Flashback
Sepoi angin malam berhembus lembut menyentuh kulit sepasang kekasih yang tengah duduk di sebuah restoran terbuka. Kelopak bunga bertebaran di permukaan air kolam, lilin-lilin menyala membuat tempat itu menjadi romantis.
Meja bundar yang memisahkan bangku keduanya, dihias dengan bunga mawar segar juga lilin yang menyala lembut. Namun, nuansa romantis itu tak menghanyutkan mereka ke lembah penuh cinta nan kasih.
"Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Sandi kepada gadis bergaun merah tanpa lengan di hadapannya.
Popy menyelipkan anak rambut yang diterbangkan angin ke belakang telinga. Menunduk, menghindari tatapan Sandi yang menyelidik.
"Mmm ... aku ingin jujur malam ini padamu, Sandi. Kuharap kamu bisa mengerti," ucap Popy selembut angin malam yang nyaris tak terdengar oleh Sandi.
Laki-laki yang duduk di atas kursi roda itu, menghela napas. Menjatuhkan punggung pada sandaran, menatap curiga pada gadis cantik bermata sipit di hadapannya.
"Katakan saja, apapun itu aku pasti akan menerimanya," sahut Sandi tenang dan tidak terlihat gelisah sama sekali.
Popy menghela napas, mengangkat kepala menatap Sandi dengan penuh.
"Aku mau mengakhiri pertunangan kita. Aku tidak bisa melanjutkannya, semua ini aku lakukan karena terpaksa harus menerima wasiat kakek. Lagipula, aku ingin hidup bahagia bersama suamiku kelak. Melihat keadaan kamu yang seperti ini, aku rasa tidak akan pernah mendapatkannya. Aku layak mendapat laki-laki yang lebih baik, bukan?" ungkap Popy jujur.
Alih-alih marah atau kecewa, Sandi tetap terlihat tenang. Menatap wajah Popy yang sesekali mencibir keadaannya.
"Ada lagi yang mau kamu katakan? Aku hanya takut kamu tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk mengatakannya," ujar Sandi dengan tenang, ia menenggak sedikit minuman di hadapannya.
Pak Andri yang tak pernah jauh dari tuannya, terkejut. Tubuhnya bergetar, menatap tak senang pada gadis yang baru saja menyakiti hati sang tuan.
"Baiklah, kalau begitu aku tidak akan menutupinya. Awalnya aku takut kamu merasa tersinggung, tapi melihat kamu biasa saja sepertinya tidak apa-apa. Mungkin kamu juga terpaksa menerima perjodohan ini seperti aku, atau malah sebaliknya. Aku tidak tahu." Popy menghendikan bahu, sifat angkuh tergambar jelas di wajahnya yang dipoles make-up natural malam itu.
"Rasanya tidak tahu diri jika aku mengharapkan kamu menjadi istriku. Kamu gadis yang sempurna, cantik dan terpandang. Sangat tidak pantas aku yang cacat ini menjadi pendampingmu. Jadi, aku cukup sadar diri," sahut Sandi menahan getaran di hatinya.
Bohong, jika dia baik-baik saja dan tidak merasakan sakit. Tentu saja sakit, perih bagai tercabik-cabik sembilu. Namun, sekuat mungkin dia menahannya. Demi harga diri karena hanya itu yang dia punya.
"Terima kasih karena kamu sudah mau mengerti. Jangan menyesal karena hari ini kamu tidak memohon padaku agar melanjutkan perjodohan kita. Aku yakin pada takdirku, dan semoga kamu bisa mendapatkan perempuan yang bisa menerima kamu apa adanya," tandas Popy seraya beranjak sembari membawa tasnya yang mahal itu. Meninggalkan Sandi dengan luka menganga lebar.
Prang!
Gelas di tangan Sandi pecah, hancur berkeping-keping di saat menyentuh lantai.
"Tuan!"
Sandi beranjak tanpa mengucapkan sepatah katapun jua. Mendorong kursi rodanya sendiri keluar dari restoran tersebut. Mau tidak mau Pak Andri yang menyelesaikan pembayaran sebelum menyusul Sandi.
Di parkiran, laki-laki itu melihat dengan jelas Popy bersama seorang pria gagah yang membukanya pintu mobil. Sambil tersenyum gadis itu masuk dan duduk di kursi samping kemudi.
"Itulah pilihanmu. Maka, jangan pernah menyesal di kemudian hari," gumam Sandi tanpa beranjak dari tempatnya melihat mereka berdua.
Ia berpaling ketika adegan yang tak diinginkannya terjadi di depan mata. Popy dan laki-laki itu saling bertukar bibir di dalam mobil sebelum akhirnya meninggalkan parkiran restoran.
Sungguh, hati Sandi bagai diremas dan ditusuk sembilu. Sakit dan perih jadi satu. Setidaknya, jangan menerima perjodohan itu jika akhirnya menolak. Sandi sudah menghabiskan banyak waktu dan materi untuk mempertahankan pertunangan mereka sampai menikah nanti.
Namun, sekali lagi, mereka tidak ditakdirkan berjodoh.
****
Sandi mencengkeram wastafel dengan erat kala bayangan itu kembali muncul. Tak terelakan sakitnya, beruntung saat ini dia memiliki Wulan yang bisa menerima apa adanya.
Ia mendongak, menatap pantulan dirinya sendiri pada cermin. Menghapus kenangan pahit dan mengisinya dengan kenangan baru bersama Wulan.
"Aku akan melupakan semuanya, kecuali Wulan."
Sandi beranjak keluar setelah puas meluapkan emosi yang bergejolak dalam dada. Tak berniat kembali ke tempat pertemuan makan siang, tapi langkahnya menuju parkiran.
Alis Sandi bertaut sempurna ketika hampir tiba di tempat kuda besinya terparkir, seorang gadis yang amat dia kenal tengah melihat-lihat mobilnya itu. Tak hanya itu yang dilakukan, ia juga mengintip ke dalam mobil seolah-olah ada yang dicarinya.
"Aku tidak salah, ini memang mobil yang kemarin datang ke rumahku. Ya, ini pasti mobilnya suami Wulan. Tidak salah lagi," gumam Mita sembari menempelkan kedua tangan di jendela kaca mobil milik Sandi.
Suami Wulan itu tidak mengenal sosok gadis tersebut, yang Sandi tahu dia adalah cleaning service di kantornya. Sandi mendesah, berjalan mendekat sembari melipat kedua tangan di perut.
"Apa yang sedang kamu lakukan dengan mobilku?" tanya Sandi tanpa berbasa-basi.
Mita yang mendengar suara sedikit tak asing itu tertegun, mengingat-ingat pemilik suara berat nan seksi yang terdengar di telinganya barusan.
"Aku seperti pernah mendengar suara itu, tapi di mana?" Ia menjauhkan tubuh dari mobil Sandi, masih belum menoleh dan sibuk mencari pemilik suara itu.
"Ekhem!" Sandi berdehem berharap Mita segera menoleh padanya dan menjelaskan apa yang sedang dia lakukan.
Benar, takut-takut Mita memutar kepalanya dengan pelan. Seketika bola mata sahabat Wulan itu membeliak, jantungnya berhenti berdetak, napasnya tercekat, mulut ternganga, tapi tak ada kata yang terucap. Lidahnya kelu tak dapat digerakkan.
"Aku tanya apa yang kamu lakukan dengan mobilku!" tanya Sandi sekali lagi sembari mengurai tautan tangan dan memasukannya ke dalam saku celana.
Mita tak dapat menggerakkan lidahnya untuk berkata, hanya jari telunjuk gadis itu saja yang mengarah pada mobil kemudian pada Sandi. Seolah-olah bertanya, apakah mobil ini milik Anda?
Sandi melirik, sikapnya yang dingin membuat Mita semakin tak dapat menahan getaran tubuhnya.
"Ya, itu mobilku. Apa yang kamu cari di mobilku!" tanya Sandi yang berjalan maju mendekati mobilnya, dan menyingkirkan tubuh Mita dari pintu.
Tak ada yang bisa dilakukan Mita saat ini, dia hanya diam sampai Sandi masuk dan duduk di dalam mobilnya. Tersadar saat deru mobil terdengar, Mita buru-buru menggedor jendela kaca itu.
"Tuan! Tunggu, Tuan! Apa benar Anda yang kemarin datang ke rumah saya, Tuan?" cecar Mita dengan lantang khawatir tak terdengar oleh Sandi.
Laki-laki di dalam mobil sana tertegun, menatap hampa ke depan. Mengingat kejadian saat ia ingin menemui Wulan di rumah susun beberapa waktu lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Hafifah Hafifah
ku harap kejadian itu direkam ama pak andri biar bisa membungkam tuh mulutnya sipopy
2024-03-06
2
Hafifah Hafifah
aduh ketahuan kan sekarang bilangnya g akan mengemis cinta tapi sekarang malah ngejar" kayak pengemis
2024-03-06
2
Sugiharti Rusli
parah si Popy dengan ga tahu malunya memutarbalikan fakta dulu dia yang ga mau meneruskan pertunangannya sama Sandi, semoga si Mitha bisa kasih penjelasan tentang Wulan yah selama kerja
2024-03-06
1