Eps 18:Emosional Tak Terkendali

Bulan telah terbit menandakan malam telah tiba, dan pertarungan mereka berdua tak kunjung terselesaikan selama satu hari penuh.

Bahkan di wajah mereka sama sekali tidak menunjukan adanya rasa kelelahan, justru seiring berjalannya waktu membuat alur pertarungan mereka terasa semakin sengit.

Dewi Gabriel yang menetap pada kebenciannya mulai menyadari pertarungan yang tak seimbang. Terutama setelah Izaya meninggalkan kesan menjengkelkan yang memperburuk suasana hati Dewi Gabriel.

"Kuberi saran sebelum aku menjelaskannya. Jangan pernah melakukan hal yang sama ketika diriku telah mengetahui penyebabnya, apa lagi di saat posisiku kembali seperti semula. Tentu saja takkan kubiarkan diriku menerima luka untuk kedua kalinya."

Mendengar peringatan dari Izaya, membuat Dewi Gabriel hanya mampu terdiam dengan menahan rasa kekesalan, walaupun terdengar seperti gertakan ia cukup tersudutkan oleh pernyataan tersebut.

"Aku menyadari bahwa kedua matamu menyimpan banyak potensi dalam satu pandangan. Yah ini kusadari jauh sebelum diriku memberimu luka seperti sekarang, tepatnya saat kita saling melancarkan pukulan dan mendarat ke arah yang sama, waktu itu aku merasa sedikit memahami cara kerja matamu. Kuakui itu lebih merepotkan dari perkiraan, kau mampu melihat ke arah masa depan selama satu detik kedepan atau bahkan kurang dari satu detik. Dan tidak lebih dari itu, akan tetapi potensi yang sebenarnya terdapat  dalam satuan waktu tersebut. Dimana kau mampu melihat segala kemungkinan yang terjadi dengan respon yang sangat cepat."

Sembari Izaya berbicara ia juga memperhatikan reaksi Dewi Gabriel yang spontan menegakan alisnya ketika kalimat terakhir tersebut terucapkan.

"Itu tidak ... "

Mendadak Dewi Gabriel merasa sulit meneruskan perkataannya saat mencoba menyangkal penjelasan Izaya. Seolah apa yang baru saja Izaya katakan sedikit menyinggung.

"Dari kesimpulan yang kukatakan, logisnya dapat di pastikan kecepatanmu juga di pengaruhi oleh mata tersebut, hal itu semakin di perkuat dari keanehan yang menimpa diriku seolah memiliki kemiripan tempo waktu yang sama, dari ke tiga hal tersebut aku berkesimpulan lain. Bahwa mata itu bukan hanya sekedar menatap ke masa depan, melainkan juga dapat mempengaruhi targetnya secara langsung tanpa harus tersentuh."

"Huh?"

Untuk kedua kalinya Dewi Gabriel tidak dapat berkata-kata, namun kali ini ia cukup di kejutkan dengan semua ucapan Izaya yang seolah memiliki kebenaran.

"Terus terang saja, padahal beberapa saat lalu aku merasa kelebihanmu hanya sekedar melihat ke masa depan, namun aku tidak menyangka seiring petarungan mencapai klimaks ... Semakin kau memperlihatkan potensi kekuatan berbahaya lainnya dari sesosok Dewa, apakah aku hampir mendekati apa yang ku harapkan? ... Dewi Gabriel."

Terlihat jelas bahwa Izaya sedang memancing perasaan emosi Dewi Gabriel, hal itu terpapar di senyuman serta nada bicara yang sedikit meninggi.

"Kuberikan satu alasan yang jelas mengapa aku memintamu untuk mengeluarkan seluruh potensi yang kau sembunyikan. Tidak dari dunia manapun ... Aku sangat berkeinginan membunuh sesosok Dewa dengan otoritas mereka yang sesungguhnya, karena keberadaan merekalah yang membuatku seperti ini. Aku tidak memintamu untuk mengerti maksudku, aku hanya ingin menyampaikan peperangan terhadap kalian."

Dan untuk terakhir kalinya, Izaya menampilkan keseriusannya dalam berbicara.

"(Sialan, kenapa perkataan bajingan ini sangat-sangat membuatku kesal. Nafasku ... Terasa sesak ketika memikirkannya.)

Sesaat Dewi Gabriel bergumam dan menghindari kontak mata dengan Izaya sambil mengigit lidahnya sendiri sebagai pengekspresian rasa kekesalan.

Di satu lain sisi, Dewi Gabriel juga tidak tahu lagi bagaimana mengungkapkan rasa frustasinya di saat Izaya semakin berada satu langkah ke depan.

"(Begitu ya, sepertinya aku menyadari sesuatu saat memahami cara kerja mata wanita itu. Kuyakin serangan yang baru saja kulancarkan juga di pengaruhi oleh faktor lain, sangat tidak masuk akal bila aku melampaui kecepatan reaksi matanya tanpa sebuah rapalan. Meski aku terlambat menyadarinya, apa jangan-jangan semua hal selain tentang sihir yang membuatku bisa setara dengan Dewa di sebabkan oleh mata kiriku. Ini memang tidak mencolok karena hanya sekedar merubah warna pupil, selain itu ketika aku bergerak sekuat tenaga segala hal yang ada di hadapanku terasa jauh lebih lambat, padahal aku merasa mata ini maupun sihir tidak berkaitan sama sekali. Seolah ... Secara pasif aku mendapatkan dukungan kekuatan. Tetapi jika berpikir sama dengan konsep mata yang di miliki wanita ini kupikir itu ada benarnya.)"

Izaya memikirkan beberapa hal dalam batinnya sembari memperhatikan Dewi Gabriel yang tetap diam tak bergeming.

Lalu sebuah respon tertampil di kedua tangan yang mengepal secara bersama dengan iringan senyuman tipis, seolah Dewi Gabriel masih bertekad dan  menganggap keadaan ini bukanlah sebuah pencapaian akhir yang dapat ia lakukan.

Keyakinan diri tersebut hadir sebagai obat untuk menelan semua perasaan yang menyulut api emosi.

".... Ini pertama kalinya, aku sama sekali tidak menikmati pertarungan. Sungguh ironis dengan kenyataan yang kuhadapi sekarang, kau mungkin bisa menghela nafas sekarang dan berpikir kau telah menemukan kelemahanku. Anggap saja apa yang baru kau ketahui hampir mendekati apa yang kau inginkan sebelumnya."

"Oh?"

Perkataan Dewi Gabriel sedikit menarik perhatian Izaya, padahal beberapa waktu lalu ia terlihat seperti sedang merenung.

"Tusuklah diriku di setiap titik vitalku, paksa diriku untuk terus memuntahkan darah, buatlah aku menjadi samsak abadimu hingga keabadian tidak lagi berguna dan bila perlu hapuslah keberadaanku dengan seluruh kekuatan yang kau miliki, itu pun jika kau mampu menyamai kemampuan sistem. Ya itu semua adalah kelemahanku."

Dewi Gabriel mengatakan sesuatu yang terbilang cukup berani dengan sangat lantang ia mempertegas hal tersebut tanpa sedikit pun mempaparkan keraguan.

"Huh?"

Tentunya itu menjadi sebuah kekecewaan bagi Izaya. Dalam sudut pandang Izaya pengungkapan kelemahan sama halnya seperti membongkar aibnya sendiri, akan tetapi di sisi lain hal tersebut juga dapat menjadi alasan kuat untuk memulai sesuatu yang lebih besar.

Sebaliknya untuk ucapan Dewi Gabriel cenderung berpihak kepada kematian yang terkesan dalam lisannya, namun tidak sepenuhnya pendapat itu benar di sangka oleh Izaya.

"Walau kau memberitahuku, itu tidak mengubah kesepakatan kita maupun bagaimana caraku memperlakukannya, singkatnya itu sama sekali tidak berguna. Hal pertama yang terlintas di benaku tentang ucapanmu adalah keinginan untuk mati, bukankah kau sangat tidak rela bila mati di tangan musuh terlebih jika itu diriku."

Izaya mencoba memainkan kata untuk membuat Dewi Gabriel menyadari situasinya.

"Bang*sat lama-lama menjengkelkan juga ucapanmu. Sepertinya kau salah tanggap tentang apa yang baru saja kau dengar, namun ada benarnya bahwa aku menginginkan kematian. Selagi kau masih hidup keinginan tersebut hanya akan menjadi angan-angan, aku telah menaruh harga diriku dalam keputusanku, walau berujung kegagalan ... Aku akan mati dengan membawanya. Wanita sepertiku ini sangat sensitif bila bersangkutan dengan kehormatan, anggap saja kelemahan yang kukatakan sebelumnya adalah pelampiasan atas frustasiku."

Semua yang di katakan Dewi Gabriel seolah tidak memiliki beban dalam berbicara atau menjadikannya sebagai suatu masalah, melainkan hal tersebut justru mendatangkan perasaan hati yang legah dengan pikiran tenang.

".... Jadi? Apa kau hanya ingin melepas belenggu di hatimu?."

Tidak ada yang menarik minat Izaya dari setiap perkataan Dewi Gabriel, akan tetapi ia cukup menikmati kesenjangan ini.

"Tidak juga. Aku hanya terpikirkan bagaimana cara mengatasi kekesalanku yang tak kunjung berhenti saat melihat bajingan sepertimu. Yah lupakan hal itu, aku tidak akan mengakui bahwa kau adalah yang terkuat terlepas dari ketidak normalan yang kau miliki. Lagi pula ini masih belum di ambang batasku."

Cara bicara Dewi Gabriel yang lirih dengan menampilkan wajah datar di tengah kalimat terakhir, meyakini Izaya sebagai wujud itensitas kesungguhannya.

Selain itu memperhatikan setiap respon yang tersirat di ekspresi wajah, mulut, serta gerak tubuh, membuat dugaan Izaya semakin mendekati kebenaran, dimana Dewi Gabriel seakan menyembunyikan maksud tertentu untuk memulai suatu tindakan.

[HAND OF WORLD]

"Hm?."

Sepintas perasaan buruk menembus hati Izaya, menghadirkan firasat yang tidak mengenakan tanpa sebab.

"Apakah kau merasakan? Energi sihir yang menggelitik sesaat. Itu adalah proses bahwa dunia saat ini sedang berada di bawah naungan sihirku, untuk berjaga-jaga semisal saja kau bertindak melebihi batas. Dengan kata lain aku memiliki hak atas kontrol dunia sekarang."

Sungguh tak di sangka oleh Izaya, kenyataan Dewi Gabriel yang masih menyimpan sejumlah kejutan merupakan bukti nyata dari keberadaan yang tak terelakan.

Bahkan setelah semua itu Dewi Gabriel sama sekali belum menunjukan batasannya maupun rasa letih.

"Jadi selama perbincangan kau telah merencanakannya kah, sepertinya kau terlalu berlebihan dengan kekuatan sebesar ini. Aku sangat yakin ini bukanlah puncak dari kekuatan sejatimu, Dewa memang gila ya."

Anehnya Izaya benar-benar tak merasakan pengaruh sihir yang mengekang dunia, namun ia dapat mengetahui bahwa Dewi Gabriel berada di baliknya.

"Ada banyak keuntungan yang kudapat ketika aku menggunakan kekuatan ini, salah satunya kekuasaan secara menyeluruh. Namun ... Untuk diriku di masa sekarang hanya mampu menjadikannya sebagai pencegahan atau perisai, aku masih belum mengetahui batasanmu yang mungkin dapat melebihi nalarku, maka kubuat situasi ini untuk tidak melibatkan orang luar dan mencegah sesuatu yang tidak di inginkan. Sebagai gantinya ... Aku mulai merasakan kelelahan."

Saat itu Izaya menyadarinya, rasa letih yang sesungguhnya baru saja Dewi Gabriel rasakan, di amati dari keseluruhan tubuh yang tampak terbasahi oleh air keringat dengan nafas terengah-engah.

Dalam hal ini terlihat jelas, bahwa Dewi Gabriel sangat semberono atas kehendak yang terbilang sedikit memaksa.

"Kau terlalu naif ... Dewi Gabriel. Apakah kau ingin mengakhiri pertarungan dengan cepat? Dengan dahlil heroik. Kurasa begitu. Sekarang aku merasa kaulah tokoh utamanya yang dapat mengusirku kapan pun. Tetapi, itu takkan menghapus kemungkinan bahwa kau mungkin akan menggunakannya sebagai penyerang dan bukan sebagai pelindung atau pun ancaman bagiku, sesuai maksud dari perkataanmu yang terdengar seperti langkah terakhir."

Sejujurnya perasaan Izaya sedang menggebu-gebu saat memikirkan betapa mendebarkannya musuh yang ia hadapi saat ini.

"Tutup mulutmu ... Dasar bajingan!!."

Tanpa di duga Dewi Gabriel berteriak sekencang mungkin dengan sorot mata terbuka lebar.

"Akan kuhadirkan ritme pertarungan yang menarik dan berproses hingga batas kemampuanku!. Jadi ... Hentikanlah ocehanmu itu!."

Pertama kalinya Dewi Gabriel sangat begitu keras terhadap emosinya, tak dapat di ungkit itu adalah belenggu-belenggu kebencian yang selama ini menghantui perasaannya.

Izaya yang memahami perasaan tersebut cukup di buat terdiam oleh individualismenya.

"Andai saja ... Saat melawan Arkilah aku telah berada di fase diriku yang saat ini, maka tidak akan ada sedikit pun pengikutku yang berakhir mati terlantar mengenaskan. Mau tidak mau inilah takdirku, bertemu denganmu mungkin kesempatan terakhirku untuk merenungi seluruh penyesalanku, maka dari itu ... Membuatmu menderita adalah salah satu cara mengakhiri penderitaan ini!. Enyalah dari hidupku!."

*Sring!*

Tanpa sepatah-kata lagi Dewi Gabriel memulai aksinya dengan bergerak lebih dulu bertujuan untuk mendahului pengamatan serta insting Izaya.

"Huh?."

Hasilnya, pergerakan tersebut menghasilkan perbedaan yang sedikit mengejutkan Izaya, dimana ia merasakan tekanan begitu kuat hadir di atas kepala.

*Daammmm!!*

Dalam waktu sesingkat mungkin terjangan tersebut melesat terhantam ke bawah, dan sangat berkemungkinan kecil bila Izaya memaksa menjauh dengan mengelaknya.

Melihat struktur tanah yang terguling oleh tekanan dari udara hampir menutupi gambaran situasi yang terjadi. Namun tidak dengan orang yang menjadi dalang atas terciptanya kondisi tersebut, dimana terpapar mendetail posisi Dewi Gabriel yang tersungkur mengudara dengan tangan kanan mengepal ke depan. Seolah hantaman bertekanan tinggi tersebut juga memberikan dampak gravitasi terhadap penggunanya.

Walau keadaan tidak memperlihatkan keseluruhan, hanya sekedar menyadari keberadaan Dewi Gabriel telah menjadi bukti alasan utama penyebab terjadinya peristiwa tersebut.

"He? ... -Arkh!."

Secara mengejutkan di tengah performa yang berpihak kepadanya, sebuah terkaman sekilas muncul searah pandangan mata, mencekik leher Dewi Gabriel dengan cengkraman yang sangat kuat hingga memaksa kedua matanya melotot ke depan.

Tentunya kejutan yang tak terduga tersebut mempengaruhi reflek tubuh yang memaksanya tak berkutik, perhatian mata sesaat kabur ketika mencoba memperhatikan kembali apa yang baru saja menimpa dirinya.

Namun terdapat satu hal yang tak memudar meski kesadaran tengah di ambang batas. Yakni kemunculan segumpal aura energi sihir berwarna ungu mendominasi keadaan tersebut yang semakin memperjelas situasi.

Dimana yang tidak lain adalah keberadaan Izaya dengan menampilkan kondisi lengan kiri hancur berkeping-keping.

"Sial, kupikir kau akan melakukan tindakan yang sama. Aku harus mengorbankan lengan kiriku untuk mengecoh matamu, namun sepertinya ... Kali ini kau tidak akan lagi mengandalkan mata itu, karena pada akhirnya semua langkahmu sesuai perkiraanku. Kuyakin sekarang kau telah mencapai batasmu .... Dewi Gabriel."

Menyaksikan kenyataan menyakitkan yang tak dapat di pungkiri di depan mata sama halnya seperti hinaan bagi Dewi Gabriel.

Namun apa daya perlakuan Izaya benar-benar menyiksa kehendak yang di miliki Dewi Gabriel, sehingga menghindarinya hanya akan menghasilkan perlawanan yang sia-sia.

"Ba ... Ji ... Ngan."

Dewi Gabriel hanya bisa sedikit berkata-kata tanpa berniat melawan, karena ia mengetahui aura yang di pancarkan musuh adalah bentuk kesungguhan yang tidak akan membiarkan mangsanya terlepas dari genggaman.

Wajah Dewi Gabriel mulai memucat dengan mulut terbuka yang terus meneteskan air liur di saat Izaya semakin mencengkam.

"Apa yang ingin kau katakan ... Dewi Gabriel."

*Krek*

"A-Argh!."

Izaya semakin memperkuat cengkraman cekikan tanpa memperdulikan penderitaan yang sedang di alami Dewi Gabriel, seolah ia tidak memberikan citra belas kasihan sedikit pun yang tersorot di kedua mata.

"Kau tidak akan mati semudah itu hanya dengan di perlakukan begini, keabadian yang kau miliki adalah buktinya. Tetapi setidaknya ... Aku memiliki kesempatan melakukan apapun terhadapmu, lagi pun kau telah mencapai batas untuk melakukan tindakan yang sama. Perlu kau ingat ini bukanlah akhir yang kuharapkan sebelum kau benar-benar memenuhi kesepakatan, dan bisakah kau hentikan air liur yang terus menggelitiki tanganku."

Perlahan semakin lama Dewi Gabriel mendekati batas kesadarannya, akan tetapi ia tetap bersikeras berupaya untuk menahan kesadaran meski cengkraman Izaya semakin menyakitkan.

Bahkan di tengah situasi yang di deritainya, Dewi Gabriel terlihat sama sekali tidak mempermasalahkan rasa sakit maupun perasaan intimidasi dari lawan, seolah ia mengabaikan rasa takut begitu mudah. Namun lain halnya dengan rasa ke khawatirannya.

Dalam hal ini Dewi Gabriel memiliki alasan tersendiri untuk tidak melawan secara menggerutu karena ia sendiri telah menyadari batasannya, dari pada memilih perlawanan yang berujung kesia-siaan lebih baik bersabar dengan menunggu pemulihan energi sihir. Itulah yang ada di benaknya.

"Ayo, perlihatkan kemampuan yang sebelumnya, aku merasa itu berlawanan dengan sihir yang dapat di artikan sebagai kekuatan terkuatmu. Apakah kau masih membutuhkan alasan yang lebih kuat lagi? Kau benar-benar wanita yang menarik."

Sayangnya pada momen tersebut, Dewi Gabiel menyadari kesalahan besar yang ia buat dengan keputusannya. Dimana Izaya sama sekali tak berniat membiarkan adanya sedikit pun peluang kecil bagi mangsanya.

"Ahh, jangan mengira aku tidak mengerti apa yang sedang kau pikirkan .... Dewi Gabriel. Sangat mudah menebak seseorang bila berada di posisimu seperti ini. Kau sebenarnya ...... Khawatir dengan harga dirimu bukan? Apakah itu patut kau takuti lebih dari kematian? Air liurmu memberitahuku rasa tidak rela tersebut. Padahal masih ada cara lain yang efektif untuk memaksaku melepaskan dirimu. Ya benar, sihir yang masih aktif sampai saat ini kenapa tidak kau gunakan saja?"

Aura sihir yang menyelubungi Izaya bertambah membesar seiring tekanan yang ia berikan terhadap lawan, seolah secara perlahan menguasai raga Dewi Gabriel seutuhnya.

"Sejak kapan kau senaif ini? Menurut pengalamanku hal seperti ini biasanya terjadi ketika seseorang tidak mengharapkan apapun lagi di kehidupan mereka. Jadi tindakan ceroboh yang menyangkut nyawa akan teranggapi sebagai penghilang keraguan, namun kau sangat berbeda Dewi Gabriel. Kuakui kau lebih berwibawa dari yang kukira, makanya ... Akan kuberikan sebuah pilihan khusus untuk keselamatanmu jadi tolong dengarkan baik-baik. "

[REGENERATION]

Sesingkat mungkin tangan kiri Izaya kembali utuh ketika rapalan baru saja terucapkan.

Lalu sebuah tindakan ia perlakukan terhadap Dewi Gabriel yang hanya merespon menggeliat kesakitan dengan kondisi tersiksa.

Tanpa sebuah alasan serta keinginan, Izaya menggerakan tangan kirinya mengarah ke mulut Dewi Gabriel. Lalu ketika hal itu menyentuh bibir ia secara perlahan mengelus dengan maksud membersihkan setiap selaput lendir yang membanjiri dagunya.

"Sejujurnya ini tidak pantas kuperlakukan kepadamu yang telah memberikanku pertarungan yang menarik. Mereka yang telah berpegang kepada tekad serta keinginan sangat sulit mengubah pola pikir mereka. Satu-satunya cara yang paling masuk akal adalah dengan menghancurkan psiki mereka, aku terpaksa melakukan hal tak senonoh ini terhadap Dewa untuk membuat pertarungan cepat berakhir, kau tau ... Aku sudah bosan mendengar keluhanmu."

Cengkraman cekikan semakin bertambah erat saat ucapan terakhir terasa berat.

"Dengarkan, kau lebih memilih harga dirimu ku hancurkan di hadapanmu secara langsung atau menggunakan kekuatan dunia itu untuk melepaskan cengkramanku, semua pilihan itu berpegang di tanganmu, aku tidak akan segan memperkosamu dengan cara kasar meski otaku akan tergeser oleh kenikmatan. Sebaliknya ... Jika kau memilih menggunakan sihir itu. Kau ... Sungguh-sungguh naif dengan perkataanmu sebelumnya, atau bisa kusebut harga diri Dewamu tidak setinggi yang kupikirkan. Kuberi waktu delapan detik."

Naasnya itu menjadi terakhir kalinya Dewi Gabriel menghentikan respon gerak tubuhnya.

"Satu ... Dua .... Tiga ... Empat ... Lima ... "

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!