Menjelang jam makan siang Devina berniat untuk pulang menjenguk kedua buah hatinya di rumah dia benar-benar kepikiran dan tidak kenal meninggalkan mereka kalau bukan karena uang dia juga tidak akan pernah ninggalin mereka untuk mencari pekerjaan di luar.
"Aku dikasih izin nggak ya, buat pulang? Aku khawatir banget sama anak-anak, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kalau aku minta izin pulang terus ditanya yang macam-macam sama dia aku harus jawab apa? Masa iya aku harus berterus terang mengenai anak-anakku yang kutinggalkan? Tidak, aku tidak akan memberitahunya. Lebih baik seperti ini saja, Aku tidak ingin masalahku bertambah besar jika dia tahu aku sudah punya anak."
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Devina mondar-mandir di ruangannya. Kini ruangannya memang satu tempat dengan ruangan Bos, tapi saat itu Marcell sedang mengikuti meeting dan meninggalkannya sendiri di ruangan CEO.
Jam makan siang kurang 5 menit lagi, dan perjalanan antara kantor dengan rumahnya butuh waktu kurang lebih 15 menit. Sudah habis di perjalanan saja jika ia pulang, tapi kalau ia tidak pulang yang ada kecemasan semakin menjadi-jadi. Andai saja ada penitipan anak di dekat kantor, pasti ia akan menitipkan mereka, tapi sayangnya anak-anaknya sendiri juga tidak mau berbaur dengan orang lain.
Kriket, suara pintu terbuka dan masuklah Marcel setelah mengikuti meeting. Dia menolak ke arah Devina yang nampak gelisah berdiri di depan meja kerjanya.
"Kamu kenapa gelisah itu? Ada masalah?" Pria itu berjalan mendekat dengan menatapnya dalam-dalam.
Devina penggalang dengan wajah menunduk. "Nggak ada apa-apa kok Pak, saya baik-baik saja."
Di saat bekerja, dia harus tetap profesional sebagai atasan dan bawahan. Berbeda lagi di saat mereka sedang di luar Devina tidak menghormatinya sama sekali.
"Emangnya pekerjaan kamu sudah selesai?" Pria itu bertanya lagi menoleh ke arah meja kerja Devina yang sudah nampak begitu rapi.
"Saya sudah menyelesaikannya Pak. Silakan Bapak cek kembali hasil pekerjaan saya, jika ada yang perlu diperbaiki, maka saya akan memperbaikinya."
Marcell mengambil berkas-berkas yang sudah diselesaikan oleh Devina dan mengeceknya satu persatu. Tidak ada kesalahan yang ditulis oleh Devina dan dia cukup bangga dengan hasil kinerja Devina.
"Lumayan. Sebentar lagi Kamu harus istirahat, isi perutmu, jangan sampai kamu telat makan."
Pria itu masih sama seperti dulu walaupun menjengkelkan tapi mengingatkan saat makan dan saat istirahat membuatnya teringat pada masa lalunya ia tersenyum ingin menangis tapi apalah daya kini hubungannya sudah berakhir dan di antara mereka sudah tidak ada lagi hubungan spesial.
"Terimakasih banyak Pak. Tapi kalau saya boleh minta izin, saya ingin pulang saat jam makan siang. Saja ada kepentingan sebentar Pak. Saya janji akan kembali ke sini di saat jam kerja dimulai," pinta Devina dengan wajah memelas.
"Pulang? Memangnya kamu memiliki masalah apa sih, sampai bela-belain buat pulang? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku, Vina? Memangnya kamu di rumah meninggalkan siapa? Apa jangan-jangan kau memang sudah memiliki penggantiku? Apa temanku itu yang sudah menggantikan posisiku dan sekarang tinggal satu atap denganmu, kalian sudah menikah begitu?"
Banyak kata penasaran yang hinggap di relung hati Marcell Devina yang selalu menghindar membuatnya semakin penasaran dengan kehidupannya.
"Pak, saya hanya minta izin, Saya hanya minta Bapak nggak usah tanya yang macam-macam. Ini kantor tempat bekerja, tidak seharusnya Bapak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Bukannya saya nggak sopan bersikap seperti ini, tapi Bapak memang nggak berhak untuk mengetahui kepribadian saya. Tolonglah Pak, demi keperimanusiaan, saya minta izin pulang sebentar. Saya janji tidak akan terlambat untuk kembali lagi. Jika saya terlambat untuk kembali Bapak bisa menghukum saya."
Terlihat begitu cemas Devina memohon-mohon agar mendapatkan izin untuk pulang. Marcell yang sangat penasaran Ia pun memutuskan untuk mengizinkannya.
"Oke baiklah, kamu bisa pulang sekarang!"
Wajah Devina seketika berbinar, tanpa ribut, dia pun bisa pulang untuk menjenguk anak-anaknya.
"Ini serius Bapak mengizinkan saya buat pulang? Bapak nggak lagi bercanda kan?"
"Apakah saya kelihatan sedang bercanda? Kamu itu minta izin pulang dengan merengek-rengek, setelah saya izinkan kamu menganggap saya ini sedang bercanda. Buruan pulang, dan jangan lupa kembali. Ingat seperti yang kamu katakan tadi, jika sampai terlambat datang kemari, maka kamu harus menerima hukumannya."
"Terima kasih banyak Pak, terima kasih banyak atas pengertiannya. Kalau begitu saya pulang sekarang."
Devina meraih tas kecil dan menyelempangkannya di lengan dia langsung bergegas pergi dengan terburu-buru.
'Aneh, aku jadi curiga dengan kehidupannya. Apa yang membuatnya panik? Dia sampai merengek-rengek untuk diizinkan pulang. Ini adalah kesempatan buat aku bisa mengetahui kondisi dia yang sebenarnya. Aku akan mengikutinya secara diam-diam.'
Marcell langsung bergegas pergi untuk mengikuti kepergian Devina. Dia mengikutinya dengan jarak yang lumayan jauh agar Devina tidak mencurigai jika dirinya diam-diam telah mengikuti kepulangannya.
'Wanita itu benar-benar keras kepala. Dari dulu sifatnya tidak pernah berubah. Aku sampai bingung, aku harus melakukan apa untuknya, sedangkan dia menunggu untuk aku bantu. Ya Tuhan, tunjukkanlah kebenaran. Jika dia memang bersalah, tunjukkan padaku, tapi jika dia memang difitnah, aku mohon berikanlah jalan untuk bisa membalas kejahatan orang-orang yang sudah mampir tengahnya dan membuat hidupnya seperti ini.'
Di sebuah rumah kontrakan kecil, Devina buru-buru melangkahkan kakinya masuk. Terdengar suara tangisan anak kecil di dalam rumah, dan itu membuatnya sangat panik.
"Azalea! Kenzo!"
Devina memanggil kedua buah hatinya yang diyakini tengah menangis di salah satu ruangan.
Mendengar panggilan dari ibunya, anak laki-lakinya langsung berlari padanya dengan menangis.
"Mommy, mommy untung caja mommy pulang. Adik mom!"
"Adik mom ..,"
"Adik? Di mana adik?"
Devina langsung panik tak mendapati anak perempuannya.
"Adik jatuh di cana. Hidungnya beldalah."
Devina seketika menegang dengan mulutnya menganga. Dia syok mendengar kabar buruk mengenai anak perempuan.
"Adik jatuh? Di mana?"
Kenzo mengajak Devina dengan menggandeng tangannya menuju dapur. Dia menunjuk ke arah kursi kayu tempat duduk mereka saat makan di dapur.
"Astagfirullah haladzim. Apa yang sudah terjadi padamu nak? Kenapa bisa seperti ini?"
"Mommy, Lea takut, Lea lapel."
Agak kecil itu bermaksud buat ambil makanan, namun malah terjatuh dan tersungkur di lantai. Dalam keadaan lapar, dia malah mengalami insiden yang membuatnya kesakitan.
"Lea!"
Devina menangis dan memeluk tubuh mungil anak perempuannya. Dia mengusap darah yang mengalir segar keluar dari hidungnya.
"Maafin Mommy nak, maafin mommy. Mommy salah, tidak seharusnya mommy ninggalin kalian sendiri di rumah. Mommy nggak bisa jagain kalian dengan baik."
Tangis mereka pecah saling berangkulan di dapur. Seseorang memasuki rumah dan melihat dari pintu dapur tanpa sepengetahuan Devina.
"Anak kecil? Siapa mereka?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
C2nunik987
itu anakmu Marcell sama ambil rambutnya test DNA biar km ga bodoh lagi 😡😡😡keselll aku ma Marcell 😅😅😅🙈🙈🙈
2024-06-03
0
Friskila
Devina yg memilih susah dan mengorbankan anaknya tanpa pernah meminta bantuan keluarganya, itu sama saja dgn org sombong krn merasa mampu sendiri sementara anak²nya tersiksa. apa salahnya mengakui kelemahan didepan keluarga yg pennting tdk mengemis kepada org lain
2024-06-03
0
Ika Dw
😭😭, iya
2024-04-28
0