"Bagaimana, Tante? Sandi mau melanjutkan pertunangan kami, 'kan?" tanya Popy ketika mereka baru saja duduk di sebuah restoran saat malam tiba.
Miranda meminta bertemu dengannya untuk membicarakan tentang keputusan Sandi. Tak ingin menunda lebih lama lagi. Ia menghela napas, menyiapkan susunan kata sebagai jawaban.
"Apa kamu yakin mau mendengar keputusan Sandi?" tanya Miranda sambil tersenyum. Apa yang sedang dia rencanakan?
Popy mengangguk tak sabar, kepercayaan dirinya muncul melihat senyum dari ibu Sandi itu. Mata sipit yang ditempel bulu palsu itu tak berkedip, menatap wanita paruh baya di hadapannya.
"Sandi menolak dengan alasan dia sudah menikah dan meminta saya untuk melanjutkan perjodohan dengan cucu yang lain. Bagaimana menurut kamu? Saya tidak bisa memaksa Sandi untuk melakukannya," jawab Miranda diakhiri desah kecewa yang tak ia sembunyikan lagi.
Senyum Popy sirna, tubuhnya membeku tak percaya. Harapan melayang, terbang jauh menghilang. Mimpi indah yang sudah disusunnya, porak poranda tak bersisa. Istri Sandi benar-benar menjadi penghalang untuknya melangkah semakin jauh.
"Tidak bisa, Tante. Aku tidak bisa menerimanya. Aku bukan barang yang bisa dengan mudah dilempar pada siapa saja. Sedari awal Sandi yang akan menikah denganku, bukan yang lain. Lagipula aku tidak tahu cucu tuan Kusuma yang mana lagi selain Sandi karena yang aku tahu cucu laki-lakinya hanyalah Sandi seorang," tolak Popy dengan cepat.
Kekhawatiran datang merajalela di hatinya. Ia takut akan dijodohkan dengan laki-laki yang bukan dari keluarga Kusuma.
Tidak! Aku tidak sebodoh itu, Tante. Kalian mau mempermainkan aku rupanya. Semua orang tahu cucu laki-laki tuan Kusuma hanya satu, yaitu Sandi. Tidak ada yang lain.
Miranda menghela napas, sudah menduga ini akan terjadi. Keberadaan cucu laki-laki yang lain tak diketahui banyak orang, padahal perusahaan yang dulu diberikan kepada Sandi diambil alih oleh sang papah dan diberikan kepada anaknya.
"Apa kamu tidak masalah meski tahu Sandi sudah punya istri?" tanya Miranda sembari menelisik wajah Popy yang beriak berbeda ketika disebutkan istri Sandi.
Popy terdiam beberapa saat, menikah dengan Sandi tak menjadikannya ratu di hati dan di rumah laki-laki itu karena sudah ada perempuan lain yang menempatinya. Namun, semua itu akan menjadi batu pijakan untuknya mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan.
"Tidak masalah, Tante. Aku hanya ingin hidup bersama Sandi, bukan yang lain," katanya tegas.
Miranda menghela napas panjang, mencerna ucapan gadis di depannya. Ia pun tak bisa kehilangan Popy karena dia berasal dari keluarga terpandang. Jika keluarga mereka disatukan, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi keluarga nomor satu di kota itu. Maka Miranda harus membuat keputusan sendiri.
"Ya sudah. Kamu tenang saja, biar saya yang urus Sandi. Akhir pekan nanti akan ada pesta di perusahaan. Datang saja, di sana saya akan mengumumkan pertunangan kalian," janji Miranda membentuk binar-binar kebahagiaan di kedua bola mata Popy.
"Terima kasih, Tante. Tante jangan khawatir, aku pasti akan menjadi bintang di pesta itu," sahut Popy sembari meraih dan menggenggam tangan ibu Sandi itu dengan senang.
****
Di apartemen, Sandi tengah memandangi gambar sang istri dengan penuh kerinduan. Ingin pulang, tapi pertemuan penting diadakan pagi itu juga. Ia melirik ke samping kiri, di mana sebuah box hadiah telah ia siapkan untuk Wulan. Garis lengkung tercipta di kedua sudut bibirnya, membentuk senyum manis yang tulus.
"Tidak sabar rasanya memberikan hadiah itu untuk Wulan. Hmmm ... aku belum sempat bertanya apapun padanya. Semoga saja Wulan mau menceritakan yang sebenarnya," gumam Sandi yang kembali mengalihkan pandangan pada gambar Wulan di ponsel.
"Tuan, apakah Anda sudah bersiap?" tanya Pak Andri mengetuk pintu kamar Sandi.
Ia menghela napas, beranjak tanpa menjawab pertanyaan sang asisten. Membuka pintu dan mengangguk tanpa kata. Keduanya pergi meninggalkan apartemen menuju sebuah restoran di mana pertemuan itu diadakan.
Tak sengaja mobil yang dikendarai Sandi melintas di lingkungan rumah susun yang ditempati Mita. Secara kebetulan gadis itu tengah berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum lewat.
"Astaga! Bukankah itu mobil suami Wulan?" Mita bergumam, seraya berlari ke jalan memastikan.
"Benar, nomor kendaraannya sama dengan mobil yang kemarin datang ke rumahku. Sayang sekali sudah jauh, padahal aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi kemarin. Apa mereka sudah bertemu, ya? Atau dia tidak tahu di mana Wulan tinggal sekarang?"
Mita menggigit bibir, merasa bersalah terhadap sahabatnya itu. Jika ada waktu, dia ingin berkunjung ke kota tempat Wulan berada saat ini. Menceritakan semua yang terjadi sekaligus meminta maaf padanya.
****
Pertemuan penting Sandi membahas tentang kerjasama yang disepakati oleh kedua belah pihak. Berakhir sebelum jam makan siang, dilanjutkan dengan jamuan yang dipersiapkan pihak Sandi sendiri.
Tanpa ia duga, Miranda datang bersama Popy dan langsung duduk bergabung di barisan Sandi. Perasaan tak nyaman muncul, kecurigaan datang tanpa diundang. Untuk apa tiba-tiba mereka datang?
"Saya Miranda, mamahnya Sandi. Boleh saya bergabung di sini? Kebetulan saya akan makan siang di sini, tapi melihat anak saya jadi saya putuskan bergabung saja." Miranda tersenyum sembari melirik Sandi.
Tak hanya suami Wulan itu yang merasakan gelisah, tapi Pak Andri pun tengah dilanda gundah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Rekan bisnis Sandi itu hanya mengangguk karena pembahasan mereka telah usai. Tak ada salahnya mengajak mereka bergabung.
"Saya Popy, tunangan Sandi."
Uhuk-uhuk!
Sandi terbatuk hebat mendengar ucapan Popy yang begitu percaya diri sekali. Ia berdehem seraya beranjak.
"Maaf, saya harus ke toilet," pamit Sandi mencoba membuat dirinya setenang mungkin.
Ia melirik Pak Andri memintanya untuk membereskan kekacauan yang dibuat wanita itu. Lalu, pergi dan tak berniat kembali.
"Tunangan?" ulang rekan Sandi sembari mengerutkan alis.
"Iya, dan akhir pekan ini adalah pesta pertunangan kami," sahut Popy penuh percaya diri.
"Maaf, setahu saya Pak Sandi sudah menikah. Pak Sandi sendiri yang mengatakannya kepada saya," ucap rekan Sandi.
Mimik wajahnya terlihat tak percaya dengan apa yang diucapkan Popy. Dalam diamnya, Pak Andri mengulum senyum, melihat reaksi wajah Popy yang memerah malu. Beruntung Sandi selalu mengatakan jika sudah menikah saat ada kesempatan kepada setiap rekan bisnisnya. Itu karena mereka selalu membahas soal pernikahan jika sedang bersama Sandi.
"Ah, tidak mungkin. Anda mungkin salah, anak saya belum menikah." Miranda melirik Pak Andri yang terlihat tak ramah seperti biasanya.
Rekan bisnis Sandi itu menoleh pada Pak Andri, mencari kepastian informasi. Ia yang faham lantas mengangguk kecil.
"Tuan Sandi memang sudah menikah, tapi belum diumumkan secara publik."
Itu saja yang diucapkan asisten Sandi itu. Namun, cukup membuat Miranda dan Popy merasakan malu yang luar biasa. Mereka beranjak pergi, meninggalkan meja makan Sandi dengan membawa rasa malu dan marah sekaligus.
Semua percakapan itu didengar seseorang yang duduk tak jauh dari meja mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Hafifah Hafifah
😁😁😁😁😁 kasihan dibikin malu
2024-03-05
2
Hafifah Hafifah
berharap sisandi bisa membawa wulan dan memperkenalkan dia sebagai istrinya
2024-03-05
2
Hafifah Hafifah
dari sini bisa kelihatan lho lw sipopy nih hanya mengincar hartanya aja.lw dia perempuan baik" g mungkin dia mau jadi yg kedua
2024-03-05
2