"Wulan!"
Wulan mendongak mendengar namanya dipanggil seseorang, menoleh ke samping kiri di mana seorang laki-laki berjalan pelan ke arahnya sambil tersenyum.
Wulan mendengus sebal, berapa kali pun ia mengusirnya sosok tersebut begitu gigih mendekat. Pantang menyerah seolah-olah Wulan masihlah seorang gadis belia.
"Mau pulang? Biar aku antar," tawarnya penuh perhatian.
Wulan melengos, mengumpat kesal, dan lalu melanjutkan langkah untuk pulang.
"Wulan!" Arya mencekal tangan istri Sandi dengan lancang.
"Lepas!" Wulan menyentak tangannya dengan kuat hingga terlepas.
"Wulan! Kenapa harus begitu keras padaku, Wulan? Setidaknya kita bisa menjadi teman, bukan?" ucap Arya menatap sendu wajah Wulan yang keras.
"Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman antara kita. Saya perempuan bersuami, tidak baik bagi saya dekat dengan laki-laki lain. Akan timbul fitnah nantinya," ucap Wulan tegas.
Arya terkekeh, melangkah semakin dekat meski Wulan terus mundur menjauh.
"Apa kamu tahu jika Sandi sudah pulang?" tanya Arya sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
"Memangnya kenapa? Saya tidak perlu mengatakannya kepada orang lain, 'kan?" sengit Wulan terus menolak untuk dekat dengan Arya.
Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam di tubuhnya itu tersenyum, membasahi bibirnya kemudian menatap Wulan aneh.
"Hari ini aku melihat Sandi jalan berdua dengan seorang perempuan. Apa kamu tahu siapa perempuan itu? Dia anak tunggal seorang pengusaha di kota itu. Kukira mereka dijodohkan." Arya menghendikan bahu sembari mencibirkan bibir.
Sementara Wulan meneguk saliva dengan susah payah. Kepergian Sandi untuk tugas, bukan untuk dijodohkan. Wulan mengisi pikiran serta hatinya dengan kalimat itu. Ia diam, tak acuh dengan kabar yang diberikan Arya meski hati mulai memanas.
"Apa kamu juga tahu kalau akhir pekan ini akan ada pesta perayaan di perusahaan Wijaya? Aku yakin Sandi akan hadir di acara tersebut, tapi tidak denganmu. Melainkan dengan perempuan itu," cerocos Arya semakin membuat hati Wulan bergejolak.
"Saya tidak akan pernah termakan ucapan Anda, Tuan. Saya akan tetap mempercayai suami saya," tegas Wulan meski nyatanya hati ketar-ketir ketakutan.
Arya mendengus, tetap memasang senyum meski hati perih dengan penolakan Wulan.
"Kamu tidak pernah tahu siapa Sandi, Wulan? Apa perlu aku memberitahumu sekarang juga kalau dia sebenarnya adalah pemilik perusahaan tempat kamu bekerja dulu."
Mata Wulan membulat sempurna, di kedua sudutnya menggenang butiran air. Merasa ditipu oleh orang yang sangat dia percayai itu. Hatinya tiba-tiba merasa sakit, seperti dihantam palu berduri, porak poranda tak terelakan. Selama ini dia menjauh dari Arya karena alasan kasta. Lalu, dengan Sandi?
"Aku yakin kamu tidak tahu tentang itu. Selama ini kamu menjauh dariku bahkan tidak menerima perasaanku hanya karena alasan itu, tapi kamu justru menerima Sandi sebagai suamimu? Ini rasanya tidak adil bagiku, Wulan. Sungguh tidak adil. Aku yang pertama mengejarmu, tapi kenapa dia yang harus mendapatkan dirimu?" Arya menggelengkan kepala kecewa.
Wulan membeku, membisu dalam keheningan. Tak tahu lagi bagaimana menerjemahkan hatinya saat ini. Yang pasti dia terluka.
"Terserah padamu, aku sudah memberitahumu. Kalau suatu saat ucapanku ini terbukti, jangan pernah salahkan aku," ucap Arya yang kemudian pergi meninggalkan Wulan dan masuk ke dalam mobilnya.
Wanita berambut ikal itu tercenung, mematung menatap kepergian mobil putih yang membawa Arya diiringi tetesan air mata. Hatinya mulai gelisah, kata-kata Arya tadi sudah hampir memenuhi isi pikirannya.
"Rasanya tidak mungkin. Mas Sandi bukan orang seperti itu. Dia akan kembali padaku dan menjelaskan semuanya. Pasti kembali," gumam Wulan meyakinkan hatinya yang dilanda gemuruh.
Awan mendung menghiasi wajahnya yang nampak lelah. Keindahan senja tak mampu mengusir resah yang menguasai jiwa. Wulan memukul-mukul dadanya yang terasa sesak tiba-tiba, air yang menggenang terus saja berjatuhan. Bagaimana jika semua yang dikatakan Arya benar adanya?
"Tidak, Wulan! Kamu harus percaya pada suamimu sendiri," lirihnya sembari meremas bagian dada kiri menekan rasa sakit yang terus menusuk-nusuk.
Apa nasibnya akan sama seperti dulu? Ditinggalkan orang-orang yang dia sayangi, dan pada akhirnya akan hidup seorang diri. Ibu, ayah, dan sekarang Sandi. Wulan menengadah menatap langit yang mulai menjelaga.
Disapunya air yang jatuh ke pipi, seraya menyeret kedua kaki meninggalkan jalanan yang mulai sepi.
Di kejauhan, Arya memperhatikan dari dalam mobil. Terbersit kesedihan di hatinya melihat Wulan yang menangis. Dari dulu, dia sudah menaruh hati terhadap gadis itu. Sayangnya, Wulan tak pernah bisa menerima dengan alasan kasta.
"Kenapa kamu lebih memilih Sandi, Wulan? Kamu sama sekali tidak pernah melihatku meski dari dulu aku selalu mengejar hatimu. Kamu tidak pernah bisa melihat cintaku, Wulan. Aku benar-benar mencintaimu." Arya mengepalkan tangan, meremas kemudi menyalurkan amarah yang meluap.
"Ini semua karena Sandi ... ah, tidak! Bukan! Apa mungkin sudah terlambat bagiku untuk meraih hatimu, Wulan? Sandi! Dia ... semua ini karena dia!" Rahang Arya mengeras, giginya beradu keras. Kobaran dendam memancar jelas di kedua matanya.
Ada apa dengan Sandi dan Arya?
****
Wulan masuk ke dalam kamar mandi, mendinginkan subuh tubuhnya yang memanas karena ucapan Arya tadi. Memejamkan mata, merasakan dinginnya air yang menusuk tulang sumsumnya.
Terlintas dalam ingatan, ketika berpapasan dengan sang mertua di mall yang berjalan dengan seorang perempuan. Wanita yang akan menjadi istri Sandi menggantikan dirinya.
"Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku masih percaya padanya? Ataukah melupakannya saja dan menjauh dari kehidupannya?" gumam Wulan seraya membuka mata dan mendekap tubuhnya yang terbenam di dalam sebuah bak kecil yang terisi penuh dengan air.
Membayangkan rasa sakit yang luar biasa akan menyiksa, membuat Wulan hanyut dalam lembah keputusasaan yang tiada bertepi.
"Apa sudah tidak ada lagi yang dapat aku percaya? Keluargaku? Suamiku? Saudaraku? Teman-teman? Kenapa tidak satupun dari mereka yang menghargai perasaanku?" Wulan kembali membenamkan wajah di atas lutut.
Dinginnya air tak jua meredakan panas yang terus membakar jiwa. Akhir pekan besok. Apa benar Sandi pergi untuk menjalankan tugas atau untuk memenuhi keinginan keluarganya? Menikah dengan wanita itu dan melupakan Wulan.
Isak tangis lirih menguar hingga tubuh Wulan menggigil kedinginan. Tak peduli karena rasa panas masih terus membakar hatinya. Membakar rasa yang selama ini bersemayam.
"Percaya padaku seperti aku selalu percaya padamu."
Kalimat yang diucapkan Sandi sebelum kepergiannya pagi tadi, kembali mengiang di telinga. Haruskah? Tapi keraguan semakin nyata terasa.
"Kamu pembohong, Mas! Kenapa kamu tidak mengatakan semuanya padaku? Kenapa semua orang selalu saja membohongiku? Kenapa?" Wulan menjerit lirih, hantaman rasa kecewa begitu amat menyakitkan.
Senyum Sandi yang tulus membayang di pelupuk, bergantian dengan wajah kecewa Arya yang amat jelas dia lihat.
"Siapa yang harus aku percaya sekarang?" Wulan bergumam, menekan rasa sakit di hati yang semakin nyata dan perih.
"Siapa lagi yang harus aku percayai sekarang?"
"Tidak ada lagi."
****
"Wulan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
yah si Wulan jadi gamang karena apa yang si Arya bilang tentang suaminya,,,
2024-03-02
1
Maulana ya_Rohman
lanjut lagi thor...
2024-03-02
1
Hafifah Hafifah
lw sandi emang cinta ama wulan harusnya dia jujur apa belum cukup pengorbanan wulan selama setahun dia menikah.kan jadi kasihan siwulan lw kayak gini.entar diembat orang baru tau rasa
2024-03-02
2