Keesokan harinya, Wulan telah bersiap dengan tas berukuran kecil miliknya. Sejak keluar dari rumah Sandi, ia tidak memiliki banyak barang. Hanya beberapa helai pakaian saja.
"Ya Allah, sedih sekali," rengek Mita sembari memeluk sebelah tangan Wulan.
Hanya sebuah senyuman tipis yang sebenarnya enggan ia lakukan sebagai jawaban atas rengekan sahabatnya itu. Beberapa saat menunggu, sebuah mobil sedan hitam berhenti di hadapan mereka.
Seorang laki-laki berpakaian rapi keluar sembari membuka kacamata dan menghampiri keduanya.
"Siapa di antara kalian yang bernama Wulan?" tanyanya menatap kedua gadis yang berdiri bersisian di tepi jalan.
"Mmm ... saya. Apa Tuan yang akan membawa saya ke kantor cabang?" tanya Wulan begitu gugup.
Laki-laki jangkung berjambang tipis itu tersenyum, dan mengangguk kecil.
"Silahkan!" katanya mempersilahkan Wulan untuk masuk ke dalam mobil terlebih dahulu.
"Mmm ... bisa tidak Mita ikut menumpang sampai kantor?" pinta Wulan sebelum beranjak.
Laki-laki tersebut melirik Mita, kemudian memberikan anggukan kecil. Keduanya beranjak masuk, saling berpegangan tangan seolah-olah waktu tak akan pernah mempertemukan mereka kembali.
****
"Saya Chiko. Mungkin ayah saya sudah memberitahu kamu tentang saya," ucap laki-laki itu setelah mengantar Mita ke kantor pusat.
Wulan menelisik wajah pemuda yang ditumbuhi bulu-bulu halus di bagian bawahnya itu lewat kaca spion tengah.
"Saya yang akan bertanggungjawab atas semua keperluanmu di sana sampai kamu terbiasa melakukan semuanya sendiri," lanjutnya disambut anggukan kepala oleh Wulan.
Belum ada kata yang keluar dari lisan gadis itu, bingung apa yang harus diperbincangkan karena mereka belum saling mengenal satu sama lain. Laki-laki bernama Chiko itu melirik, memperhatikan wajah Wulan yang terlihat sendu.
Ia membasahi bibirnya sendiri, tak menyangka Wulan adalah gadis pendiam. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk kemudi, menyusun kata demi kata membuat kalimat yang pas untuk diperbincangkan.
"Ngomong-ngomong kenapa kamu mau jadi cleaning service? Kamu terlihat masih muda."
Akhirnya kalimat itu keluar dari lisannya. Wulan kembali menoleh, menatapnya melalui kaca kecil di sana.
"Harus bekerja apa untuk lulusan SMA sepertiku?" Wulan balik bertanya, tapi tidak menuntut jawaban.
Chiko tercengang beberapa saat, setelahnya ia tak lagi bertanya. Mengantar Wulan sampai di sebuah rumah kontrakan yang bersih dan asri.
"Ini rumah kontrakan yang akan kamu tinggali. Kecil memang, tapi cukup nyaman, aku sudah memeriksa bagian dalamnya," beritahu Chiko seraya menyerahkan kunci rumah tersebut.
Ia menunggu Wulan di luar, membiarkan istri Sandi itu merapikan pakaian dan bergegas keluar untuk berangkat ke kantor bersama Chiko.
****
"Ini loker kamu, di dalamnya sudah ada seragam untuk kamu. Masalah pekerjaan sepertinya tidak perlu aku jelaskan lagi, kamu pasti sudah mengerti apa yang harus dilakukan," ujar laki-laki itu sambil tersenyum.
Wulan mengangguk mengerti, tak banyak bicara ia segera mengambil seragam dan memasukkan tas ke dalam loker. Chiko berbalik, tapi sebelum keluar dari ruang ganti ia sempat melayangkan senyuman untuk Wulan.
"Kenapa, sih, laki-laki itu? Kok, senyum-senyum aneh begitu," gumamnya yang kemudian masuk ke dalam sebuah bilik dan mengganti pakaian.
"Bismillahirrahmanirrahim!" Wulan menarik napas, mencoba menerima tempat kerja barunya.
Pekerjaan yang sama seperti di kantor pusat dulu, bedanya tak ada Mita di sini. Sendirian.
"Heh, pegawai baru! Sini!" panggil seorang karyawan dengan ketua.
Wulan datang tergopoh dengan sapu di tangannya. Mengangguk kecil sambil bertanya tentang keperluannya.
"Buatkan aku teh, sama kopi sekalian untuk semua karyawan di sini, ya. Jangan pake lama!" titahnya sengit.
Wulan melongo, menghitung jumlah karyawan laki-laki yang ada. Setelah memastikan, ia pamit undur diri untuk membuatkan pesanan. Selang beberapa menit, ia keluar sembari membawa sebuah nampan besar berisi cangkir-cangkir yang dipenuhi minuman.
Pantas saja tak ada yang betah bekerja sebagai cleaning service di kantor cabang ini, ternyata semua karyawannya ketus dan judes.
Begitu isi pemikiran Wulan setelah menilai satu per satu karyawan yang ada di sana. Ia menghela napas, belum ada satu hari bekerja sudah sangat melelahkan seperti ini.
"Aku kangen kamu, Mit," gumam Wulan lirih.
Ia duduk di lantai bersandar pada dinding. mengusap peluh yang membanjiri wajah. Tak ada waktu untuk memikirkan hal yang tak perlu.
"Anak baru! Cepat bersihkan mejaku, kopi yang kamu taruh di sana tumpah," titah seorang karyawan laki-laki yang datang langsung ke pantry.
Jika dilihat-lihat hanya ada dirinya bersama satu orang laki-laki yang menjadi petugas kebersihan di kantor cabang tersebut.
"Baik, Kak."
Wulan cepat beranjak, membawa sebuah kain pel di bahu. Bergerak cepat membersihkan tumpahan kopi di meja milik karyawan tersebut.
"Sudah, Kak."
"Hmmm."
Tanpa ada kata terima kasih seperti yang dilakukan karyawan di kantor pusat dulu. Wulan menghela napas, pergi kembali ke pantry untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Ia menengadah, menatap langit-langit dengan pandangan hampa. Rasanya remuk semua tulang di tubuh, padahal baru beberapa jam saja bekerja.
"Di sini memang seperti itu, kamu harus kuat-kuat."
Wulan menoleh saat mendengar suara laki-laki berseragam sama seperti dirinya yang masuk ke dalam.
"Sudah banyak yang bekerja di sini, tapi mereka semua tidak betah lantaran, ya ... seperti itu," lanjutnya sembari menuangkan air ke dalam gelas dan menenggaknya.
"Kamu sendiri sudah berapa lama bekerja di sini?" tanya Wulan beranjak sedikit menekuk lutut.
"Mmm ... kira-kira hampir enam bulan. Jika bukan karena kebutuhan, aku pun sudah keluar mencari pekerjaan lain. Perlu kamu tahu, gaji cleaning service hanya di kantor ini yang paling besar," jawabnya.
Bukan masalah gaji besar, tapi jam kerjanya yang begitu melelahkan. Pekerjaan yang tak seberapa terasa lebih berat. Namun, Wulan ingin mencoba semampunya saja.
****
Sementara di tempat lain, di gedung tinggi menjulang ke langit. Seorang pria telah berpakaian rapi, menatap dirinya di cermin, mematut apa yang ia kenakan.
"Apa benar, Anda akan mendatangi Nona hari ini di rumah susun itu?" tanya Pak Andri yang begitu setia menunggui majikannya.
"Iya, Pak. Aku akan memberi kejutan padanya hari ini. Rasanya tak sabar ingin melihat bagaimana reaksinya," ujar Sandi sembari membayangkan senyum manis Wulan menyambutnya.
Ia melenggang diikuti lelaki paruh baya yang menggelengkan kepala sambil tersenyum. Masa-masa jatuh cinta, memang selalu membuat orang terlihat jauh lebih tampan.
"Perlu saya antar, Tuan?" ucap Pak Andri begitu keduanya tiba di parkiran apartemen.
"Tidak perlu, Pak. Saya akan ke sana sendiri saja," jawab Sandi penuh semangat.
Pak Andri tersenyum, mengangkat kepalan tangannya memberi semangat.
"Selamat melepas rindu, Tuan!" katanya seraya melambaikan tangan melepas kepergian mobil Sandi.
Ia memutar lagu cinta, berayun mengikuti alunan musik yang dimainkan. Hatinya berdebar-debar, peluh bercucuran padahal AC sudah dipastikan menyala.
Sandi memarkir mobil di halaman gedung bersusun sesuai yang ia dapatkan dari informasi bawahan Pak Andri.
"Lantai tiga, pintu paling pojok," gumamnya menghafal letak rumah yang ia dengar
Sandi berjalan pelan, menapak nyaris tanpa suara, salah satu tangan bersembunyi di belakang tubuh menggenggam seikat bunga. Mengangkat tangan yang lain hendak mengetuk, menggantung di udara beberapa saat karena ragu. Lalu ....
Tok-tok-tok!
"Sayang, ada yang mengetuk pintu!"
Deg!
Suara laki-laki?
****
Mohon maaf hari ini telat update. Mohon doa untuk Mak author yang hari ini berpulang ke Rahmatullah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Soraya
turut berdukacita ya thor smoga khusnul hotimah
2024-03-13
0
Sugiharti Rusli
wah si Sandi salah paham nih jadinya pasti gegara cowoknya si Mita
2024-02-24
1
Maulana ya_Rohman
knp k3bnaran gak di tegak kan😭😭😭😭😭😭😭😭
2024-02-24
1