Mafia 16

Max sempat membelalakkan kedua matanya pada saat Arumi membuka semua khimarnya. Istrinya itu, menggunakan kain kerudungnya untuk membalut luka di lengan dan kaki, Anne. Arumi hanya menyisakan ciput yang menyembunyikan rambutnya. Sedangkan lehernya yang putih dan jenjang kini terlihat.

Anne bahkan tidak bisa berkata-kata. Ada wanita asing yang telah berkorban demi dirinya. Anne semakin penasaran siapa perempuan cantik ini sebenarnya. Sayang, wajah dari Arumi masih tertutup cadarnya.

Max, menelan ludahnya. Tatapannya langsung beralih ke arah Dave yang tertegun.

"Apa yang kau lihat, Dave!" bentak Max. Seketika itu juga, Dave terperanjat dan langsung berbalik membelakangi.

"Ampun, ketua!" ucap Dave dengan tubuh yang merinding seketika. Tatapan dari, Max sungguh menyeramkan barusan.

"Cepat lepaskan jas mu lalu lemparkan kesini!" titah Max pada Dave. Tanpa bicara, Dave segera melaksanakan titah Max. Dave mundur lalu menyerahkan jas yang telah ia lepas dari tubuh kekarnya tanpa melihat ke belakang.

Max, segera menutupi kepala Arumi dengan jas tersebut. Kemudian melingkarkan di lehernya. Ia takkan membiarkan siapapun melihat kecantikan kulit Arumi yang baru ia lihat itu.

"Maaf, Mas. Arumi melakukan ini karena darurat. Arumi khawatir jika tidak di bebat maka kalian berdua bisa kehabisan darah. Sebaiknya, kita segera kerumah sakit," jelas Arumi dengan suara bergetar. Jujur, hatinya masih gamang atas apa yang baru saja terjadi. Perang yanga entah karena apa sehingga ia terlibat di dalamnya.

Tak lama, anak buah Max yang selamat tiba. Mereka, membantu Max dan Arumi masuk ke dalam Limousine. Sedangkan, Dave membawa Anne ke dalam mobil black hawk yang lain. Atas titah dari, Max sehingga, Dave kini berada di sisi Anne dalam keadaan memutar kemudi.

Dave sesekali menoleh ke arah Anne untuk memastikan keadaan wanita itu apakah masih sadar atau tidak. "Hei, An! Tetaplah sadar! Jangan menyusahkanku!" seru Dave. Sehingga Anne yang hampir saja memejamkan matanya kembali terjaga.

"Sial kau, Dave. Aku ini lelah. Biarkan aku tidur sebentar!" umpat Anne.

"Jangan harap aku akan membiarkan kau tidur saat ini!" pekik Dave lagi. Dalam hatinya pria ini sebenarnya sangat khawatir. Anne harus selalu dalam keadaan sadar. "Hei, kau dengar aku tidak, perempuan cerewet!"

"Diamlah kau, Dave!"

Plukk!

Dengan sisa tenaganya, Anne memukul bahu Dave menggunakan kotak tissue. Bukannya marah seperti biasanya, Dave justru menghela napas lega seraya tersenyum tipis.

Max bukannya ke mansion tapi ke markas, black hawk. Karena di tempat ini, Max memiliki lantai khusus tempat pengobatan serta laboratorium. Max segera dibawa menggunakan kursi roda begitu juga dengan Anne. Mereka berdua dan juga beberapa anak buah lainnya yang terluka segera di tangani.

Arumi hanya bisa berdiri di pojokan memperhatikan orang-orang yang bergerak cepat dan sangat sibuk. Sekilas ia berpikir kalau suaminya adalah orang penting.

Seorang wanita mendekati Arumi dan mengajaknya ke sebuah ruangan untuk di periksa. "Saya baik-baik saja. Tapi, Max dan wanita itu--"

"Mereka juga akan baik-baik saja. Hal seperti ini pernah beberapa kali terjadi," kata perempuan yang merupakan salah satu anggota black hawk itu.

Arumi hanya diam mencerna penjelasan dari wanita yang memeriksa keadaannya ini. Ratusan pernyataan kini bersarang di dalam kepalanya. Hingga berbagai kemungkinan membuatnya seketika kembali ketakutan.

"Lailaha Illa anta. Subhanaka inni kuntumminadzolimin. Laahawla walakuwwata illabillah. Hasbunallah wani'mal wakil, ni'mal maula wani'mannasir." Arumi, hanya bisa mengucapkan berbagai dzikir, yang di ucapkan bibirnya secara perlahan. Tenaganya seperti tersedot habis.

Perempuan yang bernama Vierra, langsung memberikan teh manis panas untuk Arumi. Karena ia melihat wajah Arumi saat ini sangat pucat. Walaupun, pikirannya saat ini timbul berbagai pertanyaan. Tentang siapa wanita asing dengan pakaian aneh yang di bawa oleh sang ketua ke dalam markas rahasia mereka.

Beberapa jam kemudian.

Arumi mendekati bangsal seperti yang pernah ia lihat di rumah sakit. Saat ini, Max terlihat terbaring di atas brangkar dengan menutup matanya. Pakaiannya telah berganti dengan seragam yang menegaskannya sebagai seorang pesakitan.

Di lengan kanannya, terdapat perban melingkar. Sedangkan pada wajahnya, terdapat beberapa memar dan juga plester.

"Mas, apa kamu sedang tidur?" Arumi bersuara kecil seraya menyentuh punggung tangan Max yang tertancap selang infus.

"Sepertinya, ketua memang masih tidur akibat efek obat, Nona," jelas Vierra yang tau-tau ada di belakang Arumi.

Pandangan, Arumi terlihat nanar menatap raga tak berdaya dari pria arogan yang merupakan suaminya itu. Arumi tak sabar untuk menanyakan semua yang ia pikirkan saat ini. Terutama, tentang siapa Max, yang sebenarnya.

"Saya akan menemaninya, Mbak. Tolong berikan satu selimut untuk saya. Malam ini, saya akan tidur di sini saja," ucap Arumi dengan suara yang lembut.

Vierra mengangguk, tapi perempuan itu mendekat ke arah ranjang, Max.

"Anda pasti baik-baik saja setelah ini, Ketua," ucap Vierra. Setelahnya dia mengundurkan diri. Tak lama ada orang lain masuk mengantarkan selimut dan juga makanan.

"Kami akan berjaga-jaga diluar untuk kalian." ucap pria itu menunduk tanpa melihat ke arah Arumi. Kemudian pria itu keluar, melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

"Apa, mereka sudah pergi?" lirih, Max pelan, seraya memegangi kepalanya. Dia merasakan bagian dari salah satu tubuhnya itu berdenyut nyeri.

"Mas, kamu sudah bangun?" tanya Arumi seraya, mendekat. Max berusaha bangkit untuk duduk, sehingga membuat Arumi segera meraih tubuh suaminya itu serta menahannya agar tetap berbaring.

"Jangan banyak bergerak dulu, tetaplah seperti ini." Arumi memencet tombol di samping brangkar untuk meninggikan bagian atas. Sehingga suaminya itu tidak perlu bergerak bangun.

"Kenapa aku tidak ingat kalau bisa seperti ini," sesalnya, karena telah terlihat bodoh di depan perempuan kampung seperti Arumi.

Setelah posisi di rasa sudah sesuai, Arumi ikut duduk di atas tempat tidur tersebut.

"Jadi, Mas sebenarnya tidak tidur ya?" kulik Arumi.

"Hmm," jawab Max dengan deheman. Dia kembali bersandar dengan kedua mata terpejam karena, masih merasa sedikit pusing.

"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Mas? Apanya yang masih terasa sakit? Apa perlu Arum panggilkan dokter?" cecar Arumi dengan raut wajah khawatir. Walaupun dia menikah dengan Max karena salah paham, namun Arumi tetap melakukan tugasnya sebagai istri secara sungguh-sungguh. Arum juga mengerti, bahwa tidak etis untuk bertanya tentang kejadian tadi saat ini.

Merasa tak ada jawaban, Arumi mengasumsikan kalau suaminya itu tengah menahan sakit. Arumi kembali memutuskan untuk turun dari duduknya, tapi tangan Max yang lain, tiba-tiba mencekalnya.

"Aku tidak butuh dokter atau apapun itu!" tolak Max, dengan tatapan yang sulit di artikan oleh Arumi.

"Mas. Kamu terluka parah. Bagaimana pun kamu butuh dokter," tegas Arumi.

"Diam di sini, dan jangan cerewet. Patuhi perintahku sebagai suamimu!" ucap Max dengan nada tinggi. Hingga, ia langsung menyesalinya pada saat menyadari bahwa tubuh Arumi gemetar hebat akibat ulahnya.

Arumi, susah payah menahan air matanya. Namun dia gagal. Belum pernah dirinya dibentak dengan keras seperti ini sebelumnya.

Terpopuler

Comments

Rifa Endro

Rifa Endro

turunkan sedikit nada suara mu tuan. kau menakuti istrimu

2024-04-22

1

Nur Lizza

Nur Lizza

sabar Rumi

2024-04-22

1

Kartika oshin

Kartika oshin

ya ampun max aku paling benci klu dibentak

2024-03-06

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!