PANGERAN UWENTIRA
Isak tangis perempuan memenuhi kamar minimalis itu, seorang pria berkulit sawo matang mendengus, dia meluapkan amarahnya yang tak terbendung lagi, nyaris semua perabot rumah ia lemparkan ke lantai, beriringan dengan kalimat cacian. Sedangkan wanita itu hanya bisa memeluk anak balita perempuannya.
"Kau! Kau pikir aku tidak susah payah carikan kamu makan?! tapi kamu selalu curiga. Brengsek!"
Wanita itu tak peduli, dia hanya menenangkan putrinya agar tidak menangis lagi. Baginya, adegan seperti itu makanan sehari-hari yang dilakukan oleh suaminya sendiri, Revan. Pria yang telah menikahinya tiga tahun yang lalu itu kerap kali melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
"Letakkan Ganiyah, kau yang berurusan denganku!" Ucap Revan yang masih bernada tinggi.
"Dia terkejut, mana mungkin kita membiarkannya sendiri, kamu jangan egois."
"Persetan, dia juga harus tahu, aku begini karena aku pusing dengan kalian berdua, kalau tahu begini, aku tidak akan pulang!"
Wanita itu masih memeluk anaknya, dia tidak ingin meninggalkan putrinya dalam kondisi histeris. Kemarahan dan luapan emosi Revan membuat putrinya shock berat.
"Aku bilang taruh Ganiyah! Hei!" Bentak Revan.
Tak ada pilihan lain, dia harus menaruh anaknya sendiri di dalan kamar, mendengar teriakan Revan hanya akan menambah ketakutan terhadap putrinya. Setelah menaruh putrinya di atas kasur, Revan menyeret istrinya keluar dari kamar, perempuan bermata indah itu meringis kesakitan. Revan jongkok seraya menjambak rambut istrinya.
"Dengar Hanum! Kau tidak bisa apa-apa lagi, kau harus menurut, memangnya siapa yang kau andalkan lagi di dunia ini? orang tua berantakan, ibumu menikah lagi, Ayahmu di penjara, tidak ada yang peduli lagi denganmu!"
Wanita berambut panjang itu berdiri, memandangi suaminya dengan wajah yang menantang, hal yang paling menyakitkan untuk dirinya jikalau ada yang menghina kedua orang tuanya, Hanum tidak dapat menerima perkataan Revan yang sudah kesekian kalinya.
"Kau marah lagi? kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Revan.
"Karena mereka kau bisa menikahiku! Jangan pernah menyebut orang tuaku lagi!" Hanum tidak takut jika sudah menyangkut kedua orang tuanya.
Revan tertawa terbahak-bahak, meledek pembelaan Hanum yang terkesan lucu dan konyol baginya.
"Justru itulah kebodohan orang tuamu, mereka hanya melihat hartaku, jadi terimalah bahwa mereka memang menjualmu kepadaku, terimalah bahwa aku sangat berhak memperlakukanmu semauku!"
Hanum menelan air liurnya, tangannya gemetaran menahan emosi. Sementara Revan melangkah perlahan menuju ke arahnya, Hanum terhenyak, dia mundur secara perlahan senada dengan langkah kaki Revan.
"Kau mau apa lagi? pikirkan Ganiyah, dia sudah trauma dengan sikapmu."
Hanum selalu berusaha mengingatkan Revan, namun pria tempramental itu tak pernah menggubrisnya.
"Masuk ke kamar, jangan keluar!" Revan lagi-lagi menghukum Hanum dengan menguncinya di kamar.
Hanum yang sudah terbiasa mendapatkan hukuman seperti itu, menganggap hukuman demikian adalah hukuman yang paling ringan dari suaminya.
"Masuk!" Revan mendorong Hanum hingga tersungkur di lantai kamarnya.
Revan mengunci pintu dari luar, mulutnya tak henti mengeluarkan cacian, sedangkan Hanum sudah memeluk putrinya, tak ada tangisan lagi yang keluar dari kedua matanya. Air matanya seakan sudah habis jika untuk menangisi takdirnya. Hidup yang amat berantakan setelah menikah dengan Revan, pria psikopat laki-laki pilihan Ayahnya.
"Ganiyah, mama minta maaf ya, seharusnya Ganiyah tidak selalu melihat hal-hal seperti ini," ucap Hanum seraya mengelus-elus kepala putrinya.
Usianya sudah 23 tahun, akan tetapi sampai saat ini Hanum masih belum bisa menjalani kehidupan normalnya seperti kebanyakan wanita di luar sana. Sejak kecil Hanum selalu di atur sedemikian rupa oleh kedua orang tuanya, dari kegiatan sekolah hingga dia harus menjadi anak yang menuruti kemauan orang tuanya, termasuk dijodohkan dengan Revan, seorang anak pengusaha di kota tempat domisilinya.
"Mama tahu ini berat, tapi mama janji, suatu saat kita akan terbebas dari keadaan ini, mama akan berusaha lepas dari Papa kamu, kita akan hidup tanpa dia, mama janji Ganiyah," ucapnya pada putri semata wayangnya.
Ingatannya kilas balik ke masa-masa saat dia belum dinikahi oleh Revan. Hanum pribadi yang ceria dan memiliki banyak impian, mimpi-mimpi yang berusaha ia wujudkan dengan sembunyi-sembunyi di belakang kedua orang tuanya. Hanum bercita-cita menjadi desainer, dia bahkan rela kerja paruh waktu untuk membiayai kursusnya, karena usaha Ayahnya kala itu jatuh bangkrut, Hanum harus berusaha keras agar tidak merepotkan kedua orang tuanya yang terlilit hutang.
"Andaikan aku tidak menikah dengannya.." gumam Hanum tanpa sadar.
Ganiyah sudah tertidur di pangkuannya, dia membaringkan Hanum di kasur lalu menyelimutinya. Hanum merasa harus menenangkan diri, dia duduk di depan jendela kaca, melihat ke arah luar dengan tatapan kosong. Setiap hembusan nafasnya adalah beban hati yang ingin ia keluarkan, ia tahu ujian hidupnya ada pada Revan, untuk bisa lepas dengan Revan sangatlah sulit.
"Aku merindukan kehidupanku dulu," lirihnya.
Matanya tertuju pada lukisan yang ia pajang di kamar tidurnya. Lukisan yang menunjukkan visual kebun kopi, tumbuhan hijau, dan air terjun kecil di sekitarnya. Lukisan yang dulunya di lukis oleh Kakeknya di Desa sebagai hadiah ulang tahun untuk Hanum yang ketujuh belas tahun. Lukisan itu di buat oleh Kakeknya sebelum Kakeknya meninggal dunia. Hanum selalu memohon kepada Kakeknya lewat telepon agar dilukiskan gambar sekitar kebun kopi milik Kakeknya.
Setiap kali melihat lukisan itu, Hanum perasaannya campur aduk, ada rasa bahagia, sedih, terharu, dan harapan. Bahagia karena bisa mengenang momen indah bersama orang-orang yang menyayanginya, sedih karena tak dapat lagi mengulang kebahagiaan di masa itu, terharu karena seseorang yang memperlakukannya secara istimewa di masa itu, dan menimbulkan harapan jika semua itu dapat hadir kembali di masa sekarang.
Hanum meneteskan air mata memandangi lukisan itu, dia mendekati secara perlahan, mengusap lukisan itu seraya membayangkan dia sedang berada di dalamnya, bercengkrama dengan sesosok laki-laki yang sangat ia rindukan.
"Apakah aku sudah gila? aku merindukan dia selama tiga belas tahun, tapi.. apakah itu memang benar adanya, atau halusinasiku sejak kecil jika dia sosok Pangeran yang aku impikan," ucap Hanum.
Sampai saat ini dia masih bingung dengan peristiwa tiga belas tahun yang lalu. Bila mengingat masa-masa saat dia berlibur ke Sulawesi Tengah, Hanum begitu yakin jika peristiwa-peristiwa yang dia alami adalah hal nyata. Meskipun sulit dibuktikan secara langsung namun Hanum yakin jika sosok anak laki-laki yang seusia dengannya adalah pria yang nyata, dan wajar saja dia memendam kerinduan terhadap laki-laki itu, sebab anak laki-laki itu adalah cinta pertamanya yang sampai saat ini menguasai jiwanya.
"Jika kamu memang nyata, pasti kamu tumbuh menjadi pria yang baik dan tampan," ucapnya seraya mengusap lukisan yang di bagian sudutnya mengalir air terjun kecil.
Hanum duduk di kursi seraya tersenyum, dia mengingat kembali kenangan tiga belas tahun yang lalu, tepatnya saat ia liburan ke Desa Kakeknya yang berada di Sulawesi Tengah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
zin
/Whimper/
2024-02-17
1