Menerima

Bukan hanya wacana namun Tuan Eglar benar-benar merealisasikannya. Disini lah pria paruh baya itu duduk satu meja bersama seorang gadis berwajah cantik dengan rambut panjang bergelombang. Tampilannya sangat anggun dan manis sangat menggambarkan jika dirinya seorang gadis lembut dan baik hati. 

Jenia Quinza menatap lembut pada sosok di depannya, gadis itu memiliki banyak ekspresi sehingga tidak membosankan. “Anda yakin ?” 

“Tentu saja, Lio tidak bisa dibiarkan seperti itu. Dia perlu memiliki tanggung jawab, kalau bisa kalian langsung saja menikah.”

“Kenapa harus saya ?” Jenia menatap lekat. “Banyak gadis lain yang lebih baik untuk bersamanya tanpa saya jelaskan anda sangat tahu latar belakang keluarga saya. Bagaimana dengan itu ?” 

Tuan Eglar menarik nafas dalam nyatanya membujuk gadis di depannya ini cukup sulit. “Karena kamu orang yang tepat, setelah kamu melihat semuanya, apa kamu tetap menolak. Ibumu—.”

“Baiklah.” Potong Jenia cepat. “Tapi saya tidak berjanji menjadi pendamping yang baik untuk tuan muda.” 

“Terimakasih, maaf jika perkataan saya sedikit kasar dengan bersama Lio bukannya kamu lebih dekat dengan apa yang kamu cari.” Rahang tuan Eglar mengeras. 

“Baiklah, maaf jika saya harus pergi sebelum masuk jam kerja, saya menjenguk ibu dulu.” 

“Iya hati-hati.” 

Jenia bangkit dari tempatnya duduk lalu menarik tasnya dan melenggang pergi. Dari kejauhan gadis itu sangat terlihat cantik bak dimandikan cahaya ilahi. Semua mata memandangnya takjub. Tanpa menunggu lama Jenia mendapatkan taksi yang akan membawanya ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. 

Lima tahun lalu…

Jenia bukan hanya satu-satunya orang yang terpukul karena kehilangan cinta pertamanya sejak terlahir ke dunia ini. Seluruh anggota tubuh gadis itu merekam semua yang terjadi, bahkan air matanya tidak mampu menetes sakit hebatnya keterkejutan itu. Jenia yang kala itu berniat menjemput sang ayah malah disuguhkan pemandangan tidak bisa dilupakan sampai kapanpun. 

“Ayah.” Gadis itu mengayunkan langkah berniat menghampiri. Namun sebelum ia bergerak jauh seseorang menahan langkahnya.

“Pulanglah, biar saya yang mengurusnya.” 

“Tapi ayah.” Jenia menatap dalam berusaha mengingat wajah orang itu. 

“Dengar, temui ibumu dan bersiaplah disana.” 

Jenia tanpa bicara lagi langsung menaiki motor maticnya dan gegas pulang kerumah. Di sepanjang jalan apa yang terjadi bagai clip yang berputar berulang di kepalanya. Jenia tahu, pria paruh baya yang selama ini menafkahi dan membesarkannya adalah ayah sambung tapi rasa sayangnya tidak dapat diukur dengan apa pun. Setiba di rumah Jenia kebingungan bagaimana caranya ia sampai di rumah berkendara dalam keadaan tidak baik-baik saja. Meskipun tempat ayahnya bekerja lumayan dekat namun tetap saja ia melewati jalan besar. 

“Jen, dimana Ayah ?”

Jantung Jenia serasa pecah dengan desiran hebat. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan kosong berdiri bak patung. Gadis itu tidak tahu cara mengekspresikan perasaannya. Menangis, ia tidak tahu caranya. Berteriak Jenia seakan tidak memiliki tenaga. Ia hanya diam dan terus diam saat ibunya selalu mendesak pertanyaan. 

“Permisi.” 

“Iya,” Wanita bernama Fida itu bergegas mendekat dan menyahut. “A-apa ini?” Tanyanya terbata dengan perasaan mulai tak karuan. “I-ini suami saya.” Tangisnya pecah meraung mendekat dan meraba tubuh suaminya yang tidak lagi bernyawa. Tidak ada kalimat yang keluar hanya tangis yang terdengar. 

Sementara Jenia tiba-tiba tumbang tidak sadarkan diri. Beberapa orang yang mengantar jenazah ayahnya segera mengangkat tubuhnya ke atas sofa. Sadar dengan kondisi keluarga Jenia, beberapa orang itu memilih tinggal dan membantu mengurus rekan kerja mereka itu. 

Berbulan lamanya ibu Fida hanya diam begitu juga Jenia mereka jarang bicara hanyut dalam luka kehilangan, sehingga mereka lupa untuk saling menguatkan. Semakin hari kondisi Bu Fida berubah.

...----------------...

“Kita sampai.” 

“Terimakasih Pak.” Jenia tersentak dari lamunannya. Gadis itu turun dari taksi namun tidak langsung masuk, manik matanya menatap tulisan besar yang terpampang di sana. Sejenak Jenia memejamkan mata dan menarik nafas sebelum melangkah, disinilah ibunya dirawat karena mengalami gangguan mental. Perlahan Jenia membuka pintu ruang rawat ibunya. “Bu, aku datang.” 

“Nona Jenia.” Seorang perawat bertugas menyahut. “Ibu, ada Nona Jenia datang.” 

Ibu Fida hanya diam menatap jauh keluar jendela. Seolah ia berada di dalam dunianya saja, tubuhnya kurus namun masih terawat berkat perawat yang bersamanya. 

“Bagaimana kondisi ibu?” Jenia melangkah duduk di atas kasur menghadap ke arah ibunya. 

“Masih seperti sebelumnya.” Jawab si perawat. “Kalau boleh saya sarankan sering-seringlah mengunjunginya.” 

“Akan saya usahakan.” Jenia menarik nafas panjang. “Bagaimana biaya perawatannya?” 

“Masih lancar, Tuan Eglar sangat dermawan.” 

Jenia hanya tersenyum mendengarnya. “Berkat dia, saya membawa ibu kesini.”.

“Baiklah, silahkan ajak ibu bicara saya mau menemui dokter.” 

Jenia mengangguk lalu menurunkan tubuhnya ke bawah bertumpu dengan kedua lututnya. “Ibu, ini aku, jangan biarkan aku sendirian. Aku kesepian dan sendiri di rumah.” Gadis itu berhenti sejenak untuk melihat reaksi sang ibu. Sayang hanya diam tanpa berkedip. “Ibu, tuan Eglar menemuiku dan minta sesuatu yang besar. Dia ingin aku bertunangan dengan putranya, bagaimana menurut ibu?” Lanjutnya memperhatikan reaksi ibu Fida lagi. “Aku menerimanya dan anggap saja sebagai balas budiku karena dia membiayai perawatan ibu.” 

...----------------...

Di Kampus Elio dan Galen baru saja menyelesaikan kelasnya, mereka melangkah ke arah gerbang berniat untuk ke cafe depan gerbang kampus menunggu kelas selanjutnya. Elio menarik satu kursi dan mendaratkan tubuhnya disana. Cafe itu tidak sepi tidak juga ramai karena cafe yang didesain untuk para warga kampus. 

Galen menyelesaikan pesanan lalu menarik kursi berhadapan dengan Elio. “Bagaimana, sudah bicara sama Om Eglar?” 

“Belum.” 

“Kenapa.” Galen melepas jaket miliknya dan menyampirkan ke kursi.

“Sepertinya aku menggunakan usul Jessy kalau tahu aku memiliki kekasih pasti papa akan membatalkannya.” 

Galen menatap datar. “Kamu tahu Jessy itu siapa ? Bersamanya kamu hanya memperburuk keadaan.” 

“Apa salahnya mencoba.” 

Galen menarik nafas panjang. “Kamu tahu apa yang baik dan buruk untuk diri kamu sendiri.” Pria itu memutuskan diam sampai seorang waitress datang mengantar pesanan. “Dimana Jenia?” 

“Ah, Jenia belum masuk shift nya masih beberapa jam lagi.” Gadis berambut pendek sebahu itu menjawab. 

“Begitu, terimakasih.” Galen tersenyum tipis.

“Kamu kenal ?” Elio bertanya sambil menyesap minumannya. 

“Tidak kenal tapi tahu, Jenia anak fakultas psikologi. Gedung mereka jauh dari kita aku sering melihatnya disini karena dia bekerja disini. Kamu tidak memperhatikan sekelilingmu selama ini karena stuck di tempat.” Ucap Galen panjang lebar. 

Elio hanya diam apa yang dikatakan Galen ada benarnya. Dia hanya stuck di tempat. “Bagaimana kalau misalkan Papa tetap dengan rencananya?” 

“Terima saja siapa tahu itu yang terbaik.” 

Elio diam melanjutkan minum. “Sampai hari ini aku belum tahu siapa yang menyerang Mansion malam itu, para pegawai yang ada saat itu tidak ada satupun bertahan. Cctv langsung diambil Om Reno.” 

“Kamu tidak bertanya sama Om Reno dan juga Papamu.” 

“Sudah, Papa hanya menjawab itu jadi urusannya.” Elio menyandarkan tubuhnya.

“Itu artinya, Om Eglar tidak mau kamu kenapa-kenapa.” 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!