Sosok Tersembunyi

"Kamu kenal mereka?" tanya Mita saat keduanya menikmati makan malam di sebuah warung makan sederhana.

"Siapa?" Wulan bertanya.

"Dua orang tadi. Aku sempat melihat kamu memperhatikan mereka. Memang siapa mereka?" cecar Mita lagi.

Gadis itu sempat melihat Wulan memperhatikan ibu mertua dan wanita yang disebut sebagai calon istri Sandi. Wulan tertegun, kemudian menggeleng cepat sambil tersenyum getir.

"Tidak. Aku hanya teringat mendiang ibuku saja," kilah Wulan dengan segera menyeruput es teh untuk menghilangkan rasa panas yang membakar.

Mita manggut-manggut mengerti, tak lagi melanjutkan pembahasan tentang dua sosok tadi. Keduanya larut pada masing-masing makanan, menyantap sampai habis meski hati selera.

"Wulan!"

Sebuah suara terdengar begitu keras, menegur Wulan yang baru saja selesai membayar makanan di kasir. Dua gadis itu menoleh, dan mendapati Salsa yang berdiri di luar warung makan tersebut.

Gadis itu tersenyum, bukannya senang bertemu dengan Wulan. Justru mencibir karena melihat keadaan Kakak tirinya itu yang masih sama. Ia berjalan mendekat, memindai penampilan Wulan dari atas hingga bawah.

"Salsa, kenapa kamu di sini?" tanya Wulan tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.

Salsa menutup mulut, mereka tahu dia sedang tertawa. Tepatnya, menertawakan.

"Apa kabar Kakak tiri? Ternyata kamu masih sama seperti dulu, ya. Masih kumel dan ...." Salsa menghendikan bahu, merendahkan Wulan.

"Bagaimana kabar ayah dan ibu?" tanya Wulan setelah menarik udara cukup banyak untuk mengisi rongga dada yang tiba-tiba terasa sesak.

Benar, dia masih sama seperti dulu. Tidak ada perubahan, masih susah dan serba kekurangan. Apalagi sekarang pekerjaannya hanyalah sebatas petugas kebersihan.

"Kamu masih ingat sama mereka? Aku kira sudah lupa," sahut Salsa tanpa menjawab pertanyaan Wulan.

Istri Sandi itu tidak menyahut, ia juga tidak terlalu memperdulikan kehadiran Salsa. Menarik tangan Mita untuk segera pergi, tapi kemudian ucapan Salsa menghentikannya kembali.

"Aku dengar kamu diusir dari rumah suami kamu? Kenapa? Makanya jangan serakah, dan jangan suka gatel! Atau mungkin mereka malu punya menantu seorang petugas kebersihan? Hmm ... kurasa ayah dan ibu juga pasti malu kalau tahu soal itu," cerocos Salsa cukup lantang hingga beberapa orang menyempatkan diri menoleh ke arah mereka.

Wulan tertegun, memejamkan mata menahan hujaman rasa sakit yang mendera jiwa. Dari mana dia tahu semua itu? Wulan berbalik, jarak yang belum jauh membuatnya enggan mendekat.

"Terserah apa yang mau kamu bilang, Allah yang tahu segalanya," tutur Wulan dengan sikapnya yang tenang.

Lalu, kembali berbalik dan pergi dengan cepat. Disusul Mita yang terlihat bingung dengan status mereka. Ia tak tahu Wulan masih memiliki keluarga selain suaminya.

"Ingat, jangan gatel sama suami orang! Jangan malu-maluin jadi orang!" teriak Salsa diakhiri dengan tawa.

Wulan mengusap air yang jatuh dari kedua pelupuk matanya, berlari kecil menjauh dari keramaian. Menghindari tatapan aneh orang-orang. Mereka semua termakan kata-kata Salsa hingga tak sedikit yang memandangnya dengan hina.

Ya Allah! Belum selesaikah ujian dari-Mu untukku?

Batin Wulan menjerit, hati kecilnya sungguh tersayat-sayat luka. Bagaimana bisa semua memperlakukannya begitu rendah? Berita itu sudah tersebar, siapa yang memberitahu Salsa tentang semuanya? Wulan berhenti pada sebuah bangku di pinggir jalan, duduk sambil menangis, meratapi nasibnya yang malang.

"Kamu yang sabar, Wulan," ucap Mita sambil mengusap-usap pundak sahabatnya itu.

Wulan menepis tangan Mita, tak percaya pada siapapun jua untuk saat ini. Bahkan, dia sendiri tidak tahu seperti apa hati sahabatnya itu. Apakah benar tulus ataukah justru tengah merendahkan.

"Kamu juga pasti tidak percaya padaku, 'kan? Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan hal ini. Pergilah, kalau kamu mau pergi. Tinggalkan aku seorang diri," lirih Wulan sembari mengusap air matanya.

Tak perlu lagi ada tetesan air dari sana, jangan lagi ada tangis kepiluan. Wulan harus kuat seperti biasa, tidak boleh lemah apalagi mudah ditindas. Ia sadar betul masih memiliki harga diri yang harus dijaga.

"Kamu ngomong apa, sih?" Mita memeluk Wulan, bagaimana mungkin ia meninggalkan gadis itu seorang diri sementara tak ada yang dapat ia mintai tolong.

"Semua orang tidak pernah ada yang percaya padaku. Semua pembelaan yang aku lakukan tak pernah mereka dengarkan. Bagaimanapun aku menjelaskan, aku tetaplah salah di mata mereka. Selama ini memang seperti itu, dan hanya suamiku yang selalu mempercayai aku, tapi mungkin sekarang tidak lagi." Wulan menggeleng, air mata kembali menderas menghujani pipinya.

Mita tercenung, getaran yang dihantarkan tubuh Wulan dapat dirasakannya hingga menyentuh ulu hati. Seperih itu hidupnya?

"Sekarang, kamu punya aku. Aku akan selalu percaya sama kamu, jangan merasa sendiri lagi," bisik Mita di telinga Wulan sembari mengeratkan pelukan.

Wulan mendongak, teringat akan Sandi yang pernah mengatakan hal yang sama seperti Mita. Rasa rindu kembali hadir, tapi ia takut suaminya itu kini juga akan meninggalkannya. Ingin berharap, tapi apalah daya. Harapan itu kadang menyakitkan untuknya.

"Kita pulang, yuk. Kamu harus beristirahat," ajak Mita seraya melepaskan diri dari tubuh Wulan.

"Kamu yakin kamu percaya padaku, Mita?" tanya Wulan setelah gadis dengan rambut sebahu yang digerai itu berdiri dan bersiap untuk pergi.

Ia menunduk, sementara Wulan mendongak. Pandang mereka bertemu, terpaku beberapa saat. Mita menghembuskan napas kasar, berpaling sebentar menatap sekeliling. Keadaan sudahlah sepi, hanya ada beberapa motor dan mobil yang lalu lalang di sana.

"Tentu saja, tapi sepertinya kita harus pulang sekarang. Keadaan sudah tidak memungkinkan untuk kita tetap berada di sini," sahut Mita.

Sekelompok laki-laki muncul di kejauhan, timbul rasa takut di hatinya. Malam terkadang begitu jahat bagi manusia lemah seperti mereka.

"Ayo!" Mita menarik tangan Wulan untuk segera pergi.

Istri Sandi pun mengerti situasinya, ia lekas beranjak dan berjalan cepat meninggalkan tempat tadi. Angin malam yang menerpa semakin membuat rasa takut mereka begitu nyata.

"Kita pulang naik apa? Angkot sudah tidak ada jam segini," tanya Wulan dengan cemas.

Berkali-kali mereka menoleh ke belakang, khawatir kelompok laki-laki tersebut mengejar.

"Lari saja dulu, cari keramaian. Nanti aku pesan taksi online," sahut Mita semakin mempercepat langkahnya.

"Mereka semakin dekat," beritahu Mita lagi setelah melihat ke arah belakang mereka. Ternyata benar, kelompok tersebut mengejar mereka. Mangsa empuk yang lemah dan tak berdaya.

"Sepertinya tidak, coba kamu lihat!" Wulan menghentikan langkah, begitu pula dengan Mita.

Keduanya menghela napas, melihat tiga orang laki-laki lain menghadang jalan kelompok tersebut.

"Cepat lari! Cari tempat aman!" ucap salah satu dari mereka.

"Ayo!" Wulan menarik tangan Mita, berlari mencari keramaian. Beruntung sebuah minimarket masih buka, keduanya masuk ke dalam untuk berlindung.

Sementara di tempat tersembunyi, dua orang mengawasi.

"Dia dalam bahaya, kenapa jam segini masih berkeliaran di luar rumah?"

Kesal, sosok tersebut sampai mengepalkan tangan.

"Dia terlihat sedih, apa yang terjadi?" Dia kembali bertanya, menatap dengan sendu.

"Apa perlu kita datangi?" tanya sosok lain di sampingnya.

"Tidak perlu! Kita kembali," jawabnya.

Terpopuler

Comments

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

siapa yah yang mengejar mereka,,,

2024-02-24

1

Hafifah Hafifah

Hafifah Hafifah

siapa tuh yg ngawasin mereka

2024-02-22

2

Hafifah Hafifah

Hafifah Hafifah

betul banget lw si sandi emang tulus dan cinta sama kamu dia akan percaya sama kamu dan mencari bukti siapa yg benar dan salah

2024-02-22

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!