10 ~ Ternyata Jomblo

“Ke sini nak, jangan berdiri terus. Perempuan tidak boleh lebih tinggi dari laki-laki, biar saja mereka menundukan wajah untuk kita,” seru Ajeng menunjuk sofa tunggal.

Moza malu-malu dan ragu akhirnya duduk di sofa yang sudah dipersilahkan untuknya. Dalam benaknya ia melihat wanita itu begitu baik dan bersahaja, tapi kenapa putranya malah menyebalkan. Namun, kedewasaan dan keseriusan Dewa sepertinya menurun dari pria ini -- ayahnya.

“Om, tante saya turut berduka cita,” ujar Moza lirih.

“Ah, iya. Terima kasih ya Moza. Bos kamu ini belum tante izinkan ke kantor, karena sedang kurang sehat. Dia sangat dekat dengan opanya dan ….”

“Mom, sudahlah. Daddy apa tidak ada tamu lagi yang harus kalian temui malah parkir di sini,” seru Dewa karena kalau dibiarkan, mulut Ajeng pasti akan menceritakan apapun yang dianggap lucu.

“Ck, jangan marah-marah nanti stress kamu. Jarang-jarang Dewa ajak perempuan ke rumah ya Mas, pasti ada yang spesial.”

“Maaf tante, tapi saya bukan perempuan spesialnya Pak Dewa. Saya hanya karyawan magang di Go TV.”

“Tuh denger Mas. Mirip aku banget ‘kan. Dulu aku panggil kamu Pak Genta.”

“Sayang, ayo. Jangan ganggu mereka, Genan sudah datang,” ajak Gentala dan sudah berdiri.

“Ah betul, kalian pergilah,” pinta Dewa. Moza ikut berdiri dan mengangguk serta tersenyum kala pasangan itu melewatinya.

Reaksi Moza berikutnya mengundang perhatian Dewa, gadis itu mengusap dadanya dan bergumam tidak jelas.

“Pak Dewa, yang tadi itu benar Gentala yang punya Go TV?” tanya Moza antusias dengan posisi masih berdiri lalu menoleh menatap punggung Gentala dan Ajeng yang sudah menjauh.

“Menurut kamu?”

“Ya ampun, nggak nyangka saya bisa bertemu beliau.”

“Sudah sana lanjut lagi, ada berkas yang harus diterima Om Fabian,” titah Dewa tanpa menatap Moza.

Sudah kembali fokus dan mendekati waktu makan siang, perut Moza sudah mulai berdemo membuatnya tidak lagi konsentrasi. Sedangkan Dewa masih asyik berkomunikasi entah dengan siapa. Gelas minum miliknya sudah kosong, bukan hanya lapar ia pun sangat haus.

“Pak Dewa,” panggil Moza ketika pria itu mengakhiri panggilannya. “Saya boleh order makan siang nggak?”

“Kamu pikir saya tidak mampu kasih kamu makan. Ayo,” ajak Dewa.

“Eh mau ke mana pak?” tanya Moza. Meski bertanya, tapi tetap mengekor langkah pria itu yang memasuki area paviliun lebih dalam. Ternyata nyambung ke dalam rumah utama, terlihat kesibukan para asisten rumah tangga.

“Mas Sadewa, Ibu Ajeng bilang obatnya jangan sampai lupa.”

“Iya Bik.”

“Bapak beneran sakit?” taya Moza sambil berbisik.

“Nggaklah, bercanda kok.” Dewa menunjuk meja buffet yang memang disiapkan untuk para tamu, kerabat yang masih hilir mudik. “Makan duluan.”

“Bapak mau ke mana?” Moza tidak enak dan merasa asing di tengah keramaian kediaman rumah itu.

“Toilet. Mau ikut, ayo.”

“Ish, mesum.”

***

Moza sudah membereskan berkas dan laptop milik Dewa, sudah sore dan lewat dari jam kerjanya. Dewa sempat pamit setelah makan siang karena mengantuk pasca minum obat dan sampai sekarang belum kembali.

“Duh, aku pulang gimana. Masa kabur gitu aja,” gumam Moza. “Apa hubungi Pak Dewa aja ya, tapi aku belum tahu kontak dia.”

Moza akhirnya menghubungi Yuli menanyakan kontak atasan mereka. Baru akan menghubungi pria itu tiba-tiba muncul bahkan tiba-tiba berada di belakang tubuh Moza yang sudah fokus dengan ponselnya.

“Astaga, Pak Dewa. Udah kayak jelangkung aja, datang ga diajak pulang gak diusir.”

“Ck, udah beres?”

“Sudah Pak.”

“Kamu mau ke mana?” tanya Dewa menatap Moza yang sudah rapi.

“Mau pulang pak, masa saya nginep di sini sih.”

“Ya nggak pa-pa, kalau kamu mau,” sahut Dewa lirih dan masih bisa didengar oleh Moza. “Nanti ada supir yang akan antarkan kamu pulang.”

Dewa terlihat tidak sehat, kalau dia baik-baik saja pasti Moza akan diantar olehnya sendiri.

“Tidak usah pak, saya ada yang jemput kok.”

“Cowok kamu?” tanya Dewa mulai kepo karena penasaran. Melihat Moza dengan seorang pria di rumah sakit dan makan malam di restoran mewah dengan kedua orang pria beda generasi membuat pikirannya macam-macam.

“Iya cowok, tapi bukan cowok sebagai pacar,” jawab Moza sambil fokus dengan ponselnya menanyakan di mana keberadaan Mada yang sejak tadi bilang OTW.

Jawaban Moza membuat Dewa makin penasaran, tapi tidak ingin diduga kepo berlebihan dan menurunkan derajat dan wibawanya sebagai atasan membuatnya memikirkan pertanyaan lain untuk menanyakan status cowok yang dimaksud.

“Kakak saya Pak, yang jemput itu Kakak saya.”

“Saya pernah lihat kamu di rumah sakit dengan cowok, apa itu juga kakak kamu?”

Moza bergeming, mencoba mengingat kapan dia ke rumah sakit dan bertemu Dewa. segera ia membuka ponsel dan menunjukan foto Mada.

“Yang ini bukan, cowok yang Bapak maksud.”

Nah, ini. Namun, itu hanya dijawab dalam hati. Dewa malah bersikap seolah sedang berpikir dan ragu-ragu.

“Hm, mungkin ya. Saya kurang hafal.”

“Ini kakak saya. Tepatnya saudara kembar saya.”

“Hah, kembar?”

Moza menganggukan kepala. “Saya kembar tidak identik dengan beliau.”

Oh, jadi jomblo toh.

Terpopuler

Comments

LISA

LISA

Lega Dewa skrg ternyt Moza msh jomblo 😊

2024-05-02

0

Nur Hayati

Nur Hayati

peluang itu dewa🤭🤭🤭

2024-02-25

1

Eva Karmita

Eva Karmita

bagaimana sudah tau kan Moza jomblo jadi oke gassss Pepet terus jgn kasih kendor 🔥🔥💪💪😍😍❤️

2024-02-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!