TING TONG!
TING TONG!
Shasa membukakan pintu yang terkunci otomatis melalui remote di meja kerjanya.
Ternyata itu Aiden yang datang dengan membawa goodie bag yang Shasa yakini adalah makanan. Tercium dari baunya meskipun jarak mereka hampir 16 meter.
Ahh ... Shasa ingat. Dirinya belum makan apapun. Seharian ini wanita itu sibuk mengurus Adrian sampai-sampai melupakan makan siangnya.
"Hay Babe, kok kamu ke sini gak kabarin aku?"
Shasa berdiri menghampiri Aiden dan memberikan pelukan erat.
Bagi Shasa, Aiden bukan hanya kekasihnya tapi sudah seperti sahabat, kakak bahkan pengganti ayahnya yang sudah meninggal.
Aiden sangat penyayang dan perhatian pada Shasa. Bahkan selama mereka berpacaran, Shasa dan Aiden tidak pernah terlibat pertengkaran hebat. Mereka saling memahami satu sama lain.
"Coba kamu cek handphone kamu!"
Aiden membalas pelukan Shasa dan mengecup puncak kepala wanita yang berada di bawah dagunya dengan lembut.
Shasa melepaskan pelukannya. Lalu menuju snelli yang ia gantungkan di belakang meja kerjanya.
Ia kemudian memeriksa handphone nya dan terdapat panggilan tidak terjawab dari Aiden, lalu beberapa pesan yang belum dibukanya.
"Oh my God! I am so sorry?" ucap Shasa memelas sambil menunjukan puppy eyes nya.
Aiden mendekati Shasa yang masih berdiri dan membawa nya menuju sofa yang ada di ruang kerja Shasa.
"Kamu makan dulu, ya. Kata Tio, seharian ini kamu di dalam ruangan dan kamu sibuk karena ada pasien baru yang bikin kamu stress."
Sudah Shasa duga pasti Tio selalu menceritakan apapun yang terjadi di rumah sakit ini baik pasien maupun dirinya. Shasa menatap Aiden dengan lembut.
"Memang siapa pasiennya, hmmm? Sampai-sampai bikin kesayangan aku stress."
"Kamu gak akan tau dan kenal, Ai. Meskipun aku jelaskan. Pokoknya pasien ini butuh penanganan ekstra dan pihak keluarganya ingin kami yang mengurusnya. Mereka tidak sanggup mengurus sendiri."
"Memangnya si pasien ini mengalami apa?"
"Diagnosa awal, dia traumatic stress disorder dan organic brain syndrome. Penyebabnya kecanduan alkohol dan --" Shasa berat untuk melanjutkan.
"Kamu kenapa, Babe?" Aiden menggenggam tangan Shasa, memberikan wanita itu kekuatan.
"Bukannya kamu sudah terbiasa dengan pasien yang seperti ini?"
Shasa mengangguk. "Aku agak sentimentil aja, Ai. Maklum mau datang bulan kayaknya!" Shasa terkekeh menutupi kegugupannya.
"O-iya kamu jadi meeting hari ini? Bagaimana hasilnya?" tanya Shasa mengalihkan pembicaraan.
Aiden menarik nafas dalam dan menghembuskan nya dengan kasar. "Aku nggak suka sama investornya. Dia nggak profesional!"
"Gak profesional bagaimana?" tanya Shasa sambil menusuk salad buah yang di bawa Aiden.
"Jadi, meeting tadi di wakil kan sama Sekretarisnya. Katanya, Miss Han nya jetlag karena perjalanannya dari Beijing ke Indonesia!"
"Owh begitu," sahut Shasa sambil manggut-manggut. "Maklumi aja, Ai. Ya ampun kamu tuh!"
Shasa telah selesai menghabiskan makanan nya dan merapikan dasi Aiden yang sedikit berantakan.
Aiden menahan tangan Shasa yang masih memegang bagian atas dasinya.
"Kita sudah berapa lama ya, Sha?"
"Baru seminggu, Aiden. Kita tidak bertemu," jawab Shasa.
"Bukan itu. Maksud aku, sudah berapa lama kita pacaran?"
"Kamu lupa? Tiap tahun kan kit-"
"Sssttt aku ingat," potong Aiden. "Apa bisa kita lebih int-"
"Aiden... please! Untuk yang satu itu bisa kan, kita lakukan setelah menikah?"
Shasa memberi jarak untuk mereka. Ia menggeser duduknya agar sedikit menjauh dari Aiden.
Namun tangan Aiden sudah lebih dahulu menyentuh rahang Shasa dan mengelusnya lembut.
Cup
Aiden mencium bibir ranum Shasa dengan lembut dan sedikit menuntut, membuat Shasa harus mengimbangi permainan yang Aiden lakukan.
DDRRRTTTT
DRRRTTTTT
Telpon Aiden berdering menampilkan foto sang perdana Mentri yang saat ini menjabat di kediamannya, siapa lagi kalau bukan ibunya.
"Angkat dulu," ucap Shasa lembut.
"Biarin. Ganggu aja! Kita kan, jarang ketemu, Sha!"
"Aiden ...!"
"Iya... iya... Babe. Sebentar ya." Aiden beranjak keluar ruangan Shasa.
Wanita itu seger membereskan makanannya yang telah ia habiskan.
Dari sudut matanya, keluar cairan bening. Cepat-cepat ia menghapusnya, takut Aiden melihat dan bertanya yang tidak-tidak.
Aiden masuk kembali kedalam ruangan dengan wajah paniknya.
"*Babe*, aku harus ke Singapura, mama ada meeting dan aku harus menemaninya. Soalnya papa masih di Malibu!" ucap Aiden sambil mengambil tas kantornya yang ia letakan di kursi sofa tunggal.
"Iya Ai, hari ini juga berangkat nya?"
"Iya Babe, kamu harus selalu kabarin aku ya!"
"Iya Babe, take care ya!"
Aiden mencium kening Shasa dalam dan berganti mencium kedua pipi wanita itu.
...💕💕💕💕💕...
"Hallo, apa benar ini nomor Farel-?"
"Ya benar, ada apa? cepatlah aku akan meeting!"
"Saya Sabrina, apa anda masih mengingat Adrian Chai-"
Panggilan terputus. Shasa terpaksa menggunakan nama palsu untuk menghubungi teman-teman nya.
Karena hubungannya dengan teman-teman Adrian tidaklah bagus bahkan sampai sekarang.
"Hallooohhhh... sshhh..." Suara wanita mendesah di seberang sana yang menyapa.
Padahal saat ini Shasa sedang menghubungi Browzy, salah satu teman Adrian.
"Ha-hallo, benar ini nomor Ozy? Browzy?" tanyanya gugup.
"Iya benar, kau si... ahhhh pelan pelan, Babe! Sshhh ahhh.. kau... si-siapa?" Suara erangan dan desahan dalam telpon itu membuat Shasha mual.
"Katakan pada Ozy, apakah ia mengingat Adrian Chaiden?! Hubungi nomor ini jika Ozy sudah tidak sibuk!"
Shasa langsung memutuskan panggilan itu dan memijat pelipisnya yang mulai pening.
"Bagaimana ini Adrian? Bahkan aku tidak tau tempat tinggal mu yang sekarang! Mereka pasti senang kalau tau kamu masih hidup." Shasa bergumam sambil menatap ponselnya.
Shasa menghubungi beberapa dayang-dayang yang dulu menempel bak parasit saat Adrian masih berjaya.
Namun, tidak ada yang mengingat siapa itu Adrian Chaiden, bahkan mereka seolah-olah tidak mengenal siapa itu Adrian Chaiden. Seolah-olah mereka semua tidak pernah tahu jika mereka memiliki teman bernama Adrian Chaiden atau Adrian Aditama.
Shasa mendapatkan nomor-nomor ini dari Fani sahabat SMA-nya, hanya dia yang mau membantu Shasa saat ini.
Hanya pada Fany, Shasa berani bercerita tentang Adrian saat mereka masih SMA hingga kuliah. Fani saksi cinta Adrian dan Shasa yang berakhir mengenaskan.
'Mungkin mereka taunya Adrian Chaiden sudah meninggal dan mereka sudah melupakan pria malang ini. Malang? Ahhh aku bingung mendeskripsikannya seperti apa kondisi Adrian yang sekarang.' Monolog Shasa.
"Hallo selamat malam, benar ini nomor Kenzo Nakamura?"
"Iya benar saya istrinya, maaf ini dengan siapa?" ucap wanita itu dengan nada sedikit menyelidik.
"Maaf malam-malam saya menghubungi anda, saya Raneysha teman Adrian--"
"Adrian? Ian maksud kamu. Adrian Aditama?"
Ada sedikit harapan saat wanita di sebrang telpon itu mengenal Adrian.
"Iya benar, boleh saya berbicara dengan Kenzo. Ini perihal Adrian!"
"Tidak jangan! Jangan kamu hubungi kami lagi. Siapapun kamu, saya mohon jangan biarkan suami saya mendekati keluarga Aditama atau Pioneer lagi. Bukankah Adrian sudah mati? Kenapa ia masih merepotkan kami yang masih hidup!"
Tutttt...
Tuuuttt...
Lagi-lagi panggilan terputus, Shasa menggenggam erat handphonenya. Ia tempelkan tangannya yang masih menggenggam handphone, ke keningnya.
Frustasi. Itulah yang saat ini sedang Shasa rasakan.
"Ya Tuhan Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi! Mengapa kamu sampai sehancur ini?"
Shasa bingung harus apa, tinggal satu nomor lagi. Dan sudah ia pastikan jika orang ini juga akan bereaksi sama.
Tutttt...
Tuuuttt...
Panggil masih berdering. Agak lama, karena nomor yang ia hubungi dari luar negeri. Rusia.
"Hallo!" Panggilan kembali tersambung.
"Iya hallo, maaf dengan siapa ini?" sahut suara wanita yang Shasa ingat jelas suaranya.
Suara adik kelasnya yang dulu sering sekali membantunya ketika Adrian menyiksanya.
"Bella? Isabella? That's you?"
"Ya... its me but who are you?"
"Aku Raneysha... Shasa, kamu inget aku?" Tiba-tiba hening.
"Ahhh iya Kak Shasa. Apa kabar? Kamu menghubungi ke nomor suami aku, ada apa Kak?"
"Bisa aku bicara dengan Kamandanu? Ini soal Adrian."
Ada jeda cukup lama, hal itu membuat Shasa khawatir jika Bella juga akan menolak panggilannya.
"Ohh, iya Kak sebentar!"
"Ada apa!"
Shasa lega, Kamandanu tidak menutup telponnya meskipun ia menyebut nama Adrian di telpon.
"Saya mohon jangan tutup telpon ini sebelum saya menjelaskan semua perihal Adrian!"
"Adrian... kenapa lo ingin tahu tentang Adrian?"
Suara bariton khas milik Kamandanu tidak berubah bahkan semakin terdengar berat saat ini.
Shasa menjelaskan awal mula pertemuannya dengan Adrian. Ia juga menjelaskan hasil diagnosa dari lelaki itu yang positif psikotropika dan gangguan kejiwaan lainnya.
Kamandanu tampak mendengarkan. Terdengar dari ujung telpon helaan nafasnya yang berat dan sesekali berdehem.
"Saya bisa minta tolong kamu untuk bawa Adrian kembali ke keluarganya? Karena peran keluarganya sangat dia but--"
"Tidak bisa. Keluarganya tidak akan bisa melakukan apapun. Berbahaya jika Adrian kembali dalam kondisinya yang tidak baik-baik saja. Lo bisa ikuti instruksi Gue dan jangan membantah!" tegas Kamandanu.
Ada nada intimidasi dan penekanan di setiap kalimatnya. Kamandanu belum berubah. Masih dingin dan ketus ketika berbicara.
Shasa mendengarkan setiap instruksi yang Kamandanu berikan tanpa membantah.
Kamandanu memang tidak akan ikut campur secara langsung, tapi dia akan membantu memberikan beberapa anak buahnya untuk membantu Shasa menjaga Adrian.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Non, tumben pulang cepat?" tanya Bude Parni yang sedang melipat pakaian di ruang laundry.
"Engga Bude, ini mau balik lagi. Aku pulang cuma mau ambil kunci dan kartu akses apartemen yang di lantai bawah!"
"Ada yang mau sewa, Non?"
"Iya Bude!" jawab Shasa berbohong.
Selesai mengecek unit apartemennya yang di lantai bawah. Shasa meminta petugas kebersihan untuk membersihkan unitnya yang nantinya akan ia gunakan untuk merawat Adrian.
Karena tidak mungkin untuk Shasa merawat Adrian di rumah sakit. Cepat atau lambat Aiden akan tau.
Shasa tidak tega melihat Adrian harus dirawat bersama dengan pasien lainnya.
Apalagi mengenai diagnosa yang Shasa terima, membuat dirinya terpukul dan lemas. Mengapa Adrian bisa positif narkoba.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Esok harinya, Shasa meminta bagian administrasi untuk mencabut izin rawat inap pasien yang bernama Andika -- nama yang ia gunakan untuk Adrian.
Shasa sudah merencanakan ini dan keputusannya sudah matang, bahwa ia akan merawat Adrian di salah satu unit apartemennya.
"Pasien atas nama Andika mau dibawa orang tuanya, Dok?" tanya Tio yang sedang mencabut infus dari tangan Adrian
"Iya Tio. Dia masih kerabat teman saya. Nanti biar saya yang antar ke rumahnya."
"Jangan Dokter! Takutnya si pasien memberontak dan histeris. Nanti Bu Dokter dalam bahaya, biar saya dan Raka saja yang antar pasien ini!"
"Pihak keluarganya meminta saya yang antarkan dia," balas Shasa dengan senyum ramahnya.
"Kalau ada apa-apa kabarin kita ya, Bu Dokter!"
"Siap Tio. Terima kasih!"
Shasa memasuki kamar inap Adrian. Tidak ada yang perlu Adrian kemasi karena Adrian tidak membawa apapun bahkan baju yang ia kenakan kemarin pun harus di buang karena sudah tidak layak.
Shasa memberikan kemeja dan celana panjang beserta pakaian dalam untuk Adrian.
Bahkan di apartemen, Shasa sudah menyiapkan semua keperluan Adrian untuk lelaki itu gunakan sehari-hari.
"Ganti pakaian mu dengan ini!" perintah Shasa.
Adrian tidak menjawab, ia menatap kosong ke pojok ruangan, tepatnya belakang punggung Shasa.
Shasa menyentuh telapak tangan Adrian dan menatap bola mata lelaki itu yang penuh kehampaan.
"Ian, ganti baju yang kamu gunakan dengan ini!" perintah Shasa dengan nada sedikit halus.
Adrian membuka kancingnya satu persatu tanpa mengalihkan tatapan matanya pada Shasa.
"Aku tunggu di luar, ya!"
Telapak tangan Shasa di genggam erat oleh Adrian yang masih menatapnya lekat dan tangan satunya lagi ia gunakan untuk membuka bajunya.
Susah payah Shasa menelan Saliva nya, saat Adrian menahannya agar Shasa tidak beranjak dari tempatnya.
Meskipun tubuh Adrian mengalami penurunan drastis. Namun otot-otot tubuhnya masih terlihat, meskipun tidak sejelas dulu.
Shasa membuang pandangannya dan menatap ke sembarang arah. Ia tidak ingin beradu tatap dengan mata Adrian yang sampai saat ini membuat hatinya gemetar.
"Stopp--" Shasa menahan tangan Adrian yang ingin membuka celana nya.
Kemudian Shasa berbalik badan. "Kamu bisa ganti celana kamu sekarang!"
Cukup lama Shasa membalik badan namun tidak ada sahutan dari Adrian yang mengatakan bahwa ia telah selesai mengganti celananya. Sampai Shasa memutuskan untuk berbalik badan.
Duugghhhhh
...**乁( •• )ㄏ To be continue乁( •• )ㄏ**...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 251 Episodes
Comments
IRINA SHINING STAR
aku juga mampir ya kakak.. sumpah awal nya nya aja seru banget pas waktu aku baca😁
2025-04-09
0
Katty miaw
seru thor ceritanya
2025-02-11
0
siti_1234
seruu😉
2024-12-20
1