang keluar dari sana.”

“Bukankah kita harus melaporkan ini?”

“Hei, cepat laporkan ini. Firasatku tidak enak soal portal ini.”

Beberapa warga di sana terlihat cemas dan gelisah. Namun mereka tak punya keberanian untuk bertindak, dan hanya menunggu bala bantuan datang.

Sayangnya, portal itu tak hanya muncul di Ibu Kota saja, melainkan juga muncul di Wilayah Selatan, Utara, dan Barat. Ukuran dan warna portalnya sama persis.

Sementara itu di Akademi Callister, seorang pria berambut hitam sedang berdiri di jendela sembari memandangi keadaan kota dari dalam. Dia adalah Kepala Akademi generasi ke-3—Klaus Sylstallone.

Tak lama, seorang pria lain muncul dan berdiri di belakang pria itu. Dia adallah sekretaris Kepala Akademi—Joe Griennde.

“Tuan, ada laporan dari Kesatria,” ucapnya.

Klaus melirik sekilas, lalu kembali menatap ke luar. “Apa itu?”

“Dikatakan bahwa sekitar tujuh portal misterius muncul di berbagai wilayah Kekaisaran. Mereka belum tahu pasti portal jenis apa karena belum ada satu orang pun yang berani masuk ke dalam.”

“Portal?” Klaus tersenyum miring. “Mereka tidak berani masuk ke dalam, katamu? Lihatlah betapa pengecutnya mereka.”

Klaus kemudian berbalik dan melangkah melewati Joe. “Siapkan kereta. Kita berangkat ke lokasi kejadian sekarang juga.”

“Baik.”

Saat sudah sampai di ambang pintu, Klaus berhenti sebentar untuk membuka suaranya, “Oh, beri perintah kepada Riana dan Kai untuk memeriksa wilayah yang lain. Lalu kirimkan surat ke istana. Suratnya berisi permintaan pengalihan tugas kepada Xavier untuk memeriksa Wilayah Selatan.”

Joe terlihat cukup terkejut oleh kata-kata Klaus barusan. Matanya sedikit membesar. “Apa anda serius? Beliau, kan Putra Mahkota!”

“Memangnya kenapa? Selagi dia memiliki kekuatan, bukankah lebih baik digunakan untuk melindungi Kekaisaran? Orang yang setara dengannya dari generasi ini hanya’lah Riana dan Crystal. Lagi pula, Kaisar pasti juga sudah mendapatkan laporan mengenai portal misterius itu. Dia ‘lah yang paling tahu tentang keadaan Kekaisarannya saat ini. Dia pasti akan mengabulkan permintaanku." Klaus menarik sebelah sudut bibirnya kemudian berkata, "Kecuali dia ingin melihat kekaisarannya hancur.”

Pernyataan Klaus memang terdengar masuk akal, namun Joe masih belum bisa mempercayainya seratus persen. Kaisar bukanlah orang yang bisa diajak bernegosiasi dengan mudah. Orang yang bisa beradu mulut dengan Kaisar saat ini hanya ‘lah Klaus dan Mantan Kepala Akademi sebelumnya.

Salah bicara sedikit saja akibatnya sudah sangat fatal. Karena itu Joe sangat mencemaskan permintaan yang diajukan oleh Klaus. Tapi tetap saja, dia sendiri pun tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti perintah tuannya itu.

“Baik, akan segera saya laksanakan.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!