NovelToon NovelToon

Janji Cinta

Sial

"Cleaning service?" Wulan menghela napas berat.

Dia memang memimpikan bekerja di perusahaan besar itu, tapi tak menyangka akan berada di posisi sebagai petugas kebersihan.

"Tidak apa-apa. Aku akan bekerja dengan baik sambil menunggu kedatanganmu, Mas." Ia tersenyum penuh semangat dan harapan.

****

Enam bulan sudah berlalu, aku jalani hidup seorang diri tanpa dirimu. Tidak ada masalah yang terlalu berat untuk kuhadapi, semua berlalu begitu saja setiap kali harapan akan kedatanganmu muncul dalam benak.

Mas, aku sudah lulus sekarang dengan nilai terbaik. Sayang, perusahaan besar itu tidak menerima karyawan yang hanya lulusan SMA kecuali sebagai petugas kebersihan. Aku sudah bekerja sekarang, sambil menghabiskan waktu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Aku ingin membuatmu bangga tanpa harus menyusahkanmu. Aku ingin kau tersenyum saat kembali nanti dan melihatku telah menjadi wanita mandiri. Aku yakin, pekerjaan saat ini akan menjadi batu loncatan untukku menuju pekerjaan yang lebih baik.

Rumah ini sepi sejak kepergianmu, Mas. Mamah dan kak Risna lebih sering pergi keluar menghabiskan waktu bersama Hana. Mereka bahkan tidak tahu aku telah bekerja. Sengaja tak kuberitahu mereka karena takut malu memiliki menantu hanya seorang petugas kebersihan saja.

Mas, kuharap kau cepat sembuh dan sesegera mungkin kembali. Jujur saja aku rindu meski rasa cinta belumlah tumbuh. Itu karena kau adalah manusia pertama yang memperlakukan aku layaknya manusia pada umumnya.

Kutulis semua ini sebagai teman jenuh di kamar.

****

Wulan, singkat saja namanya. Usianya kini memasuki dua puluh dua tahun. Mencoba peruntungan dengan memasukan surat lamaran ke perusahaan terbesar yang menjadi impiannya tanpa tahu jika perusahaan tersebut milik sang suami.

Sayang, memang keberuntungan belum memihak padanya. Dengan dalih hanya lulusan SMA, Wulan hanya diterima sebagai petugas kebersihan saja. Namun, tak apa, hitung-hitung mandiri dan tidak melulu mengandalkan uang suami.

Ia menutup diary dan menyimpannya di laci, beralih pada ponsel menghubungi sang suami. Satu kali, dua kali panggilan tak kunjung terjawab.

"Maaf, Nona. Tuan sedang melakukan terapi, dan ponselnya ada bersama saya."

Sebuah pesan masuk, diketik oleh sang asisten suami--pak Andri.

"Bagaimana perkembangannya, Pak?"

Sangat berharap sebentar lagi akan bertemu, Wulan menanti jawaban dengan cemas. Menggigit bibir bagian dalam karena kemarin masih belum banyak perkembangan.

"Doakan saja semoga tuan segera pulih dan segera kembali ke tanah air."

Balasan yang sama seperti hari-hari kemarin.

"Apa memang separah itu?" Wulan menghela napas dalam dan panjang. Dia ingat, Sandi telah divonis dokter lumpuh permanen. Tentu aja tidak akan mudah.

"Berapa lama lagi, Pak?"

Wulan berharap tak akan lama lagi, tapi jikapun harus menunggu dia akan tetap menunggu selama apapun itu.

"Mungkin beberapa bulan ke depan lagi, Nona. Kami juga tidak tahu. Hanya doakan saja karena tuan juga sudah tidak sabar ingin kembali."

Wulan tersenyum membaca pesan balasan dari pak Andri. Ia meletakkan ponsel bersiap untuk pergi bekerja. Wulan tidak mengatakan jika ia sudah bekerja karena tak ingin membuat Sandi khawatir.

Keluar kamar, keadaan rumah sudahlah sepi. Wulan sudah terbiasa dengan hal itu, ia menuruni anak tangga menuju dapur untuk sarapan.

"Ke mana semua orang, Bi?" tanya Wulan seraya duduk di kursi bersiap menyantap sarapan.

"Nyonya sama non Risna pergi mengajak non Hana jalan-jalan." Wulan mengangguk dan mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ia mengernyit ketika melihat ketiga asisten rumah tangga itu telah berpakaian rapi.

"Bibi mau ke mana?" tanya Wulan menjeda pergerakan tangannya yang hendak menyuapkan nasi.

"Biasa, Non. Bibi mau belanja bulanan," jawab wanita paruh baya itu sambil tersenyum.

"Bertiga?" Wulan melirik kedua wanita lainnya.

"Iya, memang biasanya juga begitu. Non juga mau pergi, 'kan?" Bibi tersenyum lembut, Wulan mengangguk sambil membalas senyumnya.

Kini, hanya dirinya seorang di rumah itu. Wulan bergegas naik ke kamarnya mengambil tas dan akan segera pergi.

Namun, suara pintu tertutup, mengejutkannya. Ia berbalik dan mendapati seseorang tengah menyeringai jahat padanya.

Wulan terbelalak, sedikit heran sekaligus terkejut melihat sosok tersebut yang berdiri menyeringai di depan pintu kamarnya. Sebelah tangan sosok itu memegang kunci, mengangkatnya setinggi wajah, menunjukkan pada Wulan bahwa tidak ada jalan keluar baginya.

Demi apapun, detak jantung bertalu-talu tanpa dikomando. Tanpa dijelaskan pun ia tahu tengah berhadapan dengan situasi seperti apa saat ini.

"Mau apa kamu?" tanya Wulan tegas, tapi bergetar. Sungguh, ia sedang ditakuti oleh pikirannya sendiri saat ini.

Laki-laki itu tidak menjawab, tertawa kecil sembari melipat kedua tangan di perut. Menatap nyalang dan liar pada sosok Wulan yang mengenakan setelan celana panjang dan kemeja putih berlengan panjang pula. Sesuai keinginan Sandi bila ia bekerja.

"Jangan pura-pura bodoh, Wulan. Aku tahu selama ini kamu sering diam-diam menatapku. Akui saja, Wulan, kalau kamu itu menginginkan diriku," ujar laki-laki tersebut tanpa tahu malu.

Wulan menatap berang, berdiam diri di tempatnya semula tanpa bergerak. Kedua mata memerah, tergenang air di dua sudutnya. Bibirnya bergetar, begitu pula dengan kedua tangan yang saling meremas tali tas dengan kuat.

"Apa maksud kamu? Aku sama sekali tidak pernah memperhatikan kamu. Aku sudah bersuami dan tidak akan pernah mengkhianati suamiku sendiri," ucap Wulan tidak terima.

Laki-laki itu tertawa, tidak peduli pada apapun yang dikatakan Wulan. Ia melangkah mendekat, dan Wulan terpaksa harus mundur untuk menghindarinya.

"Jangan mendekat! Tolong jangan lancang! Keluar dari kamarku sekarang juga!" pinta Wulan sembari merentangkan salah satu tangannya ke depan.

Laki-laki itu mengangkat alis, langkahnya juga berhenti, tapi bukan berarti dia akan mengurungkan niat bejatnya. Lalu, pergi meninggalkan kamar Wulan begitu saja.

"Sudahlah, Wulan. Jangan sok suci! Aku tahu kamu begitu menderita menikah dengan Sandi yang tidak berguna itu. Sebagai perempuan normal, aku juga tahu kamu pasti menginginkan itu. Percayalah, aku bisa mengabulkannya. Aku akan memberimu kepuasan yang tidak bisa diberikan Sandi. Bagaimana?"

Ia merentangkan kedua tangan sambil mengukir senyum menjijikkan. Wulan melirik tangannya yang menggenggam kunci, targetnya adalah merebut benda tersebut agar dapat keluar dari kamar.

"Ayo, Wulan! Jangan malu-malu! Aku sudah bosan dengan Risna, dan kamu pastilah masih enak untuk dinikmati. Aku berjanji tidak akan meninggalkan rasa sakit," ucapnya benar-benar membuat Wulan ingin memuntahkan isi perut.

Cuih!

Wulan meludah, tak sudi sekali menyerahkan kehormatan pada laki-laki bejat seperti kakak iparnya itu.

"Jangan mimpi! Meskipun kamu bukan kakak iparku, aku tidak akan pernah menyerahkan kehormatanku padamu. Pergilah, jika tidak aku akan berteriak sekencang mungkin!" ancam Wulan tidak main-main.

Ferdi--suami Risna mengangkat sebelah alisnya. Lalu, tertawa terbahak-bahak.

"Berteriaklah, Wulan! Berteriaklah yang kencang, tapi kamu harus tahu tidak akan ada yang mendengarmu karena semua orang sedang pergi dan hanya ada kita berdua di rumah ini."

Sial! Aku lupa, ya Allah. Tolong hamba!

Wulan mengeratkan cengkraman pada tali tas, saat ini tidak ada yang bisa menolongnya selain diri sendiri. Wulan harus bergantung pada keberaniannya.

Wulan mengambil ancang-ancang untuk berlari menerobos tubuh tinggi itu sambil merebut kunci. Namun, tangan Ferdi begitu cepat bertindak, mencekal lengan Wulan terlebih dahulu dan menyudutkannya pada dinding. Salah satu tangannya menahan kedua tangan Wulan, dan yang lain mengurung tubuh wanita itu.

"Tolong jangan lakukan ini padaku! Kumohon!" lirih Wulan dengan air mata yang mulai berjatuhan dari pelupuk.

Namun, laki-laki itu tidak peduli, dan tetap melanjutkan aksinya. Sungguh sial memang!

Fitnah

Sebenarnya sudah beberapa kali Ferdi--kakak iparnya itu hendak melakukan tindakan tak senonoh terhadap Wulan. Namun, tak pernah terlaksana karena selalu terpergok oleh istri atau mertuanya, juga anak mereka.

Wulan selalu waspada ketika semua orang pergi, itulah kenapa dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar sampai semua orang kembali ke rumah dan berkumpul. Kamar pun tak pernah lupa ia kunci, dan pagi itu dia hendak pergi. Wulan pikir, laki-laki itu pun ikut pergi.

Tangan Ferdi dengan lancang mengusap air mata di pipi Wulan. Meraba kulit wajah gadis itu sampai ke lehernya. Bahkan, dia pun dengan berani mengendus pundak Wulan yang jelas-jelas tertutup kemejanya.

"Kumohon, jangan lakukan ini padaku. Jangan!" Wulan meronta dengan sekuat tenaga ketika bibir Ferdi mendarat di bagian lehernya.

"Diam!" Ferdi membentak, tapi Wulan tak jua berhenti meronta.

Plak!

Sampai satu tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kirinya, meninggalkan jejak kemerahan yang sangat jelas. Wajah Wulan berbalik kasar, sampai pelipisnya membentur dinding. Rasa pening mendera, tapi ia tak bisa lengah.

"Lepaskan aku, brengsek! Akan aku adukan perbuatan kamu ini pada mamah dan istrimu!" Wulan kembali mengancam, sambil terus mencoba untuk melepaskan diri dari cekalan tangan besar Ferdi.

"Argh!" Wulan menjerit manakala tangan Ferdi menahan rahangnya ke dinding.

"Aku tidak peduli, adukan saja pada mereka. Yang ada mereka tidak akan pernah mempercayai kamu, dan pasti akan mengusir kamu dari rumah ini. Setelah itu, kamu tahu apa yang akan terjadi? Bahkan, Sandi saja tidak akan pernah percaya padamu," tekan Ferdi yang kemudian menyeringai menunjukkan kebengisan dalam dirinya.

Cuih!

Wulan melempar ludah tepat di wajahnya. Ferdi yang jengah, menekan dagu gadis itu dengan kuat. Disapunya cairan menjijikkan dari wajah, untuk kemudian dia mengikis jarak antara mereka.

"Jangan munafik, Wulan. Aku tahu kamu sangat menginginkan itu dari suamimu, tapi sayang dia lumpuh dan tidak dapat memberikannya. Kamu tenang saja, sebagai ipar yang baik aku akan mewujudkan apa yang tidak dapat diwujudkan laki-laki itu."

Ferdi menyeringai, mulai menyerang Wulan dengan beringas. Sekuat tenaga Wulan menghindar, kedua tangan pun tak ia biarkan terdiam. Mendorong dada Ferdi dengan kuat berharap laki-laki itu akan menjauh. Akan tetapi, gagal karena tenaga Ferdi lebih kuat darinya.

"Lepaskan aku, kamu laki-laki brengsek, bajingan! Siapa yang sudi memberikan kehormatan pada laki-laki bejat kayak kamu!" kecam Wulan sembari terus berusaha mendorong tubuh Ferdi meski laki-laki itu pun terus melakukan serangan.

Ferdi tak tinggal diam, dia kembali menahan kedua tangan Wulan dan melanjutkan serangan. Namun, tak satupun serangannya mengenai sasaran. Hal tersebut membuat Ferdi geram, diseretnya tubuh Wulan dan dibanting di atas ranjang.

Gadis itu tak menyia-nyiakan sekecil apapun kesempatan, dia bangkit dan mencoba untuk pergi, tapi lagi-lagi Ferdi mendorongnya dengan kuat sehingga tubuh Wulan kembali terjengkang ke atas kasur.

"Biarkan aku pergi! Kumohon biarkan aku pergi!" Wulan melawan dengan kedua tangan menahan tubuh Ferdi agar tak jatuh di atasnya.

"Tidak akan aku lepaskan! Diamlah, dan nikmati saja yang akan kita lakukan. Kamu juga pasti akan ikut menikmati rasanya." Ferdi tertawa melihat air mata Wulan yang bercucuran.

Masih melawan meski sadar tenaga tak imbang, tapi bukan saatnya untuk menyerah. Wulan memanfaatkan kakinya yang bebas untuk menendang bagian vital Ferdi, dan berhasil.

"Argh! Brengsek! Dasar perempuan tak tahu diri!" Ferdi mengumpat, berjalan mundur sambil memegangi bagian bawahnya.

Wulan tidak menunggu lebih lama, segera bangkit dan merebut kunci dari tangan Ferdi.

"Awas kamu, Wulan! Kamu tidak akan bisa lepas dariku!"

Sambil meringis, Ferdi mengejar Wulan yang sedang membuka kunci pintu. Gadis itu segera berlari, tapi terlambat karena Ferdi kembali mencekal tangannya.

"Sudah aku bilang kamu tidak akan bisa lepas dariku!" geram laki-laki itu mencengkeram kuat-kuat pergelangan tangan Wulan.

"Tidak! Kumohon, biarkan aku pergi. Lepaskan aku, biarkan aku pergi!" Bagaimanapun Wulan memohon, suami Risna yang sudah dirasuki setan itu tak menggubris.

Dia melempar tubuh Wulan pada sofa di lantai atas, dan kembali menyerang. Ingin menyerah saja rasanya, tapi kesadaran Wulan kembali mengingatkan ada seseorang yang lebih berhak akan datang. Dia mendorong tubuh Ferdi hingga berhasil menciptakan jarak. Lalu, segera berlari menuruni anak tangga.

"Brengsek!" Ferdi mengumpat. Sudah terlanjur dan dia tidak ingin kehilangan kesempatan emas itu. Seperti digerakkan sesuatu yang tak kasat mata, kaki Ferdi melangkah dengan cepat.

Belum sampai tangan Wulan menggapai pintu utama, Ferdi kembali berhasil menarik tubuhnya.

"Argh! Lepas!" Wulan berteriak, bersamaan dengan pintu utama yang terbuka.

Reflek Ferdi mendorong tubuh Wulan dengan sekuat tenaga hingga terjerembab di lantai dengan menyedihkan.

"Brengsek! Dasar perempuan tak tahu malu, kamu pikir aku mau memenuhi permintaan kamu itu, hah! Aku tidaklah mungkin mengkhianati istri serta adik iparku sendiri!" bentak Ferdi sembari menuding Wulan yang menangis sesenggukan di lantai.

Wulan menengadah, mengernyit dahinya mendengar ucapan Ferdi yang bertolakbelakang itu. Air matanya jatuh begitu deras, menatap laki-laki bajingan yang berkacak pinggang sembari menyalang ke arahnya.

"Apa maksudnya ini, Mas? Apa yang sedang kalian lakukan?" Suara Risna menyadarkan Wulan dari situasi yang terjadi. Ia melirik, dan menggeleng pada kakak iparnya itu.

"Ah, sayang!" Ferdi berubah, dia berjalan cepat menghampiri Risna seolah-olah dialah korbannya.

"Ada apa, Mas? Kenapa kamu bisa berduaan dengan Wulan?" cecar Risna sembari menepis tangan Ferdi yang hendak menyentuhnya.

"Sayang, dengarkan dulu. Kamu jangan salah faham. Dia ... Wulan, mencoba merayuku ketika aku hendak mengambil dokumen yang tertinggal di rumah. Dia terus merayuku agar aku mau memenuhi permintaannya. Kamu tahu, 'kan? Dia bilang Sandi tidak berguna dan tidak mampu memberikan kesenangan padanya. Makanya dia merayuku, percaya padaku, sayang," cerocos Ferdi mengarang cerita.

Risna memandang wajah sang suami, mencari kejujuran dari kedua bola matanya. Ferdi memang pandai berakting, dia yakin Risna akan lebih mempercayainya dari pada Wulan. Benar saja, beberapa saat menatap sang suami, Risna mengalihkan pandangan pada sosok Wulan yang masih terduduk di lantai.

Gadis itu menggeleng dengan wajah memelas, menangis sesenggukan dengan air mata yang terus merinai. Sungguh, situasi saat ini membawanya kembali pada masa kelam. Di mana tak satu pun orang yang mempercayai dirinya.

Risna melangkah, berjongkok di hadapan Wulan, dan tanpa diduga-duga ia menarik rambut Wulan dengan sangat kuat sampai istri Sandi itu menjerit.

"Kamu perempuan menjijikkan, aku benar-benar menyesal sudah membiarkan Sandi menikah denganmu. Ternyata benar yang mereka bilang, kamu itu perempuan yang tidak baik. Beruntung aku cepat datang, jika tidak entah apa yang akan terjadi di antara kalian." Risna menghempaskan cekalan tangannya dengan kasar membuat kepala Wulan nyaris saja membentur lantai.

Sementara Ferdi, tersenyum penuh kemenangan meski gagal merebut mahkota Wulan, tapi dia tetap terbebas dari tuduhan.

"Bangun! Kamu tidak pantas berada di rumah ini!" Dengan kasar Risna menarik tangan Wulan, memintanya untuk berdiri. Kakak Sandi itu mendorong tubuh Wulan hingga kembali terjatuh di ambang pintu.

"Pergi! Dan jangan kembali lagi!"

"Ada apa ini?"

Diusir

"Ada apa ini?"

Mamah mertua datang tepat ketika tubuh Wulan terjerembab di ambang pintu. Tanpa segan ia membantu sang menantu untuk berdiri. Memeriksa kondisinya dengan penuh perhatian.

"Kamu tidak apa-apa? Astaga, apa ini? Siapa yang melakukan ini, Nak?" cecarnya sembari menyibak rambut Wulan dan menelisik dengan seksama bekas jari Ferdi di pipinya.

Wulan menunduk, memegangi pipi yang kembali terasa berdenyut. Dia bahkan lupa bekas tamparan itu karena berusaha keras melepaskan diri dari cengkeraman Ferdi.

"Wulan, katakan, Nak! Siapa yang melakukan ini? Mamah tidak tahu harus menjawab apa ketika Sandi nanti bertanya," desak sang mertua sembari memegangi kedua bahu Wulan.

Ferdi menegang, membulatkan mata gelisah. Detik kemudian rahangnya mengeras, otak liciknya berputar-putar mencari alasan agar dia tidak disalahkan. Sementara Risna menatap nyalang pada Wulan yang seolah-olah menjadi korban, padahal dialah pelakunya. Begitu isi pikiran kakak Sandi itu.

Bukannya menyahut, bahu Wulan justru berguncang beriringan dengan suara lirih isak tangis yang menguar dari sela bibirnya. Namun, Wulan belum membuka suara, masih ada keraguan di hati apakah sang mertua akan percaya padanya?

"Wulan-"

"Mah! Menantu Mamah yang satu itu tidaklah sebaik kelihatannya." Suara Risna menggelora memangkas ucapan sang mamah.

Wanita paruh baya itu menoleh, berbalik menghadap sang anak membelakangi Wulan yang masih tertunduk sambil memegangi pipinya. Sekarang, baru terasa perih dan nyeri. Mungkin saja bagian dalamnya terluka.

"Apa maksud kamu?" tanya Mamah menuntut penjelasan Risna. Diliriknya suami sang anak yang segera menunduk berpaling menghindari tatapan.

"Mas, kamu jelaskan sama Mamah apa yang dia lakukan tadi?" pinta Risna menepuk lengan sang suami agar mengangkat wajah dan menjelaskan kepada Mamah mereka.

Ferdi menggaruk kepalanya yang tak gatal, meringis tak enak. Tepatnya, dia tidak ingin memperpanjang karena bisa saja semua kebohongan yang sudah berhasil mengambil hati Risna akan rusak dan hancur.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Tidak usah diperpanjang juga, ini hanya kesalahpahaman saja," ucapnya terbata-bata. Sungguh dia pandai sekali berakting, seolah-olah menjadi yang tertindas padahal sebaliknya.

"Apa maksud kamu? Apanya yang tidak apa-apa? Aku tidak sudi tinggal satu rumah dengan perempuan tidak tahu diri itu." Risna meradang, menuding Wulan yang menengadah menunjukkan air matanya yang kembali membanjir.

Sang mamah melirik Wulan. "Siapa yang tidak tahu diri? Jelaskan sama Mamah, Risna. Tidak udah berbelit-belit seperti ini," tuntut wanita itu dengan dahi yang mengerut. Heran dan bingung juga dengan apa yang sedang terjadi.

Risna berjalan mendekat, mencengkeram tangan Wulan yang menutupi pipi dan menahannya dengan sangat kuat. Menatap bekas jari sang suami yang begitu kentara dan meninggalkan jejak kebiruan di sudut bibir Wulan.

"Hmm ... kamu memang pantas mendapatkan itu meski aku rasa ini belum seberapa dibandingkan apa yang sudah kamu lakukan," maki Risna sambil menghempaskan tangan Wulan dengan sangat kuat hingga membuat tubuhnya termundur.

"Memang apa yang sudah dilakukan Wulan sampai membuat kamu marah seperti ini?" Suara Mamah mertua meninggi karena tak ada satu pun yang menjelaskan perkara yang sedang terjadi.

Risna mendekat, mencibir Wulan yang bersembunyi dibalik tubuh mamahnya. Dengan gerakan secepat kilat, dia mendorong tubuh Wulan menjauh dari sang mertua hingga istri Sandi itu kembali terjerembab di lantai. Lalu, menatap nyalang seolah-olah Wulan adalah mangsa empuk untuk dikuliti hidup-hidup.

"Dia perempuan gatal, Mah. Berani-beraninya dia menggoda suamiku di saat semua orang tidak ada di rumah," ujar Risna dengan geram.

Mata Miranda membelalak, rasa tak percaya menantunya yang selama ini baik dan tidak pernah berbuat macam-macam dapat melakukan hal kotor seperti itu. Wulan menggeleng, air mata jatuh tak terhentikan. Sungguh, siapa yang akan mempercayainya saat ini? Tak satupun. Maka yang dia lakukan hanyalah pasrah pada nasib yang akan dia terima.

"Apa yang kamu katakan, Risna? Tidak mungkin adik ipar kamu melakukan hal kotor seperti itu? Dia istri Sandi," tolak sang Mamah tak ingin percaya.

Sementara laki-laki pengecut itu, hanya diam sambil berusaha mati-matian menyembunyikan kegugupan.

"Mamah bisa tanya sendiri pada suamiku, dia masih di sana. Beruntung suamiku tidak tergoda oleh perempuan gatal ini." Risna menunjuk suaminya, kemudian menuding Wulan.

Istri Sandi itu menunduk, terisak tanpa ada yang mempedulikan. Saat ini dia berharap Sandi datang dan membelanya seperti biasa. Percaya padanya bahwa ia tak akan melakukan hal kotor seperti itu.

"Benar itu, Nak Ferdi? Apa Wulan menggodamu?" tanya Miranda sambil menatap menantu laki-lakinya dengan kerutan di dahi.

Laki-laki itu gugup, menyeka keringat diam-diam. Menyusun kata agar mereka percaya padanya.

"Aku sendiri tidak tahu, Mah. Tiba-tiba saja Wulan datang dan menabrakkan tubuhnya padaku. Entah apa yang ingin dia lakukan, tapi semakin aku diam dia semakin berani. Bahkan, hendak melakukan sesuatu padaku. Aku ... aku bingung menjelaskannya. Beruntung aku cepat tersadar hingga berhasil menjauhkannya dariku," kilah Ferdi sembari melirik Wulan dan mencibirnya.

Wulan terperangah, air matanya semakin deras.

"Tidak, Mah. Bohong! Dia bohong!" ucap Wulan membela diri sendiri.

Miranda bingung harus percaya pada siapa.

"Ayolah, Mah. Aku sudah sepuluh tahun lebih menjadi menantu Mamah dan sudah memberikan satu orang cucu. Apa selama ini aku pernah berbuat macam-macam? Sedangkan Wulan belum lama menjadi menantu di rumah ini, kita belum tahu seperti apa sifatnya," ucap Ferdi tak ingin Wulan melakukan pembelaan diri.

Miranda menatap Wulan dengan mata yang merah penuh amarah. Benar, tak akan mungkin dia percaya pada Wulan yang baru jadi menantu. Berbeda dengan Ferdi yang sudah lama menjadi bagian anggota keluarga suaminya itu. Jadilah, Wulan hanya pasrah dan tidak akan pernah melakukan pembelaan lagi. Semua itu percuma.

Dijambaknya rambut Wulan, diangkatnya tubuh lemah itu hingga dengan terpaksa Wulan mengikuti tarikan tangan Miranda.

Plak!

Sebuah tamparan yang tak kalah keras kembali mendarat di pipinya untuk yang kedua kali. Tubuh Wulan oleng hingga membentur tiang pintu. Menangis dan meratap, mengiba memohon ampunan, jelas semua itu sia-sia. Apalagi melakukan pembelaan.

"Kurang ajar kamu, ya. Aku terima kamu tinggal di sini karena menghargai anakku. Tak kusangka kelakuanmu begitu kotor. Berani-beraninya kamu menggoda suami iparmu sendiri. Kamu mau berkhianat pada anakku!" hardik Miranda menuding keras kepala Wulan.

Gadis itu tak berdaya, hanya menangis tergugu yang dapat ia lakukan.

"Pergi kamu dari sini! Aku tidak sudi membiarkan menantu sepertimu tinggal di rumah ini! Pergi dan jangan membawa apapun dari rumah ini. Semua ini bukan milikmu!" usir Miranda sembari menarik tas milik Wulan dengan paksa.

"Pergi!" Risna mendorong tubuh Wulan hingga keluar dari pintu.

Wulan menatap mereka, ada dendam terbersit di dalam hatinya. Terlebih saat tatapan mata berpaku pada sosok Ferdi. Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan. Wulan mengusap kasar air mata di pipi, terlalu berharga jika dijatuhkan untuk mereka semua.

"Baik, aku akan pergi. Ingat, semua kebenaran pasti akan terungkap! Allah tidak tidur, DIA melihat apa yang tidak bisa dilihat manusia!"

Wulan melempar tatapan tajam pada Ferdi sebelum berbalik dan pergi meninggalkan rumah mewah tersebut. Ke mana kaki akan melangkah? Entahlah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!