Mafia 18

"Klan mafia terbesar di negeri ini. Tetapi, kamu tenang saja. Takkan ku biarkan siapapun dari mereka, menyentuhmu. Sekali pun itu seujung kuku." Max mengatakan kalimat barusan dengan tegas seraya menatap Arumi dengan pandangan penuh arti.

"Ya Allah. Arumi terima pasangan hidup dari-Mu ini. Walaupun, yang Kau berikan adalah seorang mafia? Tolong, selamatkanlah kami. Bimbing Arumi agar dapat membantunya kembali ke jalan yang benar. Jalan yang Engkau ridhoi."

"Kamu bicara apa, Rum?" tegur Max, pada Arumi yang spontan menengadahkan tangannya dengan kedua mata terpejam.

Arumi sontak membuka matanya, sehingga tatapan mereka berdua bertabrakan, menelaah sebuah rasa yang telah mengikat hati mereka tanpa disadari.

"Arum sedang berdoa kepada, Allah, Mas." Arumi menjawab dengan jujur apa yang di lakukannya tadi.

"Siapa, dia? Saudaramu?" alis Max saling bertaut. Dia berpikir Arumi sedang meminta tolong pada seseorang.

"Dialah, Tuhan kita, Mas."

Mendengar jawaban dari, Arumi. Max memilih kembali merebahkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Max, tidak pernah percaya adanya Tuhan.

*

*

Selama beberapa hari ini, Arumi menemani suaminya. Segala kebutuhan, Max tentu dia yang mengurusnya. Mulai dari makan sampai ketika suaminya itu harus ke kamar mandi serta membersihkan diri.

Sengaja, Arumi melakukan itu. Ia memutuskan untuk mengurus semua kebutuhan, Max karena mereka berdua harus mulai membangun bounding serta chemistry mulai dari sekarang.

Arumi tidak mau jika hubungan mereka hanya berjalan di tempat. Bagaimana pun pernikahan itu bermaksud bukan hanya menyatukan dua hati tetapi juga dua raga dan pikiran.

Sehingga, untuk dapat menjalani pernikahan yang sesungguhnya, mereka berdua, Max dan Arumi harus membangun kedekatan perlahan-lahan.

Seperti saat ini, Arumi sudah mulai terbiasa dan nyaman ketika Max melihatnya tanpa niqob dan juga khimar. Gadis itu juga mulai terbiasa ketika harus menyentuh Max, pada saat mengurusnya.

"Rum, bisakah kau panggilkan tenaga kesehatan agar mereka mencabut selang menyusahkan ini!" titah Max, pada Arumi yang saat ini tengah menyuapinya makan.

Arumi mengangguk dengan senyum, lalu tak lama kemudian seorang perawat wanita datang, dan mulai melepas selang yang menancap di punggung tangan, Max.

"Maaf, kateternya, Ketua," kata perawat itu dengan wajah pias. Karena sontak, Max menatapnya dengan tajam.

"Biar, Dia yang melepaskannya!" tunjuk Max ke arah Arumi.

"Hah, a–aku--" Arumi tidak bisa meneruskan ucapannya. Mau tak mau ya dirinya harus mau dan bisa. Karena, Max adalah suaminya.

Pria itu sebenarnya tak mau siapapun melihat anggota tubuhnya yang tersembunyi. Karena ini adalah hal memalukan di mana ketika orang lain melihat dan melakukan sesuatu terhadap pusaka keramatnya.

Akan tetapi, dia harus membiarkan Arumi melakukannya. Karena wanita itu bukan orang lain lagi, melainkan istrinya. Max, meringis melihat Arumi menahan nafasnya. Dia tak dapat menutupi debaran dalam dadanya yang berdegup dengan kencang saat ini.

Setelah selesai Arumi segera meminta ijin pada suaminya, untuk pergi ke toilet. Max, tentu saja membiarkan Arumi pergi, karena saat ini dirinya tengah di landa malu setengah mati. Dibalik pintu kamar mandi, Arumi menyeka keringat yang bercucuran di dahinya sambil menetralkan deru napasnya.

Selang berapa lama kemudian.

Terdengar suara pintu yang di buka.

Arumi keluar dengan wajah yang lebih segar ketimbang tadi.

Aroma harum shampo menguar dari tubuhnya, gamis sederhana yang melekat di tubuhnya semakin membuatnya terlihat mempesona di mata, Max.

Max, seketika terpesona dengan wajah basah, Arumi. Rona alami tanpa polesan make up itu membuatnya terhipnotis sesaat.

"Apa ada yang datang lagi kemari?" tanyanya, tanpa sadar bahwa pria di hadapannya tengah memindai wajahnya dengan lekat.

"Kenapa? Kamu hanya ingin berdua dengan ku, hem?" kulik, Max. Masih memandang Arumi dengan intens.

"Bukan begitu. Kalau sekiranya tidak ada yang masuk, Arum mau buka Khimar. Soalnya rambutku masih basah," jelas Arumi, dengan rona merah muda di kedua pipinya. Dia pun melepaskan kerudungnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai.

Sekujur badannya lengket karena dua hari tidak mandi. Maka itu, setelah anak buah Max yang bernama Vierra itu memberikannya dua paper bag yang berisikan pakaian serta kerudung baru, maka Arumi langsung membersihkan tubuh serta mengganti bajunya.

"Siapapun yang akan masuk, pasti akan mengetuk pintu lebih dulu. Kamu tenang saja," kata Max. Terlihat pria itu duduk dengan tidak nyaman.

"Arum, bantu membersihkan tubuh, Mas ya?" tanyanya sumringah, sekejap kemudian ia membulatkan matanya dan menggeleng cepat.

"Em. Ma-maksud, Arumi bukan seperti itu. Ini, tidaklah seperti yang, Mas pikirkan. Aku hanya--" mendadak canggung setelah ia merasa salah bicara.

"Memangnya kamu tau apa yang ku pikirkan?" Max mendekatkan wajahnya dengan tatapan yang tak biasa pada Arumi. Hingga, wanita yang merupakan istrinya itu semakin kikuk.

"Arumi pikir, Mas merasa gatal karena itu, aku bermaksud membantumu membersihkan badan," jawab Arumi tergagap.

Tiba-tiba, Max tertawa kecil. Pria itu sungguh tidak tahan dengan kelakuan polos istrinya.

Arumi lantas menatap wajah rupawan di hadapannya ini dengan kening berkerut.

"Kenapa tertawa, Mas? Memangnya apa yang lucu?" tanya Arumi heran. Apalagi, baru kali ini dirinya melihat sisi lain dari suaminya. Karena ketika, Max tertawa aura suram pada pria itu seketika sirna tak berbekas.

"Kamu itu lucu. Sendirinya menawarkan tapi kamu juga yang menolak secara sepihak." Max meniup wajah Arumi yang melongo hingga mata indah berbulu lentik itu mengedip beberapa kali.

Tiada satu pun bagian wajah yang tercela dan tak menarik dari, istrinya. Kulit wajah yang halus karena terawat, meskipun tak putih. Kulit kuning langsat yang cerah dan tidak kusam lebih enak di lihat dan tidak membosankan.

"Lagipula, aku sama sekali tidak keberatan, bila kamu mengambil keuntungan dariku," ucap Max pelan, karena wajah mereka sangatlah dekat saat ini.

"Ekhm. Permisi!" Seorang juru rawat wanita dan pria masuk tanpa mengetuk pintu. Arumi buru2 menyambar Khimar dan niqobnya. Seketika raut muka mereka menampilkan ekspresi ketakutan. Karena mereka merasa telah hadir di waktu yang tidak tepat. Max, sontak memasang muka besinya, dengan aura dingin yang membuat siapapun menggigil kala menatapnya.

Sementara, Arumi tersenyum kikuk dan sedikit menjauh. Memberi ruang bagi para perawat itu melakukan tugasnya. Bagaimana pun, Max adalah ketua mereka yang harus diistimewakan dengan fasilitas serba mewah, layaknya hotel bintang lima.

"Lain kali kalau masuk ketuk pintu dulu! Atau ku lepas tangan kalian dari badan!" ancam Max. Sampai kedua perawat itu gemetaran

"Maaf, Ketua. Kami hanya ingin membantu anda untuk membersihkan diri." ucap si juru rawat pria, dengan suara bergetar.

"Tidak perlu! Biarkan itu menjadi tugas istriku!" sentak Max membuat ketiga orang di hadapannya termasuk Arumi, terkesiap kaget.

"Maaf, Ketua. Ampunilah kami yang tidak tau. Biarkan kami menyiapkan alat untuk bersih-bersih saja." Kedua perawat itu menunduk takut karena merasa telah lancang.

Terpopuler

Comments

Nur Lizza

Nur Lizza

lanjut

2024-04-22

2

Rifa Endro

Rifa Endro

mulai posesifnya

2024-04-22

1

Kartika oshin

Kartika oshin

biarkan istrinya yang membersihkan.. maklum max sdh terpesona dengan istrinya

2024-03-06

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!