Mafia 6.

Max, mencium bau yang tidak enak pada tubuhnya, karena pakaiannya penuh keringat dan juga darah. "Sepertinya aku butuh mandi dan pakaian ganti," gumam Max setelah mengendus ketiaknya. Ia bisa tenang sebentar karena musuhnya takkan mungkin mengikutinya sampai ke sini.

"Saya mau mandi!" Suara bariton, Max mengagetkan Arumi dan Mustafa. Sehingga kedua orang itu berbalik dan melihat ke arah Max yang berdiri dengan angkuh. Arumi langsung berlari ke arah lemari.

"Ini, pakaian gantinya." Arumi menyodorkan kemeja milik mendiang ayahnya yang memang cukup besar dan sesuai dengan postur tubuh, Max yang gagah.

Max meraih benda yang sudah agak kusam warnanya itu sambil mengendusnya. "Bau apa ini?" Max melempar pakaian itu ke wajah Arumi.

"Ini, cuma bau kamper," ucap Arumi dengan kening berkerut bingung.

"Belikan aku baju baru. Pinjam uangmu," kata Max.

"Arumi baru gajian besok. Sekarang tidak pegang uang selain untuk makan," jawab Arumi, masih pelan. Memang dasar wanita lemah lembut, bicara pun tidak pernah kencang. Tidak seperti Max yang selalu berteriak.

Mendengar ucapan Arumi, Max pun mendengus kasar. Namun pria itu langsung tersadar, bahwa wanita yang ia nikahi itu hanyalah orang miskin. "Kenapa aku harus terjebak di sini. Semua karena ulah mereka!"

Melihat pria di hadapannya menggerutu dengan emosi. Arumi memutuskan untuk segera pergi dari depan, Max. "Arumi, permisi dulu mau buat sarapan ke dapur," ucapnya seraya berlalu dengan cepat. Max, melangkah ke dalam kamar mandi dan dengan cepat membersihkan tubuhnya. Sambil menggerutu, Max mengenakan pakaian jadul dengan bau kamper itu.

Di dapur, Arumi terlihat mengusap keringat yang membasahi kerudung serta niqob-nya. Padahal, kalau tidak ada pria lain di rumahnya, Arumi hanya akan mengenakan daster panjang saja.

"Gerah," gumamnya pelan.

Mustafa yang mau ke belakang, tersenyum mendengar ucapan pelan keponakannya itu. "Nduk, kenapa kamu tidak membuka niqobmu pada saat masak? Apa kamu ndak gerah?" tanya Mustafa heran. Pria paruh baya itu membawa pakan ayam di tangannya.

"Kan, di rumah ini ada pria asing, Pakde," jawab Arumi, sambil mengaduk nasi beserta campuran bumbu di atas penggorengan.

"Tapi, pemuda itu kan sudah sah menjadi suamimu. Dia, berhak melihat wajah dan bahkan juga seluruh tubuhmu," kata Mustafa lagi.

Arumi mematikan kompor, lalu menoleh ke arah sang paman dan menatapnya. "Arum risih, Pakde Arumi kan gak kenal dia. Jadi, bagaimana mungkin kalau kita--" Arumi memotong ucapannya kemudian menghela napas dalam.

"Iya, Nduk. Pakde paham. Tapi, jangan lama-lama ya pembiasaan dirinya. Jangan sampai kamu berdosa nanti," pesan Mustafa dengan senyum hangatnya, kemudian pria itu berlalu ke belakang untuk memberi makan ayam-ayam peliharaannya.

"Setidaknya, untuk saat ini. Aku lebih baik begini," gumam Arumi pelan seraya mengusap peluh yang membasahi wajahnya itu.

Arumi yang sedang menata nasi goreng ke atas piring di kagetkan akan kedatangan, Max yang tiba-tiba.

"Aku kan, sudah menjadi suamimu. Kenapa kau masih juga menutupi wajahmu dengan selembar kain ini?" tanya Max, seraya mengulurkan tangannya untuk menyingkap niqob Arumi. Perbuatannya itu, sontak membuat Arumi memundurkan tubuhnya.

"Kamu jangan memaksa!" tolak Arumi.

"Seburuk apa sih wajah kamu, sampai tidak boleh di lihat orang lain? Aku bisa mengajakmu ke dokter kecantikan di kota. Aku punya kenalan dokter spesialis bedah plastik," kata Max, dengan ekspresi serius.

Arumi, tersenyum di balik niqobnya. Karena, Max benar-benar mengira jika wajahnya buruk rupa.

"Ku pikir, kamu akan menerima pernikahan ini dan bermaksud akan menjalankannya seperti orang normal lainnya. Jika memang kamu berpikir begitu, berarti kita sepaham. Anggap saja pernikahan ini, semacam pernikahan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Sehingga, dalam waktu yang telah di sepakati nanti, kita akan berpisah dan menjalani kembali hidup masing-masing. Itu kan mau kamu?" cecar Max.

Arumi diam tidak menjawab. Manik matanya bergerak-gerak gusar. Apalagi, wajah Max belum juga bergeser dari hadapannya.

"Bi–bisa munduran gak?"

Ucapan Arumi pun menyadarkan Max atas apa yang di lakukannya. Hingga akhirnya, Max menjauhkan dirinya.

"Menikah dengan perjanjian bahwa akan berpisah suatu saat nanti, adalah perbuatan yang telah menistakan pernikahan itu sendiri. Allah membenci hambanya yang mempermainkan pernikahan. Apalagi, jika mengatur waktu dan menentukan perpisahan di saat mereka baru saja mengucap ikrar di hadapan-NYA, yang mana langsung di saksikan oleh para malaikat dari langit," jelas Arumi, dengan kedua mata yang sendu karena menahan sedih.

Arumi pun memberanikan hati dan mentalnya untuk menatap intens kearah pria asing yang kini sah menjadi suaminya itu.

"Pernikahan, nyatanya adalah hal yang paling sakral dan suci. Di mana ada dua insan berdua berjanji langsung di hadapan Allah dengan disaksikan para manusia dan mahluk gaib, yaitu para malaikat Allah. Mungkin, perjumpaan kita merupakan takdir yang Allah berikan dalam jalan kehidupan kita. Arumi, hanya minta waktu saja untuk lebih dulu saling mengenal satu sama lain, sebelum kita melakukan ritual apa yang suami dan istri seharusnya lakukan," jelas, Arumi selengkapnya.

Tentu saja apa yang di utarakannya barusan itu mampu membulatkan kedua mata Max kembali. "Apa katanya? Takdir?" batinnya tak mengerti.

"Ku pikir, kamu tidak menerima pernikahan ini. Lalu, menginginkan perpisahan dalam waktu dekat? Karena jika iya, aku pasti akan mengabulkannya segera" ucap Max dengan tatapan penuh tanya ke arah Arumi. Wanita di hadapannya ini sungguh berpikir di luar dugaannya.

"Tidak, kita tidak boleh seperti itu. Kita harus senantiasa berprasangka baik kepada setiap rencana Allah," tegas Arumi.

"Rencana apa maksudnya! Semua ini kan hanya kesalahpahaman. Aku bahkan tidak mengenal siapa kamu sebelumnya dan bagaimana bentuk rupa wajah kamu. Bagaimana kalau di balik kain itu kamu menyembunyikan sesuatu," tukas Max. Membantah segala pemikiran Arumi.

Mendengar tuduhan yang mengarah kepadanya, Arumi hanya bisa mengucapkan istighfar sambil memegangi dada kirinya. Terserah saja pria itu mau berpikiran apa tentangnya.

"Sebaiknya kamu sarapan lalu setelah itu kembali istirahat. Lukamu pasti masih sakit. ucap Arumi, tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. Tuduhan Max barusan cukup melukai hatinya.

Arumi mencoba mengabaikan apa yang di sangka orang lain akan dirinya. Biarlah orang-orang itu beranggapan sesuai apa yang mereka lihat dan pikirkan dengan akal yang pendek.

Nyatanya, Arumi telah berkomitmen pada Tuhannya. Untuk menutup aurat secara sempurna karena kewajiban yang di perintahkan dalam agamanya.

Max, tidak berkeinginan menjawab ucapan, Arumi. Ia berbalik dan enggan mengkonsumsi makanan aneh yang ada di atas piring. Berbagai jenis wanita cantik dengan berbagai tawaran dan niat mereka telah ia tolak mentah-mentah. Max sangat menjauhi komitmen seumur hidup itu. Akan tetapi, Arumi yang notabenenya adalah wanita asing, hanya dalam waktu singkat telah mengubah statusnya. Pria itu masih memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Bagaimana cara dia menjelaskan ini semua pada anggotanya yang lain.

Bahkan, ponselnya kini tak berguna.

Tidak mungkin ia terjebak selamanya dalam pernikahan yang sama sekali tidak ia harapkan ini.

Terpopuler

Comments

PANJUL MAN

PANJUL MAN

nantinya juga bucin sama arumi

2024-04-19

1

Nur Lizza

Nur Lizza

lanj6uh yg sabar y rumi

2024-04-22

0

Kartika oshin

Kartika oshin

pelan" ya memahami pasangan mu nanti klu kalian benar" jatuh cinta akan sulit untuk berpisah

2024-03-05

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!