"Permisi nona kecil, sekarang nona kecil diperiksa dulu ya? Coba suster lihat dulu hidungnya."
Seorang suster membawa alat-alat medis untuk mengecek pasien.
"Kenapa hidungnya sampai merah kayak gini? Apakah tadi habis terjatuh?"
"Iya suster, tadi habis jatuh dari atas meja. Saya sendiri juga nggak tahu kronologinya kayak gimana, pulang-pulang anak saya sudah nangis aja, hidungnya berdarah," jawab Devina.
"Loh, namanya ibu tinggal di mana? Kok bisa lepas dari pemantauan. Anak usia segini masih aktif-aktifnya Bu. Kalau lalai orang tuanya bisa celaka."
"Iya sus, itu kesalahan saya. Saya benar-benar menyesal karena meninggalkan anak saya bekerja. Saya nggak pernah berpikir kalau anak saya bakalan jatuh kayak gini."
Devina benar-benar sangat menyesal karena sudah meremehkan keselamatan anak-anaknya. Demi mencari sesuap nasi untuk menghidupi anaknya dia sampai tega meninggalkannya sendiri di dalam rumah tanpa siapapun.
"Ibu tinggal bekerja? Terus mereka di rumah tinggal sama siapa?"
"Mereka tinggal di rumah hanya sendirian sus, mereka ini kembar. Saya nggak pernah berpikir kalau anak saya bakalan mengalami celaka seperti ini. Sebelum berangkat bekerja, Saya sudah mewanti-wanti agar mereka tidak keluar rumah ataupun bermain yang membahayakan. Saya juga sudah menyiapkan makanan buat mereka agar mereka tidak kelaparan."
"Ya ampun Bu, kenapa ibu tega meninggalkan mereka sendirian di dalam rumah tanpa siapapun. Ini sangatlah membahayakan mereka Bu. Ibu jangan mengabaikan keselamatan anak. Kalau sudah seperti ini, ibu sendiri kan yang menyesal? Untung saja Ibu cepat pulang, jadi ibu tahu kalau anak ibu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Coba kalau Ibu nggak keburu pulang, apa yang bakalan terjadi pada mereka?"
Suster memberikan teguran pada Devina yang dianggap sudah ceroboh mengabaikan keselamatan anak balita.
"Iya sus, saya mengerti, tapi saya sangat terpaksa meninggalkan mereka bekerja. Saya ...,-
"Bagaimana dengan kondisinya sus?" tiba-tiba saja Marcell masuk ke dalam ruang IGD menemui Devina dan juga suster yang tengah memeriksa Azalea.
Marcell menatap dalam-dalam anak kecil yang tengah berbaring di atas berakar sedang diperiksa oleh suster, setelah itu tatapannya kembali beralih pada anak laki-laki yang berdiri di depan Devina dengan memegangi berankar.
"Kondisinya lumayan memprihatinkan Pak, buat anak sekecil ini seharusnya dijaga dengan baik dan tidak ditinggalkan sendirian di dalam rumah. Anak balita ini masih aktif aktifnya Pak, dan harusnya tidak diabaikan keselamatannya. Setelah saya periksa, hidungnya mengalami luka sehingga mengeluarkan darah. Saya sudah membersihkan lukanya dan memberikan obat agar darahnya tidak lagi keluar."
"Tapi aku nggak dicuntik kan?" Azalea masih ketar-ketir kalau suster tiba-tiba memberikan suntikan padanya. Dia berjanji akan menggigit lengan suster jika berani menyuntiknya.
Suster yang tahu ketakutan anak itu, ingin sekali mengerjainya. "Ya harus disuntik dong biar kakak sembuh. Kalau nggak disuntik kan nggak cepat kering lukanya."
"Nggak mau! Aku nggak mau dicuntik pokoknya, aku mau pulang aja, bobok di lumah."
Gadis itu memberontak dengan menendang-nendangkan kakinya ke udara. Devina mencoba untuk memberikan pengertian padanya agar tidak marah.
"Sayang, nggak boleh marah gitu doang! Kenapa kamu jadi marah-marah kayak gini. Susah kan cuman bercanda, nggak beneran. Nanti kalau kamu marah-marah darahnya keluar lagi lho!"
Suster terkekeh melihat anak kecil yang menggemaskan seperti itu. "Iya-iya maaf deh, suster cuma bercanda kok, nggak jadi disuntik. Tapi kalau adek marah-marah ya terpaksa suster suntik."
"Jangan dicuntik ya cus, aku benel-benel tatut."
"Iya sayang, tenang aja. Kalau anak baik nggak bakalan disuntik, anak nakal pasti akan disuntik. Tunggu sebentar ya? Suster mau berikan resep obat untuk adik, biar lekas sembuh."
Suster menuliskan resep obat dan memberikannya pada Devina untuk ditebus. "Ini resepnya, nanti ditebus ya Bu, di apotik depan. Ini resep obat untuk pereda nyeri dan juga demam, biar nanti adek bisa tidur dengan nyenyak nggak demam. Kalau sampai terjadi demam, Ibu bawa lagi kemari ya? Nanti bisa menjalani opname."
"Opname sus?"
Devina bertanya lirih dengan perasaannya yang sangat kacau. Bagaimana ia bisa membiayai opname anaknya, untuk menebus obat saja dia berniat untuk menghutang bosnya.
"Iya Bu, jika nanti terjadi demam tinggi, adik disarankan untuk opname, tapi semoga saja lukanya nggak serius. Kami cuman khawatir aja nanti darahnya keluar lagi dan adik mengalami demam."
Devina melipat kertas bertuliskan resep obat yang harus ditebusnya. Air matanya berjatuhan tanpa diminta.
"Kalau gitu kami langsung pulang setelah menebus obat ya sus?"
"Iya Bu, sekarang bisa pulang, karena lukanya juga sudah dibersihkan."
Yang Devina pikirkan bukan karena luka kecil anaknya, tapi anaknya juga memiliki kelainan jantung yang diduga penyakit turunan, dan itu membuatnya tidak bisa berpikir dengan tenang.
"Kita boleh pulang ya mom?" tanya Kenzo yang sudah tidak nyaman berada lama-lama di rumah sakit.
"Iya sayang, kita pulang sekarang."
Melihat tatapan dingin pria yang belum pernah ditemui sebelumnya membuat nyalinya menciut.
Dengan menggendong Azalea, tangan satunya digunakan untuk menggandeng anak laki-lakinya dan keluar dari ruang IGD.
'Ya Tuhan,
"Iya sayang, kita pulang sekarang. Kenzo jalan sendiri ya? Hati-hati, mommy gendong adiknya."
Tak nyaman dengan sikap dingin Marcell, Devina pun meminta anak laki-lakinya untuk diajaknya jalan sendiri, tak harus digendong oleh Marcell.
"Mommy, kita pulang naik apa?" tanya Kenzo.
"Emm,, naik mobil sama Om," jawab Devina.
Devina tau anak laki-lakinya begitu takut pada Marcell. Sepatah katapun bahkan Marcell tak berucap.
"Kita tebus resep obatnya adik dulu ya sayang?"
Setibanya di apotek depan rumah sakit, Devina berniat untuk menebus obat, namun uangnya cuma tersiksa dua puluh lima ribu rupiah, dan itu buat makan anak-anaknya.
'Ya Tuhan, uang segini mana cukup buat beli obat. Tapi anakku membutuhkannya. Bagaimana besok bisa makan? Aku tidak memiliki uang sama sekali.'
Batin Devina teriris menggenggam resep obat ditangannya.
"Mana resepnya?"
Tiba-tiba saja Marcell mengejutkannya.
Buru-buru Devina menyeka air matanya dengan kasar, dan itu terlihat jelas oleh Marcell.
"Ini Pak," jawabnya dengan menunjukkan kertas putih bertuliskan resep dokter.
"Tunggulah di sini. Biar aku antri dulu."
Marcell mengambil resep obat dari Devina dan langsung mengantri. Sedangkan Devina dan juga anak-anaknya memutuskan untuk duduk menunggu di ruang tunggu.
"Mommy, Om itu ciapa? Kok selem?" tanya Kenzo
"Iya mom, Omnya gak bica cenyum, dali tadi diem mulu," imbuh Azalea.
Deg,, jantung Devina seakan mau lepas terlalu cepat berdetak begitu kencang. Apa yang akan dikatakan pada anak-anaknya mengenai pria yang bersamanya itu.
'Ya Tuhan, ketakutanku kini terjadi. Bagaimana aku menjawabnya? Apa aku harus mengatakan pada mereka siapa pria ini buat mereka?'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Yatinah
difatnya terlalu dingin hingga sampai tak bisa merasakan bahwa si kembar adalah anak kandungnyaa
2024-04-28
3
Siti Fatimah
enggak usah bilang kalau Marcel ayah s,kembar Dev ,, Marcel tidak cocok menjadi ayah s, kembar secara ayah sm anak ko enggak punya rasa yang gimana gitu ..
2024-03-20
3