Elio mengayunkan langkah ke dalam Mansion, sepulang kuliah ia langsung pulang ke rumah menunggu Papanya, Elio berniat bicara serius membahas masalah perjodohannya. Untuk yang lainnya mungkin ia bisa mengalah tapi pertunangan Elio tidak menerimanya.
“Bi, minta segelas jus strawberry.” Elio menutup intercom setelah mengucapkan permintaannya. Sekilas tatapannya jatuh pada jam di atas meja sebentar lagi papa nya pulang.
Menunggu segelas jus datang Elio memilih membersihkan tubuh. Menghabiskan waktu beberapa menit pemuda itu keluar dan segelas jus sudah ada diatas meja. Mengenakan pakaian lengkap Elio mendaratkan tubuh di atas sofa lalu meraih beberapa majalah bisnis di atas mejanya. Menghabiskan waktu disana Elio merasa bosan lalu keluar dari kamar bertepatan dengan Tuan Eglar yang baru pulang.
“Kamu sudah pulang?”
“Iya, aku mau bicara serius sama Papa setelah makan malam.” Elio memilih meneruskan langkah kebawah menunggu di meja makan.
Menunggu hampir dua puluh menit Tuan Eglar menghampiri meja makan, pria paruh baya itu terlihat segar setelah mandi. “Ayo makan.” Ucapnya mendaratkan tubuh di kursi.
Elio mengangguk dan mengambil makanannya, disini sangat terasa sekali kekurangannya dimana Nyonya Rebi yang selalu menawarkan beberapa lauk. Ayah dan anak itu makan dalam diam dan hanyut bersama kenangan yang tersimpan di memori masing-masing. Jauh di sudut ruangan beberapa orang asisten mansion memperhatikan. Mereka pun merasakan kehilangan Nyonya Rebi yang begitu baik. Sangat terasa sesuatu hilang dalam mansion megah itu.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Elio mengusap bibirnya dengan tisu. “Lima tahun lalu, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Penyerangan.”
“Aku tahu.” Elio mulai tidak bisa mengontrol emosinya. “Pelakunya ? Siapa yang menyerang kita dan kenapa ?” Lanjutnya perlahan berusaha menekan gejolak rasa di dada.
“Lio, kamu adalah keluarga papa satu-satunya yang tersisa dan kamu adalah peninggalan istri yang papa cintai. Jadi jangan melakukan hal yang membuat Papa bisa kehilanganmu, lima tahun terakhir Papa memperketat keamanan mu. Masalah penyerangan itu biar jadi urusan Papa karena masalahnya sama Papa. Kamu tidak ada kaitannya dengan masalah itu, Papa tidak mau masalah ini berkelanjutan biarkan selesai sampai di Papa saja. Kamu selesaikan kuliah dan mulai bekerja.".
Elio mengangguk dan memahami penjelasan itu. “Baiklah, aku tidak mengungkit masalah itu lagi dan menyelesaikan kuliahku tepat waktu. Tapi rencana perjodohan Papa, apa bisa dibatalkan? Aku tidak mengenal gadis itu.”
“Papa tidak bisa membatalkan pertunangan itu karena sudah membicarakan nya pada gadis yang menjadi tunanganmu.”
“Papa Egois !” Elio meninggalkan meja makan membawa amarah bersarang di dadanya.
Tuan Eglar hanya diam dan membiarkan putranya pergi dalam keadaan marah. “Ren, kemarilah.” Ucapnya menempelkan benda pipih ke telinganya.
Di Ruang kerja Tuan Eglar menatap penuh rindu bingkai foto keluarga kecilnya di atas meja. Sejenak iris mata hitam itu terkurung embun kepedihan, istri tercinta menjadi korban penyerangan waktu itu. Andai ia tahu hal buruk yang akan terjadi maka Tuan Eglar tidak beranjak dari sisinya.
"Anda perlu sesuatu ?" Reno gegas datang setelah mendapat telpon. Apartemen tidak jauh dari lokasi Mansion Tuan Eglar tidak membutuhkan waktu lama.
"Iya, siapkan pertunangan Elio dan gadis itu."
"Anda yakin, apa Ibu Fida sudah tahu?" Reno nampak keberatan.
"Besok saya menemuinya, kita tidak punya jalan lain, Ren." Tuan Eglar nampak frustasi.
"Baiklah saya akan mengurusnya, apa Tuan muda sudah setuju?"
"Setuju atau tidak dia harus menerimanya." Tegas Eglar. "Bagaimana pergerakan dia ?"
"Masih seperti lima tahun lalu dia di atas angin."
"Biarkan saja, sebentar lagi angin yang menerbangkannya itu akan menjatuhkannya juga."
"Iya." Reno hanya menjawab pendek pria yang terlihat tampan di usia empat puluh itu tidak tahu harus berkata apa lagi.
...----------------...
Jenia Quinza, selalu tersenyum melayani para pengunjung kafe. Gadis berpipi sedikit cabi itu mendapatkan shift malam.
“Kamu mengunjungi tante Fida ?” Suara seseorang mengejutkan.
“Iya, kamu mengejutkanku.” Jenia tersenyum. “Kondisinya masih sama.” Seolah paham dari tatapan pria di sampingnya meminta sambungan cerita.
“Bertahanlah sampai kamu menyelesaikan pendidikanmu maka tante Fida bisa saja jadi pasien pertamamu. Tante Fida bukan gila tapi depresi dan stres.”
“Kamu benar sepertinya Ibu betah dalam dunia yang sekarang dia rasakan. Mungkin karena keterlambatan untuk merawatnya.” Jenia menunduk penuh sesal.
“Jen, situasi yang kita alami tidak selalu berpihak baik. Saat itu aku hanya ada dua pilihan menyembuhkan mu dulu atau tante Fida. Kalian sama berharganya untukku.” Pria bernama Alvarendra itu menatap lembut.
Alvarendra, pemilik kafe tempat Jenia bekerja. Sepuluh tahun lalu, ditemukan tidak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka tidak jauh dari kawasan tempat tinggal Jenia. Ibu Fida membawanya pulang dan merawatnya dengan baik, selain itu Jenia juga memperlakukannya tak kalah baik. Sampai waktunya sembuh, Alvarendra pulang ke rumahnya. Rumah yang bukan rumah dalam arti sebenarnya, waktu itu Alvarendra hanyalah anak terbuang setelah orang tuanya berpisah. Orang-orang dewasa itu tidak ada yang berniat membawanya sehingga Alvarendra tinggal bersama sang Nenek. Wanita tua itu menjual salah satu tanahnya untuk sang cucu sebelum tutup usia. Dengan bantuan ibu Fida dan suaminya, Alvarendra membeli tanah tempat kafe nya yang saat ini berdiri. Jenia yang waktu itu memiliki ide tentang konsep kafe di gandrungi anak muda, memberitahukan pada Alvarendra.
“Bahkan sampai hari ini aku tidak tahu cara membalas kebaikanmu.”
“Sudah lupakan semuanya, setidaknya kita bersyukur karena Tuan Eglar membantu biaya perawatan tante Fida.” Alvarendra mengubah suasana.
“Membicarakan Tuan Eglar, dia tadi siang menemui ku.” Jenia mengajak pria yang lebih tua lima tahun dari nya itu duduk di sudut ruangan merasa pembicaraan mereka serius.
“Menemui mu?” Sorot mata Alvarendra terlihat khawatir.
“Iya, tuan Eglar ingin aku jadi tunangan anaknya.”
“Apa ?” Alvarendra tersentak. “Tunangan, dijodohkan maksudmu?”
“Iya, aku sudah menerimanya karena merasa hutang budi perawatan Ibu.”
“Harus seperti ini ? Kalau memang Tuan Eglar mau minta uangnya dikembalikan, aku bisa mengembalikannya, aku bisa kerja lebih keras lagi.”
“Bukan begitu, aku merasa ada baiknya dengan perjodohan ini.” Jenia menatap dalam manik mata Alvarendra.
Tanpa membantah lagi pria itu mengangguk. “Aku mengerti, aku siapkan sesuatu untukmu jika waktunya tiba." Segaris senyum devil terlihat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments