Kembali Berpisah

"Mas!"

Suara teriakan itu menggema seiring dengan tubuhnya yang terbangun. Napas menderu, mata melilau ke segala penjuru. Mencari satu sosok yang baru saja memberinya kehangatan yang amat dirindukan.

"Mas Sandi!" panggil Wulan lirih, dia takut pertemuan siang tadi hanyalah sebuah mimpi. Sandi belum kembali atau sudah kembali, tapi tidak dapat menemukannya karena sudah berbeda kota.

"Apa yang baru saja itu cuma mimpi?" Wulan bergetar, seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali.

Isak tangis lirih nan pilu kembali menggema di ruangan tempat Wulan berada saat ini. Ia membenamkan kepala di atas tumpuan lutut, berguncang kedua bahunya karena tangis yang semakin merinai.

Dari luar, seseorang yang baru saja masuk ke tempat tersebut bergegas menghampiri suara tangis yang samar menguar. Di tangannya terdapat dua buah bungkusan, diletakkannya begitu saja di atas meja.

Brak!

"Wulan! Sayang! Astaghfirullah!" Sandi berlari, melompat ke atas ranjang dan segera memeluk Wulan.

Merasakan kehangatan yang sama, tangis Wulan terjeda. Mencoba meraba rasa, tak ingin lagi tenggelam dalam harapan hampa.

"Kamu kenapa, sayang?" Suara Sandi yang terdengar berbisik, juga deru napasnya yang menerpa kulit, membuat Wulan harus tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Ia menengadah, menatap begitu lama dan dalam pada kedua manik suaminya itu. Perlahan mengangkat tangan, meraba wajah yang amat dia rindukan. Air mata jatuh begitu saja, menghujani kedua pipinya.

"I-ini benar Mas Sandi?" tanyanya lirih. Kedua bola mata Wulan berputar ke kanan dan kiri, memastikan dia tidak salah melihat.

Sandi meraba rambut sang istri hingga kulit pipinya. Senyum manis dia ukir, mengangguk untuk meyakinkan Wulan bahwa dia memang nyata.

Wulan berlabuh, membenamkan wajah pada dada bidang suaminya. Merasakan kehangatan yang sudah lama tak direngkuh hatinya. Sungguh, kebahagiaan yang ia rasakan saat ini tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

"Jangan pergi lagi, Mas. Aku tidak mau berpisah lagi," lirih Wulan mengeratkan pelukan pada tubuh Sandi. Tangis kebahagiaan mengiringi pertemuan mereka.

Laki-laki itu membeku, berpikir bagaimana caranya mendapatkan izin Wulan untuk pergi meeting dengan klien penting hari itu. Dibalasnya pelukan sang istri, dikecup mesra kepalanya.

"Mas tidak akan pernah pergi lagi, sayang. Mungkin untuk sehari dua hari saja karena ada tugas yang harus Mas kerjakan," ucap Sandi memberanikan diri mengutarakan niatnya.

Wulan melepas pelukan, mendongak menatap kedua bola mata sandi dengan berkaca-kaca.

"Mas akan pergi lagi?" tanya Wulan bergetar, bibirnya berkedut ingin menangis, tapi ditahan sekuat tenaga.

Sandi mengusap rambut sang istri, tersenyum lembut padanya.

"Makan dulu, Mas sudah beli sarapan tadi. Sudah, tidak usah mandi. Kamu sudah cantik meski tidak mandi," ujar Sandi merayu.

Wulan mengulum senyum, mencubit pinggang suaminya gemas dan malu sekaligus. Mereka beranjak keluar, rumah yang ditempati Wulan tak sebesar rumah yang dulu ia tinggali.

"Siapa yang menyiapkan rumah ini untuk kamu, sayang?" tanya Sandi sambil menikmati sarapannya.

"Pak Chiko, dia yang menyiapkan semua keperluan aku waktu pertama kali dipindah tugaskan ke sini," jawab Wulan sembari menyuapkan nasi uduk ke mulutnya.

Gerakan geraham Sandi terhenti mendengar jawaban sang istri, menunduk dan diam beberapa saat sebelum melanjutkan kembali makannya.

"Jangan terlalu dekat dengannya, Mas tidak suka melihatnya menatap kamu seperti kemarin," ucap Sandi tanpa menatap Wulan yang terlihat bingung.

Detik berikutnya, ia tersenyum saat teringat pada seorang satpam yang mendengarkan perbincangannya dengan sang atasan di pantry.

"Dia tahu aku sudah menikah, Mas. Jangan cemburu begitu. Aku tidak tahu jika satpam kemarin mendengarkan perbincangan kami," ujar Wulan sambil tersenyum, wajahnya merona teringat saat pertemuan dengan Sandi yang tak terduga.

"Bisa Mas jelaskan kenapa bisa sampai jadi satpam di perusahaan yang sama denganku? Aku kira Mas tidak akan tahu aku di kota ini," tanya Wulan sembari memberikan segelas air teh kepada Sandi.

Laki-laki itu tersenyum, menenggak air yang disuguhkan sang istri, kemudian menatap lembut padanya.

"Kamu tidak masalah jika suamimu ini hanya bekerja sebagai seorang satpam? Apa kamu tidak merasa malu?" tanya Sandi menguji kembali kesetiaan Wulan.

Wanita di depannya terkekeh, menutup mulut merasa konyol dengan pertanyaan suaminya itu.

"Kenapa harus jadi masalah? Apalagi malu. Pekerjaan satpam adalah pekerjaan halal, kenapa harus malu? Aku tidak masalah Mas bekerja sebagai apa, justru aku takut Mas yang malu karena memiliki istri seorang cleaning service sepertiku." Wajah Wulan berubah sendu.

Benar, dia takut Sandi malu dengan statusnya sebagai seorang tukang bersih-bersih. Dia hanya akan membuat Sandi malu jika suatu saat berkumpul dengan keluarga besarnya.

Melihat kemuraman di wajah sang istri, Sandi meraih tangannya dan mengecup dengan mesra.

"Aku tidak malu memilikimu sebagai istri. Apapun yang akan dikatakan orang lain tentangmu, kamu tetaplah istriku yang hebat. Mereka tidak akan pernah bisa memisahkan kita lagi," ungkap Sandi kembali mengecup punggung tangan istrinya.

Wulan terenyuh, matanya berkaca-kaca hendak menangis. Benar, hanya Sandi orang yang memperlakukannya selayak manusia lain.

"Terima kasih, Mas."

"Kenapa, Mas?" Wulan bertanya cemas ketika Sandi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Helaan napas menguar, sungguh berat harus berpisah dengan istrinya itu. Namun, mengingat masalah dengan Ferdi yang belum selesai, Sandi khawatir membawa Wulan kembali.

"Mas sudah ditunggu bos. Hari ini sampai besok Mas harus mengantar bos ke luar kota. Apa kamu tidak masalah?" Sandi meremas tangan Wulan, menyalurkan rasa yang selama ini dia pendam.

Wulan mengerti, tersenyum dan menggeleng.

"Tidak apa-apa, Mas, tapi Mas nanti pulang, 'kan?" Wulan kembali terlihat cemas. Bayangan perpisahan datang tanpa diundang.

"Kamu percaya sama, Mas? Percayalah sama suamimu ini seperti Mas yang selalu percaya sama kamu." Sandi menggenggam tangan Wulan, meyakinkan sang istri bahwa kecemasan yang dia rasakan saat ini tidak akan pernah terjadi.

Wulan mengangguk meski hati terasa berat. Namun, demi menjalankan tugas dari atasan, dia harus rela berpisah lagi dengan sang suami.

"Tetaplah di rumah hari ini, jangan pergi bekerja. Mas sudah minta izin pada atasan kamu," ucap Sandi menatap penuh harap pada kedua manik sang istri.

Wulan menggeleng, dan berucap, "Aku akan jenuh sendirian di rumah. Apa yang mau aku lakukan kalau tidak bekerja?"

Sandi terdiam, kemudian menghela napas panjang. Istrinya itu memang seorang pekerja keras, tidak betah diam, dan mandiri.

"Ya sudah, tapi jangan terlalu capek," ingat Sandi seraya beranjak diikuti Wulan.

"Aku tidak menyangka Mas benar-benar sembuh sekarang. Bisa berdiri dan berjalan dengan sempurna. Tidak sia-sia waktu hampir satu tahun ini memisahkan kita," ucap Wulan sembari melingkarkan tangan di lengan Sandi. Melabuhkan kepala padanya, berjalan dengan manja.

"Ini berkat dukungan kamu, sayang. Mas ingin berdiri di sisi kamu dan melindungi kamu dari mereka yang jahat," ucap Sandi membuat Wulan berbunga-bunga.

"Mas pergi dulu, maaf tidak bisa mengantar kamu karena harus terburu-buru," ucap Sandi sembari menyelipkan rambut Wulan ke belakang telinga.

"Hati-hati, Mas!"

Untuk hari itu mereka kembali berpisah.

****

Maaf, kemarin gak bisa update karena tujuh harinya Mak. Terima kasih yang sudah mendoakan Mak meski hanya dalam hati. Salam sayang untuk semua.

Terpopuler

Comments

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

turut berduka-cita yah thor, semoga ibunda ditempatkan di tempat terbaik di sisiNya,,,aamiin🤲

2024-03-02

1

Alfiyati Al-Ikhlas

Alfiyati Al-Ikhlas

hati2 ya mas sandi

2024-03-01

1

Wicih Rasmita

Wicih Rasmita

semangat Thor 💪💪

2024-03-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!