Mafia 10

Terdengar Arumi menggumamkan kalimat doa. "Lailaha Illa anta. Subhanaka inni kuntumminadzolimin." Arumi menghela napasnya panjang sambil memegangi dadanya. Mau pergi kemana dia nanti. Kampung ini sudah dia anggap bak tanah kelahirannya. Lagipula bagaimana dengan rumah peninggalan sang nenek.

"Tolong. Maafkan saya. Jangan usir Arumi dan pakde dari sini. Arumi bersumpah bahwa semua yang terjadi hanyalah kesalahan pahaman. Arumi bisa membuktikannya. Arumi mau--"

"Halahh! Maling mana ada yang mau ngaku sih!"

"Yang ada penjara penuh!"

"Usir aja usir!!" teriak beberapa warga memprovokasi yang lainnya. Mereka yang bergerombol itu maju dan semakin memojokkan Arumi. Gadis itu jadi mundur hingga menabrak pintu pagar besi.

Brangg!

"Dosa zina kamu itu merembet ke empat puluh rumah tau gak! Kami semua di sini gak mau ya sial gara-gara kelakuan kamu!" desak para warga itu. Mereka pun kembali berteriak menyoraki Arumi sambil mendorong tubuh Arumi hingga ke teras rumah. Bahkan, Mustafa yang berada di belakang kebun tergopoh-gopoh lari ke depan.

"Astagfirullah. Ada apa ini? Kenapa lagi kalian menyerang keponakanku?" cecar Mustafa dengan napas yang terengah-engah.

Para warga pun meneriakkan kembali keberatan mereka. Bagi mereka perbuatan zina tidak boleh lolos dari hukuman sosial. Arumi tetap harus angkat kaki dari kampung ini. Permohonan maaf dari Arumi dan Mustafa sama sekali tidak di gubris oleh warga.

"Lagipula, kami mencurigai kalau suami Arumi itu pengedar obat-obatan terlarang. Bagaimana kalau nanti dia membawa pengaruh buruk terhadap pemuda di kampung ini! Sudahlah. Lebih baik kalian pergi saja!" seru salah satu warga itu yang kemudian di iyakan ramai-ramai oleh warga lainnya.

"Pakde, ini gimana?" bisik Arumi. Niatnya hendak berangkat kerja pun urung. Langkahnya sudah di jegal oleh warga kampung yang termakan fitnah.

"Sabar, Nduk," kata Mustafa. Pria itu memegangi dadanya.

"Kalau begitu, Arumi minta maaf pada kalian semua. Tapi, tolong beri saya waktu mempersiapkan kepindahan. Hari ini, saya harus pergi mengajar," pinta Arumi, berharap para warga yang barbar itu memberinya kelonggaran waktu.

"Kami beri kamu waktu sampai besok pagi!"

"Ya, kami gak mau kena sial gara-gara kelakuan kotor kamu!" hardik para warga dengan penuh emosi. Mereka telah termakan ujaran kebencian dari Isman dan keluarganya. Padahal apa yang di sampaikan belum tentu benar.

"Insyaallah, Bu. Arumi paham." Arumi tak mau lagi mendebat. Baginya percuma saja. Nama baiknya sudah tercoreng di kampung ini karena kejadian malam kemarin. Arumi mengucapkan istighfar demi menenangkan hatinya. Sakit rasanya mendapatkan tuduhan sekeji itu. Namun, sekeras apapun dirinya membela diri pun tak ada untung yang akan di raihnya. Apa yang terlihat itulah yang tersirat.

Para warga pun akhirnya pergi dengan kesal. Sementara Isman tersenyum sinis karena rencananya berhasil.

Max, melihat Arumi melirik ke arah jendela. Memang, Arumi tidak bisa melihat Max yang mengintip di dalam sana. Akan tetapi pria itu sesungguhnya dapat dengan jelas melihat air mata Arumi mengalir membasahi kain yang menutupi sebagian wajahnya.

Max, seketika itu juga merasakan getaran aneh di dalam hatinya ketika melihat tatapan sedih dari istrinya. "Jadi, para warga sialan itu mengusir Arumi dan pamannya. Kalau begini, mau tak mau aku harus segera membawanya keluar dari kampung ini dan tinggal di mansion. Tapi bagaimana keluar tanpa sepengetahuan mata-mata dari Oliver. Aku yakin, jika mereka masih berada di sudut desa ini." Max yang berpikir tanpa sadar terus berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Tak sengaja, ujung jempol kakinya menabrak meja.

"Argh! Kenapa ruangan ini sempit sekali!" Max mengaduh dan mengumpat secara bersamaan. Sudah tau tempatnya minimalis, tapi tak bisa diam.

Tiba-tiba, matanya terpekur menangkap sesuatu di atas meja tersebut. "Ternyata, dia sudah menyiapkan sarapan untukku." Mendapati makanan, Max menunda emosinya. Sejak kemarin malam ia makan masakan Arumi dan berakhir ketagihan.

Max merasakan cita rasa asing di lidahnya. Tampilannya sih omelet tapi berbeda ketika berada di dalam mulutnya. Belum pernah dirinya mencicipi masakan rumahan sederhana begini. Max selama ini makan menu ala western yang di masak koki pribadinya.

Pemuda itu menghabiskan makannya dengan lahap dan cepat. Setelahnya, Max ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

"Sampai kapan aku harus mengenakan kemeja dan kain sarung lusuh begini. Mana segitiga juga belum salin. Kalau kakatua ku gatal-gatal bagaimana ini," oceh Max seorang diri.

Max, benar-benar memeriksa kakatua miliknya. Demi kesehatan dan masa depannya, akhirnya Max memutuskan untuk tidak mengenakan celana segitiga kotor itu. Max bahkan melemparnya begitu saja ke tempat sampah.

"Oliver. Kau harus membayar semuanya. Segala kesengsaraan dan kesialan yang ku alami ini. Kau tidak akan ku ampuni!" geram Max, yang kini sedang melihat penampakannya di depan cermin. Max melayangkan tinjunya di udara. Ia hampir saja memukul kaca itu.

"Jangan. Ini barang orang. Kasian Arumi kalau harus beli yang baru. Kedatanganku kesini nyatanya sudah cukup menyusahkan dia. Aku, harus melakukan sesuatu untuknya dan paman Mus." Max kembali ke dalam kamar sambil memikirkan rencananya. Dia memutuskan akan meminjam ponsel milik Arumi nanti untuk menghubungi Dave, anak buah kepercayaannya.

Arumi memutuskan membawa masuk sang paman yang terlihat kesulitan bernapas. Arumi mendudukkan pamannya ke atas balai, lalu berlari cepat untuk mengambil air.

"Minum dulu, Pakde. Istighfar ya," kata Arumi. Dia tau sang paman pasti syok karena mereka di usir warga. Bahkan pak RT tidak bisa menolong lagi. Karena permintaan warga juga ada benarnya. Semenjak keberadaan pria asing di rumah Arumi, kampung mereka di datangi oleh sekelompok pria yang seram. Pak RT takut jika kenyamanan para warganya yang lain terganggu jika dia terus membela Arumi.

"Berangkatlah, Nduk. Nanti kamu terlambat," kata Mustafa dengan tatapannya yang sendu.

"Arumi, khawatir dengan keadaan Pakde," sahutnya dengan raut wajah sedih.

"Pakde baik-baik saja. Sudah sana, muridmu pasti sudah menunggu. Kemarin kan sudah libur. Lagipula, hari ini kan kamu gajian, Nduk," kata Mustafa lagi, meyakinkan Arumi agar tidak khawatir padanya.

Arumi mengangguk dan terpaksa pergi walaupun tak tega. Tubuh pamannya seketika menjadi lemas tak bertenaga. Arumi tau, pasti sang paman langsung kepikiran jika mereka harus pergi dari kampung ini. Rumah yang sederhana ini banyak kenangannya untuk mereka berdua.

Max mengintip dari balik dinding. Hatinya tersentuh dengan pemandangan di hadapannya. Nyatanya hidup wanita cantik dengan pakaian tertutup itu menjadi semakin susah karena kehadirannya yang tiba-tiba.

Secara tak langsung, Max memiliki andil atas kesedihan yang mendera Arumi serta Mustafa. Lagi-lagi, Max menyalahkan semua ini akibat perbuatan Oliver yang telah menugaskan putranya untuk bermain perang-perangan dengannya.

"Aku tidak akan pernah mengampunimu, Oliver. Akan ku habisi kau dan seluruh klanmu!" geram Max hingga buku jarinya memutih.

Terpopuler

Comments

Nur Lizza

Nur Lizza

yg sabar y rumi entr indah pada waktuny

2024-04-22

1

Kartika oshin

Kartika oshin

ngk usah geram sama Oliver dl yang penting gmn kamu bawa istri serta paman berpindah tempat

2024-03-06

3

Mak Aul

Mak Aul

siapp

2024-03-01

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!