"Kamu tidak ke kampus?" Alvarendra bertanya sambil meletakan beberapa camilan di atas meja. "Makanlah."
"Beri aku waktu sedikit sebelum bekerja." Jenia membaringkan tubuhnya di sofa panjang mengabaikan makanan di atas meja
"Kamu demam." Alvarendra menebak karena wajah gadis itu terlihat lesu.
"Sedikit hanya pusing tadi malam hujan selepas pulang dari sini." Jenia memejamkan mata karena kantuk semakin menyerang.
"Minum obat dulu."
Jenia membuka kembali matanya menunggu Alvarendra mengambil obat untuknya. Andai tahu akan seperti ini maka gadis itu memutuskan tidak pulang tadi malam.
"Istirahatlah." Alvarendra melanjutkan menyantap camilan yang ia bawa sesekali jarinya menggeser layar benda pipih di tangan.
Teriknya siang itu tak menggangu seorang Jenia untuk tidur, sungguh tubuhnya serasa ditimpa beban berat padahal hanya rintik hujan yang menerjang sepanjang jalan. Efeknya memang sungguh terasa sakit.
...----------------...
"Lio jangan seperti ini?" Jessy masih berusaha tanpa malu mengekori kemana-mana. "Aku tahu salah tapi jangan mengabaikan ku seperti ini." mohonnya dengan sangat.
Elio memilih bungkam dan membereskan peralatannya, mata kuliah hari ini selesai pria itu berniat mampir ke kafe depan gedung fakultasnya. Karena lambungnya yang bermasalah maka hari ini Elio ingin mencoba menu lain dari banyaknya minuman yang terjual di sana selain kopi.
"Sudahlah Jes, jangan merendahkan dirimu seperti ini masih banyak pria lain yang lebih baik dan menyukaimu." Galen berkata sambil menatap kesal pada gadis itu. Lama-lama jengah pun terasa karena Jessy tidak memiliki rasa malu.
"Lihat perbuatan pelayan itu." tunjuk Jessy pada bibirnya sambil melangkah mundur tepat di hadapan Elio.
"Kamu pantas mendapatkannya." Elio melangkah kesamping mengabaikan Jessy berteriak memanggilnya.
Elio dan Galen keluar dari area kampus untuk menuju kafe di seberangnya. Dibenaknya teringat perkataan Jessy tadi. Jenia menyuruh memungutnya lalu ada luka disudut bibir Jessy. Apa mereka bertengkar? Selama ini Elio merasa percaya diri jika Jenia tergila-gila padanya selain uang, paras Elio memang tidak di pungkiri sangat tampan ruas jari-jarinya panjang dengan bahu lebar serta obsidiannya yang hitam.
"Kamu kenapa?" Galen bertanya karena sahabatnya itu larut dalam lamunan.
"Apa yang gadis itu pikirkan, apa aku seekor kucing liar perlu di pungut ?" Elio tiba-tiba kesal bagian itu. "Tidak mungkin, 'kan?"
"Mungkin apa?" Galen penasaran sementara langkah mereka di ambang pintu masuk kafe.
"Jenia tidak normal."
"Hei !"
Elio menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dia menyuruh Jessy memungut ku, apa standar pesona yang bisa menggetarkan hatinya buka sepertiku?"
Disini hampir saja rahang Galen terjatuh, bagaimana Elio bisa berpikir seperti itu. "Semua orang memiliki tipe masing-masing, mungkin kamu bukan tipenya."
"Ah benar juga, tapi aku memiliki ketampanan di atas rata-rata. Pesonaku tidak main-main." Ucapan Elio terhenti ketika netranya terpaku pada sosok yang baru dibicarakan. "Jenia." Ucapnya pelan.
Perasaan Elio tetiba sesak saat melihat gadis itu turun dari undakan tangga dengan wajah pucat. Meski pun tampilan Jenia rapi seragam khas kafe tetap saja terlihat kalau gadis itu kurang fresh. Ah, mata itu terlihat sendu.
"Jenia." Galen tersenyum tipis melihat gadis pujaan hatinya di depan mata. Dengan langkah ringan ia menghampiri. "Apa kabar?" tanya nya tanpa basa basi.
"Ada yang bisa saya bantu ?"
Tembok kasat mata sudah mulai dibangun, tatapan Jenia terasa lebih asing dari sebelumnya. Meski bibir pink itu berbalut senyuman namun ada garis yang tertarik di sana sebagai batasan. Elio semakin merasakan afeksi tidak biasa namun belum bisa menjabarkan dengan kata-kata. Seolah para aksara itu tertelan begitu saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments