"Sandi! Sandi!"
Seseorang memanggil Sandi, memaksa lelaki itu menghentikan langkah ketika hendak memasuki apartemennya. Ia melengos, melihat sosok yang berjalan cepat ke arahnya.
"Sandi! Tunggu, Nak!" sergah Miranda sembari menahan pergelangan tangan Sandi yang hendak berbalik meninggalkannya.
"Ada apa, Mah? Apa Mamah mau membicarakan soal itu lagi?" Sandi menatap malas pada ibunya itu.
Miranda menghela napas, menatap sang putra satu-satunya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sebaiknya kita bicara di dalam," ajaknya yang kemudian mengajak Sandi untuk masuk ke dalam apartemennya.
****
Beberapa hari sebelum Miranda nekad datang ke apartemen Sandi. Popy mendatanginya sambil menangis tersedu-sedu. Keadaannya tampak kacau, penampilan yang selalu terlihat sempurna dibiarkan berantakan begitu saja. Seperti bukan Popy pada biasanya.
"Lho, ada apa? Kenapa kamu menangis, Popy?" tanya Miranda sembari memeriksa keadaannya dari atas hingga bawah.
"Tante!" Tangis gadis itu semakin menjadi, histeris dan berhambur ke pelukan ibunya Sandi.
Miranda nampak bingung, tapi ia membiarkan Popy menangis dalam pelukannya. Menunggu beberapa saat sampai gadis itu meredakan tangis.
"Sebaiknya kita masuk ke dalam rumah dan kamu jelaskan apa yang terjadi?" ucap Miranda sembari merangkul bahu Popy yang berguncang.
Gadis itu mengangguk, sesekali mengusap air mata buayanya yang dibuat-buat jatuh. Dalam hati dia tertawa merasa telah memenangkan simpati Miranda.
"Ada apa? Kenapa keadaan kamu kacau begini?" tanya Miranda hati-hati sembari mengelus-elus bahu gadis itu.
Popy masih terisak, tapi di hatinya tersenyum penuh kemenangan. Gadis licik yang penuh dengan tipu muslihat.
"Sandi, Tante. Sandi tidak mau mendengarkan penjelasanku kenapa aku pergi ke luar negeri dan meninggalkan dia," adu Popy kembali terisak sambil membayangkan penolakan Sandi hari itu.
Miranda mengernyit, kisah itu pernah diceritakan Sandi ketika Popy memutuskan hubungan karena melihat keadaan Sandi yang lumpuh. Berbeda sekali dengan cerita versi gadis yang saat ini tengah berderai air mata di hadapannya.
"Benarkah? Memang seperti apa cerita yang sebenarnya?" tanya Miranda ingin mendengar langsung dari Popy.
Gadis itu diam beberapa saat, menyusun kata menjadi kalimat masuk akal yang akan dijadikannya alasan untuk bisa mendapatkan Sandi kembali.
"Waktu itu, Papah memintaku untuk pergi kuliah ke luar negeri. Aku membicarakan hal ini kepada Sandi ingin mendengar keputusannya, tapi Sandi malah memutuskan pertunangan denganku. Meski aku sudah memohon, tapi dia tetap bersikeras pada keputusannya." Popy menghela napas.
"Di satu sisi Papah terus memaksaku untuk pergi, tapi di sisi lain aku tidak mau pertunanganku putus dengan Sandi. Lalu, Papah meyakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah aku kembali. Sekarang, Sandi justru menolak ku, Tante. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau kehilangan Sandi, Tante. Aku sangat mencintainya. Aku hanya ingin menikah dengannya, Tante," racau Popy terisak semakin histeris.
Miranda tercenung, cerita Sandi sangat jauh berbeda dengan Popy. Siapa yang harus dia percayai sekarang.
"Tante!" Popy menengadah, menatap wajah Miranda dengan matanya yang memerah.
Sementara ibu Sandi itu masih diam belum mengucapkan satu patah katapun.
"Tolong bujuk Sandi agar mau bertunangan denganku lagi, Tante. Bukankah ini perjanjian yang harus ditepati agar persahabatan keluarga kita tetap terjalin sampai nanti? Tante, kumohon bantu aku. Aku tidak bisa hidup tanpa Sandi, Tante," rengek Popy sambil memegangi tangan Miranda.
Wanita paruh baya itu berpaling, bingung dengan situasi yang sedang dihadapi. Jangankan membujuk Sandi, melihatnya saja baru sekali itupun dalam situasi yang tidak baik. Tiba-tiba pikirannya melayang pada sosok Wulan, gadis yang mau menerima sandi apa adanya. Yang mau menikah dengannya meski tahu dia hanyalah lelaki lumpuh yang tidak berguna.
Miranda menoleh pada Popy, tersenyum kemudian. Dia akan mengingatkannya bahwa status Sandi sudah menikah.
"Tapi kamu itu tahu bahwa Sandi sudah menikah. Bagaimana dengan istrinya nanti? Waktu itu Tante putus asa karena Sandi bilang kamu sudah tidak bisa melanjutkan pertunangan kalian. Lagi pula tidak pernah ada wanita yang tulus mencintai dan mau menerima anak Tante yang lumpuh itu." Miranda masih memasang senyum ketika wajah Popy berubah keras dan sekilas dipenuhi amarah.
Momen itu terjadi beberapa detik lamanya, untuk kemudian Popy merubah ekspresi wajahnya menjadi sendu. Seolah-olah kecewa atas pernikahan Sandi. Ia menunduk, mengusap sudut matanya.
"Kenapa Sandi melakukan ini padaku, Tante? Seharusnya dia menungguku, seperti aku yang selalu setia menunggunya." Popy terisak lirih.
Menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu berharap akan berhasil meluluhkan hati Miranda dan mau kembali melanjutkan pertunangan mereka.
"Tante tidak tahu, Tante pikir kamu memang meninggalkan Sandi dan tidak mau menikah dengannya karena lumpuh," ujar Miranda diakhiri helaan napas panjang.
"Tapi bukankah perjodohan kami ini wasiat dari mendiang Kakek, Tante? Aku tidak ingin Kakek marah padaku." Popy mengintip dari sela-sela jarinya. Memperhatikan reaksi wajah Miranda yang membeku mendengar penuturannya.
"Baiklah. Tante akan mencoba berbicara dengan Sandi, tapi Tante tidak bisa janji Sandi akan mau melanjutkan pertunangan kalian," putus Miranda pada akhirnya. Setelah berpikir, dia pun sudah berjanji pada mendiang ayah akan menjodohkan salah satu anaknya dengan anak sahabat sang ayah.
Popy membuka tangannya, tersenyum dan memeluk Miranda hangat.
****
Kembali pada waktu di mana Miranda mengunjungi Sandi di apartemennya.
Wanita paruh baya itu menghela napas saat mengingat percakapannya dengan Popy. Menatap sekeliling ruang tamu di apartemen sang anak, sungguh nyaman dan damai. Pantas saat dulu Sandi lebih suka tinggal di apartemen daripada di rumah.
"Apartemen kamu nyaman, ya. Pantas saja waktu itu kamu tidak betah di rumah," ujar Miranda berbasa-basi setelah mengamati.
Ia menatap Sandi sambil tersenyum, berharap ketegangan yang pernah terjadi di antara mereka akan menguap dengan sendirinya, dan bisa harmonis seperti dulu lagi.
Sandi mengangkat sebelah sudut bibirnya, menatap sekeliling, dan menghela napas.
"Bukan itu alasan sebenarnya kenapa aku lebih suka tinggal di sini dari pada di rumah. Bukan, Mah." Sandi menggelengkan kepala, menolak ucapan sang mamah.
Miranda mengernyit, terlihat bingung dengan kalimat yang diucapkan anaknya itu.
"Maksud kamu?" Miranda menuntut penjelasan.
Sandi mendesah, menjatuhkan punggung pada sandaran sofa yang empuk. Tidak ada asisten rumah tangga di sana, hanya ada Pak Andri yang sesekali membantu Sandi mengerjakan tugas rumahan.
"Tentu saja karena menantu kesayangan Mamah itu. Apa lagi? Dulu, dia ingin menguasai rumah itu. Aku muak melihatnya sok berkuasa seperti Tuan rumah. Malas melihatnya, Mah," ujar Sandi tak lagi menutupi kenyataan yang dia pendam.
"Dulu, kamu tidak pernah mempermasalahkan itu. Kenapa sekarang membahasnya?" Miranda bertanya heran.
Sandi tersenyum, menatap sang mamah aneh.
"Tentu saja karena ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
ternyata emaknya si Sandi gampang tertipu sama penampakan luar menantu dan mantan calon menantunya yah,,,
2024-03-04
1
Hafifah Hafifah
akhirnya bikin penasaran
2024-03-03
2
Hafifah Hafifah
sebagai seorang ibu ya kamu harus percaya ama anaknya lah lw kamu percaya ama nih perempuan berarti kamu g sayang ama anakmu
2024-03-03
2