Bukan Mimpi

Matahari sudah sampai pada puncaknya, semua karyawan menjeda pekerjaan untuk makan siang dan melakukan kegiatan apa saja sebelum kembali pada tugas masing-masing.

Wulan berjalan seorang diri sambil mendekap mukena di dada. Baru saja menunaikan ibadah empat raka'at bersama beberapa karyawan lainnya. Ruang hampa dalam segumpal daging kembali menyentak, mengantarkan Wulan pada sosok yang menjadi imamnya.

"Mas Sandi!" Ia bergumam, kemudian menarik napas panjang mengurai sesak yang diakibatkan rindu menggebu.

"Astaghfirullah!" Wulan tersentak kaget ketika masuk ke dalam pantry dan mendapati seseorang berseragam satpam tengah berdiri membelakangi.

"Bapak sedang apa?" tanya Wulan sambil berjalan mendekati loker dan menyimpan mukenanya di sana.

Hati Sandi berdenyut, mendengar suara Wulan yang selalu ramah terhadap siapa saja. Oleh karena satpam tersebut hanya diam saja, Wulan mendekat. Memiringkan kepala untuk dapat melihat wajahnya, tapi sosok tersebut lekas berpaling tanpa berkata apapun. Hanya jari telunjuknya menunjuk toples kopi dan gula.

"Oh, Bapak mau buat kopi? Biar saya buatkan," tawar Wulan disambut anggukan kepala oleh laki-laki misterius itu.

Mungkin Bapak ini tidak bisa bicara, atau malu.

Wulan menghendikan bahu, kemudian mengambil cangkir dan meracik kopi untuk satpam tersebut dibawah tatapan mata Sandi yang dipenuhi kerinduan. Ingin dia memeluknya, membisikan kata rindu agar terbebas dari belenggunya.

"Wulan!"

Suara panggilan itu menyentak alam sadar Sandi, matanya melirik tajam pada sosok Chiko yang berdiri di ambang pintu.

"Ya, Tuan?"

Laki-laki berjambang tipis itu melirik Sandi, merasa heran dengan kehadirannya di pantry. Akan tetapi, dia tidak terlalu mempedulikan. Matanya kembali beralih pada Wulan, tersenyum mencurigakan. Membuat Sandi merasakan hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Aku mau mengajak kamu makan siang bersama," ucap Chiko penuh harap.

Wulan tertegun, antara menerima dan menolak. Sandi melirik sambil menunggu reaksi Wulan, kepalanya terus tertunduk agar tak terlihat oleh sang istri.

"Maaf, Tuan, saya tidak bisa. Saya bawa bekal sendiri," tolak Wulan halus sambil tersenyum agar Chiko tidak tersinggung.

Sandi tersenyum miring, mengejek anak bawahannya itu yang sudah mendapat penolakan dari Wulan.

"Aku mentraktir semua karyawan hari ini, mereka sudah pergi ke restoran seberang kantor dan cuma kamu saja yang belum pergi. Ayolah, Wulan! Kali ini saja," mohon Chiko memelas.

Sandi mengepalkan tangan menahan geram, kenapa memaksa sekali padahal Wulan jelas-jelas sudah menolak. Masih menunggu apa yang akan menjadi jawaban Wulan sambil menyiapkan hati dengan segala kemungkinan.

"Maaf sekali lagi, Tuan. Saya tidak bisa ikut bergabung. Biar saya di sini saja, selamat menikmati makan siang bersama teman-teman, Tuan!" ujar Wulan seraya menyerahkan kopi yang baru saja dibuatnya kepada satpam yang masih di sana.

Laki-laki misterius itu menganggukkan kepala sebagai ganti ucapan terima kasih. Wulan tersenyum dan berjalan ke arah loker mengambil bekal yang dibawanya dari rumah. Duduk tanpa mempedulikan ekspresi Chiko yang nampak kecewa atas penolakannya.

"Ya sudah, selamat menikmati makananmu!" Atasan Wulan itu meneguk saliva, menyempatkan diri melirik satpam yang masih saja berdiri di tempatnya semula, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan pantry.

Sandi mendesah pelan, menoleh sepenuhnya pada sang istri yang duduk membelakangi dan mulai menyuapkan nasi ke mulutnya. Laki-laki itu mendekat, melangkah tanpa suara. Sudah tak lagi dapat menahan diri merasa begitu dekatnya dengan gadis pujaan.

Sandi membungkukkan tubuh sedikit, menahan napas agar Wulan tak menyadari kehadirannya.

"Sepertinya enak, apa aku boleh ikut memakannya?" bisik Sandi tepat di telinga Wulan.

Gadis itu membeku, tangannya berhenti di udara. Lalu, denting sendok beradu dengan piring pun menggema di ruangan tersebut. Air mata Wulan jatuh tanpa komando, perasaan yang ia pendam membuncah dan tak dapat dikendalikan.

Ia menjatuhkan kepala di atas meja, menangis tersedu. Berpikir suara Sandi yang baru saja ia dengar hanya halusinasi semata dari rasa rindu yang menggebu.

"Mas Sandi! Kapan kamu pulang, Mas? Aku baru saja mendengar suara kamu di sini." Wulan melirih, terisak pilu. Membuat Sandi ikut menangis karenanya.

"Aku sudah pulang, sayang," sahut Sandi setelah menegakkan tubuh dan menetralkan perasaannya.

Isak tangis Wulan terjeda, kemudian berubah semakin histeris. Masih belum mempercayai pendengarannya sendiri.

"Tidak! Mas Sandi bukan di sini, dia tidak akan pernah tahu aku di sini." Wulan menggeleng masih membenamkan kepala di atas meja.

Sandi menengadah, menahan laju tangis yang terus merenda. Sungguh hatinya tersayat, melihat air mata Wulan yang mengalir deras. Istrinya itu tidak pernah tahu bahwa mudah saja bagi Sandi menemukannya.

"Bagaimana kami akan bertemu? Aku tidak mungkin kembali ke kota itu lagi. Ya Allah ...." Tangis Wulan semakin pilu, benar-benar mencabik segala rasa di hati Sandi.

Laki-laki itu mengepalkan tangan, matanya memancarkan api amarah. Ini semua karena ibu dan kakaknya yang sudah membuat Wulan harus berpindah kota.

"Mas ...." Wulan melirih, suaranya bergetar. Hilang timbul karena tangisan.

Sandi sudah tidak dapat menahan diri lagi, memeluk Wulan dengan erat, membuat tubuh gadis itu membeku.

"Aku sudah di sini, Wulan. Aku sudah pulang. Jangan menangis lagi!" bisik Sandi dengan bergetar.

Wulan membeku, kehangatan yang hampir satu tahun menghilang, kini dapat ia rasakan lagi. Aliran darahnya memanas, mengantarkan rasa hangat pada kedua mata. Wulan mengangkat tubuh, menatap tangan yang melingkari dadanya.

Mata Wulan terbelalak ketika menyadari ia tak sendiri. Ada petugas keamanan yang baru saja ia buatkan kopi. Sadar, Wulan melepas paksa lingkaran tangan tersebut dan mendorongnya dengan kuat hingga tubuh Sandi terjerembab dan menabrak loker.

"Aw!" Sandi meringis, topi yang jatuh ke depan wajah menyembunyikan kenyataan dari Wulan bahwa dia adalah suaminya.

"Lancang sekali! Berani-beraninya kamu menyentuhku! Pergi! Pergi dari sini!" teriak Wulan meradang.

Dia benar-benar marah sekarang hingga tenaganya cukup besar untuk menggulingkan seorang Sandi.

"Ah, bokongku! Hampir satu tahun aku meninggalkan istriku, sekarang berubah kuat sekali. Bahkan, dia sudah tidak mengenaliku lagi," gumam Sandi, beranjak pelan untuk berdiri sambil membenarkan letak topinya.

Wulan mematung, kali ini telinganya tidak salah mendengar. Suara itu adalah milik suaminya yang sudah lama pergi. Kaki jenjang gadis itu melangkah, mengikis jarak di antara mereka. Matanya yang berair tak berkedip, detak jantung memukul-mukul rongga dada, berpacu dengan sebuah praduga.

Hanya satu kali gerakan tangan, Wulan menyambar topi Sandi dan membuangnya. Mata mereka beradu, Wulan membeku. Tetes demi tetes bulir bening terus berjatuhan melihat sosok yang begitu ia rindukan.

Sandi tersenyum dan berujar, "Aku pulang, sayang."

Tangis Wulan pecah, berhambur ke pelukan Sandi. Memukul-mukul dada suaminya itu meluapkan kekesalan yang dibalut rindu.

"Menangislah hari ini, setelah ini jangan pernah lagi menangis. Maafkan aku, Wulan. Maafkan aku istriku!" Sandi memeluk erat tubuh istrinya itu, saling menumpahkan kerinduan yang hampir satu tahun ini mereka pendam.

Terpopuler

Comments

Maulana ya_Rohman

Maulana ya_Rohman

semoga gak ada perpisaghan lagi😩...
jadi terhura aku😢😢🤧😭😭😭😭😭😭🤧

2024-02-29

1

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

bagus lha Sandi ga berlama-lama sama penyamarannya, kasihan Wulan ga ada yang jaga selama ini dia😔😔

2024-02-28

1

Ochyie Aguztina

Ochyie Aguztina

sedih aku thooor 😭

2024-02-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!