Mafia 11

Arumi mengajar dengan pikiran yang bercabang. Memikirkan keadaan sang paman di rumah, dan juga kemana mereka akan pergi besok pagi. Pasalnya, uang yang di milikinya pas-pasan. Menumpang pun, dia tak punya sanak saudara. Jika mengontrak, maka biaya sehari-hari nanti darimana. Kepala Arumi seketika sakit kala memikirkan masalah yang menimpa jalan hidupnya.

Tanpa Max ketahui. Arumi tenyata telah memikirkan segala kebutuhannya. Arumi tidak bisa membenci pria yang tiba-tiba muncul dalam kehidupannya. Ia tak bisa melempar kejadian buruk yang menimpanya pada sosok pria yang menurutnya sangat butuh bimbingan. Max, nampaknya sudah cukup lama terombang-ambing karena sesuatu hal yang terjadi dalam hidupnya.

Sepulang mengajar, Arumi mampir ke pasar.

Arumi berniat membeli pakaian ganti untuk suaminya. Kebetulan hari ini dia menerima upah mengajar madrasah selama satu bulan. Walau pun tidak besar nilainya. Arumi tetap bersyukur. Karena ia niat mengajar pun bukan karena gaji besar. Tapi karena ingin meluaskan serta menyiarkan ilmu yang dimilikinya.

Kedatangan Arumi ke toko pakaian tersebut langsung di sambut oleh pramuniaga.

"Saya butuh pakaian lengkap laki-laki dewasa beserta dalamannya," jelas Arumi lugas. Ia terbiasa membeli di sini, tapi itu setahun sekali. Hanya ketika tiba bulan Ramadhan maka Arumi akan membeli satu set perlengkapan ibadah untuk sang paman.

Seandainya pramuniaga itu tau kalau pakaian yang Arumi cari untuk suaminya. Ah, mendadak kedua pipi Arumi bersemu merah muda. Untung dia pakai niqob, sehingga tak ada yang melihatnya bukan.

Arumi pun menjelaskan kalau pakaian yang dia butuhkan untuk perawakan yang tinggi besar. Max memang kebulean dengan postur tinggi menjulang. Bahkan, Arumi hanya sebatas dadanya saja.

"Wah, kalau begitu bagian anunya pasti besar juga, Kak. Jadi, Kakaknya beli yang model ini saja," saran pramuniaga itu. Dimana ucapannya membuat Arumi seketika traveling kala mendengar kata anu dan besar.

"Kalau itu saya gak tau ah, Mbak," jawab Arumi gugup. Dia salah tingkah sendiri. Sampai harus berkali-kali menghela napas panjang.

Pramuniaga itu hanya bisa tersenyum lalu tertawa diam-diam. Sambil menyiapkan pesanan yang pelanggannya ini butuhkan.

Arumi setidaknya harus merelakan sebagian gajinya tersedot barang keperluan Max. Suami dadakannya itu. Pria asing yang kini jadi tanggung jawabnya juga.

"Ini, Kak. Barangnya. Semoga jadi langganan ya," ucap pramuniaga tersebut dengan senyum sumringah.

Arumi keluar dari toko itu dengan napas lega. Setidaknya untuk hari-hari selanjutnya ia takkan lagi melihat Daniel mengenakan kemeja yang matanya bau kamper itu.

"Assalamualaikum." Arumi mengucapkan salam ketika sampai di depan rumahnya. Ia tau, ketika siang begini pamannya pasti sedang di kebun yang berada di samping musholla. Pria usia senja itu biasa mencari daun pisang atau daun singkong untuk di jual nanti sore selepas ashar.

Tak ada yang menjawab salamnya. Walaupun di hadapannya nampak sosok pria gagah dengan tampangnya yang tanpa ekspresi.

"Kalau ada yang memberi salam, lalu kamu mendengarnya. Maka, kamu wajib menjawab," kata Arumi dengan nada sopan dan lembut. Seperti pada saat ia mengajarkan anak didiknya di madrasah.

"Gimana jawabnya," tanya Max. Sambil memperhatikan wajah Arumi yang bahkan terlihat mempesona meskipun hanya terlihat matanya saja.

"Jawabnya gini, wa'alaikumussalam. Kalau mau lengkapnya di tambah warohmatullahi wabarokatuh, gitu," jelas Arumi.

"Tidak jelas. Coba di buka dulu itu kainnya," tunjuk Max, modus. Bilang aja mau liat muka Arumi kan, kan, kan.

Arumi mengernyitkan keningnya heran. Max ini tulikah atau apa? Pikirnya. Perasaan, pas di madrasah anak didiknya selalu dapat menangkap penjelasannya dengan sempurna.

"Cepat buka. Biar suara kamu itu jelas. Katanya aku harus jawab salam," desak Max. Mau tak mau, Arumi pun menurut. Bagaimana pun pria di hadapannya ini adalah suaminya. Max bahkan berhak melakukan yang lebih dari sekedar melihat wajahnya.

"Cantik."

"Hah?"

Max langsung merapatkan bibirnya.Tanpa sadar pujian itu meluncur begitu saja. Arumi yang terlanjur mendengar langsung memalingkan wajahnya karena malu.

"Itu,apa yang kamu bawa?" tunjuk Max pada paper bag yang di tenteng Arumi.

"Oh iya, ini buat kamu, Mas," kata Arumi seraya menyerahkan tas plastik khas toko pakaian yang berukuran cukup besar.

"Untukku?" Max justru mengerutkan keningnya bingung. Padahal tadi bertanya.

"Ini, pakaian ganti untuk, Mas. Biar gak mabuk kamper," kata Arumi seraya berkelakar. Arumi mencoba untuk menjalani takdir hidupnya ini dengan santai. Walaupun badai rintangan menghampirinya.

"Dia, beliin aku pakaian ganti. Bahkan, ada sarang kakatua juga!" batin Max dengan ekspresi terkejut. Seketika Max merasakan aliran panas melewati kedua pipinya. Bagaimana Arumi bisa memikirkan ini semua tentangnya. Apakah selama ini Arumi tau kalau dirinya tidak memakai sarang kakatua? Ah, segala macam pertanyaan berkelebat di dalam kepala, Max.

"Iya. Di coba saja. Kalau kebesaran atau kesempitan nanti bisa Arumi tukar," titahnya.

"Mas itu apa?" Kening Max mengernyit heran, atas panggilan yang Arumi sematkan padanya.

"Panggilan kehormatan untuk laki-laki yang lebih tua menurut suku, Arumi," jelas wanita bercadar ini lagi.

"Oh, baiklah. Terserah kamu."Max pun langsung berlalu masuk kamar untuk mengganti kemeja dan kain sarung yang ia pakai. Tanpa Arumi tau, jika kakatuanya tadi bahkan bergelantungan karena tak punya sarang.

"Akhirnya aku terbebas dari rasa gatal dan juga bau kamper itu. Selain cantik, gadis itu juga baik. Kenapa dia menutupi wajahnya ya? Padahal dia bahkan pantas untuk jadi finalis ratu kecantikan. Apalagi posturnya juga cukup untuk ukuran perempuan. Kenapa juga, dia harus menutupi kecantikannya, di saat para wanita di luar sana mengobral tubuh mereka?" gumam Max, dengan selusin pertanyaan yang ingin sekali dia tanyakan pada istri dadakannya itu.

Setelah berganti pakaian, Max pun keluar dengan raut wajah senang. Ia melihat saat ini Arumi sedang menata makanan di atas meja. Sepertinya, Arumi membeli makanan di luar. Karena masakan tadi pagi sudah habis.

"Arumi," panggil Max pelan. Arumi pun sontak menoleh ke arah suara yang memanggil namanya.

"Alhamdulillah. Ternyata pas," kata Arumi Seraya memegangi dadanya yang tiba-tiba saja berdegup kencang. Bagaimana tidak. Jika saat ini, Max terlihat menawan dengan jenis dan model pakaian yang tadi Arumi beli.

"Terima kasih," ucap Max dengan senyum tipis. Max secara alami ingin melakukan itu. Karena Arumi begitu baik padanya. Padahal, kedatangannya sudah membuat hidup gadis itu susah.

"Sama-sama. Tidak perlu sungkan karena ini semua adalah tanggung jawab, Arumi sebagai istri," kata Arumi merendah.

Deg!

Ucapan Arumi barusan seakan menyentil perasaan Max yang terdalam. Bagaimana dengan tanggung jawabnya sebagai suami. Bahkan saat ini Arumi terancam tidak memiliki tempat tinggal lagi.

"Soal kejadian tadi pagi. Apakah yang sebenarnya terjadi?" kulik Max penasaran. Ia heran karena Arumi sama sekali tidak menyinggung soal pengusiran warga kepadanya.

"Sebaiknya, kamu makan saja dulu, Mas. Arumi mau bersih-bersih. Pakde biasa pulang nanti sebelum magrib. Makanannya sudah aku pisah," kata Arumi. Mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia ingin membahasnya nanti saja setelah sang paman di rumah.

"Baiklah, aku makan. Sekali lagi, terima kasih," ucap Max. Arumi hanya mengangguk kemudian tersenyum dengan sangat manis.

Deg!

Tanpa Arumi sadari, dia telah berhasil membuat seorang Max, kelimpungan karena senyumannya itu.

Terpopuler

Comments

Rifa Endro

Rifa Endro

awas hati2 ntar jatuh, cinta ...

2024-04-22

1

Nur Lizza

Nur Lizza

lanjut

2024-04-22

1

Kartika oshin

Kartika oshin

cie" yang mulai jatuh cinta

2024-03-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!