Rencana Sandi

"Selamat datang, Pak Sandi! Kami senang Anda kembali dalam keadaan baik-baik saja," sambut salah seorang petinggi perusahaan diikuti yang lainnya. Mereka semua menunduk penuh hormat menyambut kedatangan sang pemilik perusahaan.

"Terima kasih." Sandi tersenyum, dan berjalan masuk diikuti oleh Pak Andri menuju ruangannya di lantai Paling tertinggi.

"Saya senang Anda kembali, Pak. Selamat datang kembali di perusahaan," ucap sekretaris Sandi sembari membawa beberapa dokumen untuk langsung diperiksa oleh suami Wulan itu.

"Terima kasih, Riska." Sandi tersenyum, membuat Riska mengernyitkan dahi karenanya. Pasalnya, selama ini sang atasan itu tidak pernah terlihat ramah. Selalu dingin dan kaku.

"Eh, sama-sama, Pak." Riska berbalik sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung dengan perubahan sikap Sandi.

"Tunggu!"

Gadis dengan sepatu heels itu menoleh, memasang wajah seramah mungkin.

"Ya, Pak."

"Bisa kau pinta petugas kebersihan membuatkanku secangkir kopi? Aku mau pekerja baru, bukan yang lama," pinta Sandi sambil tersenyum-senyum aneh.

Aneh.

Batin Riska bergumam, tapi mengangguk juga menyanggupi permintaan sang atasan. Ia keluar, menghubungi pantry dan meminta Mita untuk membuatkan secangkir kopi dan mengantarnya sendiri ke ruangan Sandi.

****

"A-apa aku tidak salah dengar tadi? Membuat kopi untuk Pak Sandi? Pemilik perusahaan ini? Astaga! Rasanya dadaku sesak."

Mita memegangi dadanya yang berdebar-debar tak karuan. Tak hanya tangan, hampir seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menghela napas, menetralkan keadaan hati yang tiba-tiba berbunga-bunga.

"Ayo, Mita! Ini kesempatan kamu, kalau CEO itu naksir kamu buang saja si Yudi. Haha ...." Mita berangan, terkekeh sendirian.

Ia lantas mengambil cangkir, mengisinya dengan kopi dan gula setelah mempelajari tutorial membuat kopi di sebuah aplikasi.

"Mudah-mudahan Pak CEO itu suka kopi buatanku," gumamnya sambil memandangi kopi yang sudah ia letakkan di atas nampan.

Oleh karena pesanan khusus itu, Mita bisa merasakan kenyamanan lift menuju lantai di mana Sandi berada.

"Bu Riska, ini langsung masuk atau bagaimana?" tanya Mita saat tiba di depan meja Riska.

Gadis dengan kacamata itu berdiri dan berjalan mendekati pintu ruangan Sandi. Mengetuk dengan lembut sambil meminta izin untuk masuk.

"Masuk!" Suara Sandi.

Riska mempersilahkan Mita untuk masuk setelah membukakan pintu tersebut. Sembari menahan debaran di dada, Mita melangkah dengan sangat hati-hati dan nyaris tanpa suara.

"Kopinya, Pak!"

Pak Andri melirik dari mejanya, berkerut dahi ketika melihat bukan Wulan yang datang. Sandi yang duduk membelakangi, berputar sambil memasang senyum seindah mungkin.

Ganteng banget, gila! Wulan, ternyata yang dibilang semua karyawan itu benar. Pemilik perusahaan ini masih muda dan ganteng. Sayang, kamu udah pindah tugas.

Mita membatin, meringis dalam hati menyayangkan kepergian Wulan.

Namun, Sandi yang tersenyum seketika berubah dingin dan kaku. Atmosfer ruangan itu berubah drastis, angin dingin yang menusuk menerpa tengkuknya. Mita bergidik melihat wajah Sandi yang menyeramkan.

"Ko-kopinya, Pak!" Sekali lagi dia menawarkan, hilang sudah harapan, hilang kepercayaan dirinya.

"Aku tidak butuh, kamu bawa dan cepat keluar dari ruanganku!" usir Sandi dengan ketus.

"Ta-tapi-"

"KELUAR!" bentak Sandi membuat Mita ketakutan setengah mati.

Tangannya yang memegang nampan gemetar hingga menimbulkan bunyi-bunyian yang sangat mengganggu. Beruntung dia tidak mengompol di celana.

"Kenapa bukan Wulan yang datang? Siapa perempuan tadi?" kesal Sandi mengepalkan tangan di atas meja.

"Akan saya cari tahu dulu, Tuan." Pak Andri sigap berdiri, keluar mencari tahu tentang Wulan.

Sandi menunduk, menahan gejolak rasa yang membuncah. Hatinya kembali kecewa, perih karena tidak bertemu dengan sang pujaan hati.

"Sial! Kenapa bukan Wulan? Di mana dia?" Sandi mengusap kepalanya yang tiba-tiba berdenyut, rasa rindu yang nyaris terluapkan kini harus ditahannya lagi.

Brak!

Sandi memukul meja dengan begitu kuat, pena yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban kekesalannya. Terlempar jauh hingga menabrak dinding dan hancur.

"Tuan!"

Sandi cepat mendongak setelah mendengar suara Pak Andri. Bersamanya adalah seorang HRD yang memindahkan Wulan ke kantor cabang.

"Jelaskan pada Tuan!" Pak Andri mendorong lelaki seusianya itu ke hadapan atasan mereka.

Sandi diam dengan raut wajah menyeramkan, sorot matanya menuntut penjelasan pada bawahan itu. Situasi menegangkan yang ia alami saat ini cukup mengguncang hatinya. Ketakutan akan bayangan jadi pengangguran kembali datang menghantui. Bahkan, kini sedang menertawakannya.

"Wu-wulan sa-saya pindahkan ke kantor cabang di kota B, Pak," ucapnya terbata dan bergetar.

Dia tidak berani bergerak dan membiarkan peluh terus menetes memenuhi wajah. Bahkan, untuk bernapas saja dia harus berhati-hati agar tidak menambah buruk keadaan.

"Kenapa?" Sandi bertanya dengan geram, tapi masih bisa menahan diri untuk mendengarkan penjelasannya.

"Saat itu saya terpaksa melakukannya karena ... karena ...." Ia memainkan jemarinya sendiri, menunduk takut untuk mengatakan semuanya kepada Sandi.

"Karena apa? Katakan saja, jangan membuat saya menunggu!" tukas Sandi ketus dan semakin dingin.

Tubuh ayah Chiko itu semakin bergetar, jantung berdegup kencang tak terkendali.

Bagaimana aku mengatakannya?

"Cepat katakan! Saya tidak akan menyalahkanmu jika alasan yang kamu berikan masuk akal," tuntut Sandi menahan amarah pada kepalan tangannya sendiri.

"I-itu, Pak." Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "ibu dan bu Risna datang ke kantor meminta saya untuk memecat Wulan."

"Apa!" Sandi berdiri cepat sambil menggebrak meja.

Laki-laki paruh baya di depannya memejamkan mata karena takut.

Alamat dipecat ini, ya Allah! Pasrah.

Sandi melirik Pak Andri, anggukan kepala asistennya itu cukup memberinya rasa tenang. Suami Wulan itu kembali duduk, mencoba menenangkan diri.

"Lalu, kenapa dia pindah? Bukannya dipecat?" tanya Sandi menekan setiap kata yang ia ucap.

"Itu karena saya tahu Wulan bekerja sangat baik. Saya tidak bisa memecat Wulan, selain kinerjanya yang bagus dia juga hidup sendirian. Jika saya pecat akan sulit baginya mencari pekerjaan lagi. Untuk itu, saya memohon kepada ibu untuk memindahkan Wulan ke kantor cabang saja." Ia menunduk pasrah.

Kenapa dengan Wulan? Ada apa denganmu, Wulan?

Ia membatin, tak habis pikir.

"Kembalilah ke ruanganmu!" pinta Sandi memalingkan wajah cemas.

Cabang di kota baru dibuka beberapa bulan lalu, ia belum tahu bagaimana kinerja semua karyawan di sana. Hanya satu yang dikenalnya yaitu Chiko, anak laki-laki paruh baya tadi.

"Bapak tidak memecat saya?" tanya ayah Chiko itu ragu-ragu.

"Untuk apa saya memecat orang yang sudah melakukan hal benar? Wulan akan marah kepada saya," ujar Sandi mengendurkan otot-otot wajahnya. Ia menghela napas sambil berpikir keras.

Meski bingung, lelaki itu bersyukur. Mengucap terima kasih dan berlalu ke ruangannya lagi.

"Pak! Aku ingin ke kantor cabang saja, Bapak handle di sini, tapi siapkan seragam keamanan untukku," pinta Sandi melirik Pak Andri.

"A-apa? Tapi, Tuan-"

"Tidak ada kata tapi, Pak. Aku ingin hari ini juga!"

Terpopuler

Comments

Yuliana Tunru

Yuliana Tunru

syukur sandi akhirx tau wulan dimn dan tak salah sangka lg..

2024-02-27

1

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

bagus lah Sandi bertindak cepat dan tepat, dia langsung cari tahu tentang keberadaan si Wulan terlebih dahulu

2024-02-27

1

Hafifah Hafifah

Hafifah Hafifah

sisandi mau nyamar nih ceritanya

2024-02-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!