"Jangan bilang semua itu karena Wulan! Gadis polos yang ternyata licik itu," sela Miranda terlihat kesal dengan sikap dan ucapan Sandi yang masih saja membahas soal Wulan.
Laki-laki berambut hitam legam itu menatap, sinis dan dingin. Dalam hati mengumpat, tak senang istrinya dikatai.
"Bagaimanapun tanggapan Mamah, Wulan tetap akan menjadi istriku sampai kapanpun. Meski Mamah tidak mau menerimanya sebagai menantu, dia akan tetap aku pertahankan sebagai istri." Sandi tersenyum tegas ketika mata Miranda melirik ke arahnya.
Tak ada sikap mengalah, ataupun melemah di hadapan sang mamah jika berkaitan dengan Wulan. Janji yang diucapkannya di hadapan penghulu satu tahun lalu, akan ia pegang teguh. Janji terhadap Tuhan, yang akan dia pertanggung jawabkan di akhirat nanti.
"Kamu lupa dengan wasiat kakekmu sendiri?" tanya Miranda mengingatkan Sandi pada wasiat sang kakek tentang perjodohan dengan anak sahabatnya.
"Aku ingat dan tidak akan pernah lupa, tapi wasiat itu sudah tidak berlaku bagiku karena dia sendiri yang memutuskan pertunangan dengan alasan layak mendapat laki-laki lebih baik dari pada aku yang lumpuh dan tidak berguna waktu itu," jawab Sandi dengan gamblang.
Miranda mendengus, mulai termakan omongan Popy. Kepercayaannya terhadap Sandi sedikit demi sedikit luntur lantaran anak lelaki satu-satunya itu lebih mempercayai Wulan, dan mempertahankan gadis itu sebagai istri.
"Bukannya kamu yang sudah memutuskan pertunangan? Dia pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Sekarang dia kembali karena ingin hidup bersama kamu." Miranda tak kalah keras, dia mempercayai apa yang ada di dalam pikirannya.
Sandi mencibirkan bibir, terlihat santai dan terkesan tidak peduli sama sekali.
"Lalu?" Sandi mengangkat sebelah alisnya, bertanya remeh.
"Kamu harus menikah dengannya sesuai dengan wasiat kakek. Ceraikan Wulan, Popy lebih bisa memberi kita keuntungan dari pada gadis itu. Apa yang bisa dia berikan kepada keluarga kita? Tidak ada!" cecar Miranda semakin merendahkan Wulan di hadapan Sandi.
Namun, alih-alih marah atau menuruti ucapan ibunya, Sandi justru menghendikan bahu tak acuh. Melengos menghindari tatapan sang mamah yang terlihat tajam dan penuh tuntutan.
"Aku tidak butuh apa yang dia punya, Mah. Yang aku butuhkan hanyalah Wulan dan keberadaannya. Itu saja. Tidak butuh yang lain, apalagi gadis yang selalu tampil dengan pakaian kurang bahan seperti dia." Sandi mendengus.
"Sama sekali tidak selevel dengan Wulan," gumam Sandi kemudian.
Miranda tertegun, anak satu-satunya itu sudah dicuci otak oleh Wulan. Apapun yang terjadi, Sandi akan tetap mempertahankan Wulan.
"Tapi ini soal wasiat kakekmu," ucap Miranda menurunkan egonya.
Berbicara dengan Sandi tidak akan berhasil jika dengan keras. Laki-laki itu akan selalu luluh saat mereka berbicara dari hati ke hati.
"Wasiat Kakek, ya? Hmm ... seingatku Kakek punya cucu laki-laki lain selain aku. Kenapa tidak dia saja yang menikah dengannya? Aku sudah menikah, dan tidak akan pernah menceraikan istriku apalagi menduakannya. Tidak akan pernah, Mah!" tegas Sandi sembari menggelengkan kepala.
Miranda mendesah, memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pening. Helaan napas panjang dan berat keluar berulang kali, meredakan emosi yang terus meluap.
"Mamah tidak bisa melakukannya. Mereka orang berpengaruh di kota ini, akan sangat beruntung kalau kamu menikah dengannya. Sudahlah, Sandi. Kamu jangan egois, lakukan saja demi kakekmu," pinta Miranda tak mau mengalah.
"Egois?" Sandi bergumam pelan, sama sekali tidak menatap ke arah ibunya.
"Aku tidak akan melakukannya. Pinta dia saja yang menerima wasiat kakek, aku sudah menikah. Bukan laki-laki lajang yang harus dijodohkan! Aku menolak wasiat Kakek!" tegas Sandi tak ingin dibantah lagi.
"Kalau sudah tidak ada yang mau Mamah bahas lagi selain masalah ini, sebaiknya Mamah pulang."
Kalimat lanjutan yang diucapkan Sandi membuat bibir Miranda terkatup kembali setelah terbuka hendak berbicara.
"Kamu ngusir Mamah?" Mata Miranda mendelik, tidak terima dengan pengusiran yang dilakukan Sandi secara terang-terangan.
"Aku tidak akan mengusir Mamah kalau Mamah tidak melulu membahas soal wasiat Kakek. Kakek masih punya cucu laki-laki yang lain selain aku. Jangan terus menuntut, aku sudah menikah. Bukankah Mamah yang memintaku menikah waktu itu karena Popy pergi meninggalkan aku?" Sandi mengingatkan kembali di saat Miranda memintanya untuk menikah dengan salah satu anak Pak Hardi.
Wanita paruh baya itu terdiam, hati kecilnya mulai menyalahkan dia yang begitu cepat mengambil keputusan. Seandainya dia mau menunggu Popy kembali dan mendengarkan penjelasannya, tentu masalah yang terjadi tidak akan serumit sekarang.
"Jadi, Mamah harus bagaimana? Apa yang harus Mamah katakan pada Popy kalau kamu sudah tidak mau melanjutkan perjodohan itu?" tanya Miranda putus asa. Tak akan pernah bisa meluluhkan pendirian Sandi.
"Mamah bicarakan itu dengan Pak Santoso saja. Minta anaknya untuk memenuhi wasiat Kakek," usul Sandi asal.
Miranda kembali terdiam, mendengar nama itu disebut membangkitkan kembali rasa sakit yang sudah belasan tahun dia pendam. Rasanya tidak mungkin menemui laki-laki yang sudah menorehkan luka itu.
"Kenapa Mamah diam? Masih tidak bisa melupakan laki-laki itu?" Sandi mendengus, berpaling jengah dari ibunya.
"Mamah tidak mungkin menemui papahmu, Sandi."
"Dia bukan papahku! Papahku sudah mati!" geram Sandi sembari merapatkan gigi.
"Jaga ucapan kamu, Sandi! Dia papah kamu. Sampai kapanpun dia tetap akan menjadi papah kamu!" Miranda meradang, berdiri dari duduknya.
Sandi tersenyum miring, mengejek sikap sang mamah yang begitu naif menurutnya.
"Papah macam apa yang pergi begitu saja meninggalkan putranya yang sangat membutuhkan dia? Papah seperti apa yang lebih memilih wanita simpanannya dari pada istri sahnya? Papah seperti apa yang mengambil alih perusahaan untuk diberikan kepada putra haramnya itu? Papah seperti apa, Mah?" Sandi meninggikan suara mengingatkan Miranda pada perbuatan laki-laki yang baru saja dibelanya itu.
Jatuh air mata Miranda ketika bayangan semua itu datang silih berganti. Matanya yang mengembun menatap sang putra pilu. Tidak ada kesedihan lagi seperti dulu saat dia memohon agar papahnya tidak pergi meninggalkan mereka. Kini, hanya api dendam yang berkobar di kedua manik laki-laki itu.
Miranda menunduk, untuk kemudian pergi dari apartemen Sandi setelah gagal meminta anaknya itu untuk melanjutkan pertunangan. Sandi mengusap wajah, kemudian menggebrak meja menuntaskan amarah yang terpendam. Terbayang rasa sakit ketika dikhianati, terbayang rasa sakit ketika ditinggal pergi.
Dia beranjak, masuk ke kamarnya dan langsung menuju kamar mandi. Membiarkan tubuhnya diterpa air demi mendinginkan rasa panas yang membakar seluruh pembuluh darah.
"Santoso! Laki-laki bajingan!"
Dia mengumpat lirih, suaranya berbaur dengan air yang jatuh menerpa bibir. Dendam kian membara, membuat sesak rongga dada. Kesakitan yang dia sembunyikan dibalik kerja kerasnya itu, kini seolah mencabik-cabik segala rasa di dalam jiwa.
"Kalian tidak pantas bahagia!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
lanjut lagi thor...
makin s3ru nih ceritq nya....🤔🤔🤔
2024-03-05
1
Sugiharti Rusli
jangan" si Arya yah putra lain papahnya Sandi itu🤔🤔🤔
2024-03-04
1
Hafifah Hafifah
apa mungkin arya ama sandi itu saudara ya
2024-03-04
2