Tok-tok-tok!
Wulan mengetuk sebuah pintu kayu di salah satu rumah susun. Rumah seorang teman yang berprofesi sama seperti dirinya, sebagai seorang cleaning service di kantor besar itu. Tak tahu lagi harus ke mana karena tak akan mungkin Wulan kembali ke rumah setelah ia memutuskan untuk pergi.
"Ya, sebentar!" Suara sahutan dari dalam membuat sedikit tenang perasaan Wulan. Disekanya air mata, harap-harap cemas menunggu pemilik rumah untuk membukakan pintu.
"Ya ... Wulan?" Dahi gadis itu mengernyit melihat kedatangan temannya. "Ada apa? Tumben? Mau berangkat bareng?" Sederet pertanyaan itu tak sanggup Wulan jawab.
Ia melabuhkan diri ke dalam pelukan gadis di hadapannya, menangis tergugu menumpahkan kesedihan di hati. Bingung, tapi gadis pemilik rumah itu tak banyak bertanya. Disapunya punggung Wulan untuk memberi sedikit ketenangan.
"Tenang, Wulan. Kita masuk dulu, kamu bisa cerita padaku. Masih ada waktu," ujarnya seraya melepas pelukan dan mengajak Wulan masuk. Ia melilau ke kanan dan kiri sebelum menutup pintu rumahnya.
Membuatkan teh hangat untuk Wulan, menyuguhkan pada gadis malang itu. Ia duduk di samping Wulan, menunggunya menyelesaikan tangisan.
"Ada apa, Wulan? Kenapa tiba-tiba kamu datang sambil nangis kayak gini?" tanyanya dengan lembut. Diusapnya tangan Wulan, sebagai bentuk perhatian seorang teman.
Wulan mengangkat wajah, menatap gadis tersebut dengan matanya yang merah.
"Mita, Apa aku boleh tinggal di sini? Sementara saja sampai aku memiliki uang untuk menyewa rumah sendiri," pinta Wulan sembari menggenggam jemari gadis tersebut.
Meski tak keberatan, tapi ia merasa heran karena setahunya Wulan sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya bersama sang mertua.
"Aku tidak keberatan sama sekali, tapi kalau boleh tahu kamu ada masalah apa? Bukankah kamu bilang tinggal bersama mertua?" selidik gadis bernama Mita itu.
Wulan menggelengkan kepala, air mata yang jatuh tak tertahankan lagi. Terus saja menganak sungai mengingat musibah yang menimpa pada dirinya.
"Aku difitnah, Mit, dan tidak ada satupun yang percaya padaku. Mamah mertua mengusirku, aku tidak membawa apapun selain pakaian yang melekat di tubuh ini. Aku tidak tahu lagi harus ke mana?" Wulan menangis lagi, teringat pada Sandi yang entah kapan akan kembali.
Mita mengusap-usap punggung Wulan, tahu betul seperti apa perasaan gadis itu. Pastilah sakit, difitnah dan diusir tanpa membawa apapun.
"Kamu yang sabar, Wulan. Aku tidak masalah kamu tinggal di sini selama yang kamu mau. Aku malah senang karena ada teman," ucap gadis tersebut sambil tersenyum.
"Makasih, Mit. Kamu memang teman yang baik, aku tidak akan pernah melupakan kebaikan kamu ini," ucap Wulan seraya memeluk gadis itu lagi.
Sungguh hari yang berat harus dilalui Wulan dengan hati yang besar. Beruntung masih ada orang baik yang mau membantunya. Sejak hari itu Wulan tinggal bersama Mita, menanggalkan status sebagai istri Sandi. Entah apa lelaki itu akan datang mencarinya? Ataukah justru mempercayai fitnah itu.
****
"Wulan, buatkan kopi untuk pak Yanto. Seperti biasa, ya. Sekalian teh hangat untukku," perintah seorang wanita yang berpangkat sekretaris seorang manajer.
Wulan mengangguk tanpa banyak kata. Dia sudah tahu betul selera manajer dan sekretarisnya itu.
"Eh, denger-denger kabar pak direktur yang pergi akan pulang, lho. Banyak yang bilang masih single alias perjaka tingting. Ya, siapa tahu dia melirik kita," seloroh Mita sembari menaruh nampan di atas meja.
Gadis itu duduk sambil memangku dagu, menghayal ke alam liar. Membayangkan bersanding dengan seorang direktur utama perusahaan besar, memimpikan kehidupan mewah yang jauh dari kata susah.
"Memangnya zaman sekarang masih berlaku cerita Cinderella? Jangan mimpi, deh. Wajah pas-pasan kita ini tidak akan dilirik," sahut Wulan sambil menabur kopi dan gula ke dalam sebuah gelas.
Mita memberengut, sadar betul apa yang dikatakan Wulan adalah sebuah kebenaran.
"Mmm ... kamu benar, tapi siapa tahu ada rezekinya." Dia kembali bersemangat. Lalu, beranjak bersama alat tempurnya membersihkan toilet.
Wulan menggelengkan kepala, mengaduk kopi kemudian teh sebelum beranjak dari pantry.
"Wulan, tolong fotocopy ini di bawah, ya. Jangan lama-lama, aku butuh secepatnya," perintah pekerja lain sesaat setelah Wulan mengantarkan minuman ke ruang manajer.
Wulan menerima setumpuk kertas yang dengan cepat dipeluknya agar tidak jatuh berserakan. Membawanya turun ke lantai dasar melalui tangga karena mesin fotocopy di lantai tersebut sedang tidak bisa digunakan.
"Kamu sudah tahu belum? Pak direktur akan kembali dari luar negeri."
Samar Wulan mendengar percakapan yang sama seperti Mita. Penasaran seperti apa direktur yang banyak dibicarakan karyawan di perusahaan tersebut.
"Iya, katanya belum menikah, masih muda. Dia ditinggal pacarnya karena lumpuh, dan sekarang sudah sembuh. Sayang sekali, padahal hanya tinggal bersabar saja," celetuk yang lain membuat Wulan sedikit melirik.
Lumpuh?
Mendengar kata itu, jantung Wulan berdebar. Teringat pada Sandi yang sedang menjalani pengobatan di luar negri dan hampir tiga bulan ini dia lupakan karena tak ada kabar beritanya.
Mas Sandi? Apa kamu ingat padaku, Mas?
Hati Wulan bergetar lirih, sakit bukan main. Menikah, tapi seperti tidak menikah. Tak bisa menikmati hidup sebagai seorang istri sejak sembilan bulan lalu ditinggal pergi. Kedua karyawan itu masih saja berbincang tentang direktur mereka sampai keluar ruangan tersebut.
Wulan menghela napas, mencoba untuk melupakan Sandi saja. Rasanya tidak mungkin lelaki itu akan percaya padanya.
****
"Mit, aku akan menyewa rumah sendiri. Uangku sudah cukup," ucap Wulan sepulang mereka bekerja.
"Jangan, Wulan. Kamu tinggal di rumahku saja, ya. Sudahlah anggap saja Yudi itu patung kalau ada ke rumah." Mita merangkul pundak Wulan, menolak ucapannya.
Yudi, adalah kekasih Mita yang akan datang berkunjung setiap akhir pekan.
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapi, titik!"
Wulan menghela napas, tersenyum pada sahabatnya dan mengangguk patuh. Biarlah dia akan tinggal bersama Mita beberapa Minggu lagi.
"Kita ke mal, yuk!" ajak Mita yang dengan cepat diangguki Wulan.
Keduanya menaiki angkutan umum, bersenda gurau untuk mengusir rasa sesak yang merebak. Uang gaji yang diterima memang cukup besar untuk mereka yang masih lajang.
Melampiaskan rasa sakit yang mendera, Wulan bermain apa saja di sana. Berlarian dari satu toko ke toko lain, melihat-lihat, meraba-raba apa saja yang menjadi keinginan. Hanya sebatas keinginan dan sadar betul tidak akan mampu memiliki.
"Kita ke sana!" Mita menunjuk arah lain, menarik tangan Wulan untuk segera pergi.
Langkah Wulan terhenti tatkala melihat dua orang yang berjalan berlawan dengannya. Mereka nampak bahagia, dahi Wulan mengernyit ketika melihat ibu mertua tersenyum bahagia.
"Kenapa?" Mita menghampiri dengan cemas.
"Tidak ada apa-apa, yuk!" Wulan tersenyum dan mengajak Mita pergi.
"Nanti kalo sudah menikah dengan Sandi, kamu bisa tinggal di rumah Tante. Jujur saja, Tante kesepian."
Lamat-lamat Wulan mendengar percakapan mereka ketika berpapasan. Ia memalingkan wajah, menutupi sebagiannya dengan rambut agar sang mertua tidak melihat.
Apa? Menikah dengan mas Sandi? Jadi, benar. Mereka semua sudah melupakanku.
"Wulan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
ko yah ga berperasaan banget kalo suami si Wulan ga ingat sama sekali sama iatri yang dia tinggalkan,,,
2024-02-24
1
Hafifah Hafifah
😭😭😭😭😭😭 lw sandi ampe nikah lagi kamu harus bisa melupakannya dan mulai hidup yg baru
2024-02-22
2
‼️n
Hai mb Ais......karya baru???👍👍👍
2024-02-21
1