Hanum berkaca-kaca memandangi lukisan yang dibuat oleh mendiang Kakeknya itu. Dia seperti melihat bayangan Dominic tersenyum kepadanya. Hanum yakin jika cinta pertamanya itu sudah tumbuh menjadi pria yang tampan juga, memiliki kewibawaan, serta hati yang sangat baik.
"Aku merindukanmu, Dominic .." ucapnya seraya mengusap air terjun di lukisan Kakeknya.
Ketika ia hendak ke kamar mandi, ponselnya berdering, tertera di layar nama Cici, sahabat karibnya yang selalu peduli dengan Hanum. Telepon dari Cici sangat Hanum nantikan, karena hanya Cici yang dapat mendengarkannya.
"Hallo, Ci. Akhirnya kamu telepon aku juga," ucap Hanum.
"Iya, Han. Aku rasa kamu habis berantem lagi ya dengan psikopat itu?" tanya Cici dibalik telepon.
"Iya, Ci. Aku udah gak tahan, mau lepas, tolong bantu aku laporkan ke Komnas perempuan, aku tidak ingin gila bersama Ganiyah disini," keluh Hanum. Hanya Cici yang dapat ia percayakan mengurus semuanya.
"Baiklah, kamu sekarang buka email kamu, aku mengirimkan surat, dan rencana kita setelah kasus kamu ditindaki oleh mereka, suami psikopat kamu tidak akan lagi berani mengusik mu," ujar Cici. Sebagai sahabat, Cici gerah mendengar tangisan Hanum lewat telepon.
Hanum segera memeriksa laptopnya, ada beberapa email masuk, salah satunya dari Cici. Semua file itu akan ia pelajari agar dapat berbicara fasih di depan wakil menteri perlindungan perempuan dan anak. Dia berharap jika langkah besarnya ini dapat menciutkan nyali Revan. Hanum sudah ingin melepaskan diri dari suaminya, walaupun di sisi lain, Ganiyah menjadi korban keegoisan mereka.
Mata Hanum tertuju pada tulisan email penawaran formulir lomba tang dikirimkan oleh Cici. Lomba desainer baju di salah satu brand ternama di kotanya.
"Cici, kamu paling bisa buat aku semangat hidup," gumamnya.
Hanum memandangi putrinya yang terlelap tidur, meskipun dengan kehadiran Ganiyah yang menyita waktunya, namun Hanum tidak akan patah semangat untuk menggapai impiannya sebagai desainer.
"Ibu janji akan membuat kamu bangga," ucap Hanum.
Tak ingin membuang waktu, Hanum mengumpulkan sketsa desain bajunya, ada banyak pilihan, salah satu diantaranya baju yang sudah sejak lama ingin buat, baju yang ia angan-angankan jika suatu saat nanti akan dipakai di hadapan Dominic.
"Akankah semua itu terjadi? Aku rasa kamu sudah kecewa karena aku yang tidak menepati janji," lirih Hanum.
Ketika ia hendak memulai pekerjaannya, suara mobil Revan terdengar masuk halaman, asisten rumah tangga mereka sudah membuka pintu, karena tak ingin ketahuan oleh Revan, Hanum menyembunyikan semua peralatan gambarnya. Aturan Revan ialah Hanum tidak boleh lagi melakukan hal-hal lain selain menjadi Ibu rumah tangga.
"Bi, Hanum tidak keluar-keluar 'kan?" tanya Revan kepada Bi Rini.
"Tidak, Pak. Dari tadi Bu Hanum di dalam kamar saja."
Revan tersenyum miring, dia belum bisa mempercayai Bi Rini seutuhnya, dia berjalan cepat ke kamar Hanum. Pintu kamar itu masih terkunci rapat, kuncinya bahkan masih tersimpan di saku jaketnya, akan tetapi rasa curiga Revan tetap mendominasi pikirannya. Revan membuka pintu secara kasar, mengejutkan Hanum dan putrinya di dalam sana.
"Bisakah kamu tidak membanting pintu? Ganiyah terkejut lagi," kata Hanum.
"Jangan mencari alasan, tinggalkan Ganiyah, dia masih tidur, keluarlah menemaniku makan, segera!"
Hanum lagi-lagi menata kesabarannya, bukan tidak ingin menemani Revan di meja makan, tetapi seringkali adegan yang sama terulang kembali. Hanum keluar dengan kepala yang tertunduk, dia tidak ingin menampakkan wajah kesalnya, jika Revan sampai melihat, maka kepalanya akan menjadi sasaran pemukulan lagi.
"Sediakan empat piring, aku ada tamu hari ini," seru Revan.
Hanum sesaat terdiam, dia berpikir dengan tamu siapa yang dimaksud oleh suaminya. Revan tidak pernah membawa rekan kerja ke rumahnya, dia tipe pria yang amat pencemburu. Namun Hanum saat itu hanya memenuhi perintah Revan, dia tidak banyak bicara dan bertanya.
Bersama Bi Rini, dia menata makan siang dengan berbagai makanan lezat masakan Bi Rini. Sesekali Bi Rini berbisik jika Hanum harus mengobati lukanya nanti, luka lebam bekas pukulan Revan.
"Gak papa kok, Bi. Nanti juga sembuh sendiri, hilang sendiri, aku sudah biasa, Bi .." sergah Hanum.
Tak mau memperkeruh masalah, Bi Rini tak memaksa Hanum lagi, dia tidak ingin percakapan mereka di dengar oleh Revan yang berada di ruang tamu. Terdengar suara samar-samar Revan sedang mengobrol dengan orang lain. Hanum semakin yakin jika suaminya membawa tamu ke rumah mereka.
"Bi, kamu panggil Pak Revan, bilang makanannya sudah siap," ujar Hanum.
Lagi-lagi Hanum takut jika harus melakukan peran seperti itu, dia tidak ingin memunculkan diri di depan tamu Revan tanpa izin dari suaminya itu. Bi Rini menuju ke ruang tamu, terdengar suara Bi Rini mengajak Revan ke ruang makan bersama para tamunya.
Hanum yang menunggu di meja makan gemetaran, momen seperti itu jarang terjadi, dia takut jika membuat kesalahan di depan Revan hingga terjadi kericuhan di depan para tamunya.
"Ayo silahkan duduk, perkenalkan ini istriku," ucap Revan kepada kedua tamunya. Dia menarik tangan Hanum agat istri ya itu ikut menyapa.
"Selamat siang, nama saya Hanum, senang bertemu," saking gemetarnya, hanya itu yang dapat diucapkan Hanum.
Dia mulai berani mengangkat wajahnya, matanya terbelalak ketika melihat pria tampan dan wanita cantik berdiri dihadapannya. Hanum tidak menyangka jika suaminya membawa pria dan wanita itu ke rumah mereka. Pria dan wanita itu hanya tersenyum.
"Ayo kita makan, jangan lama-lama berdiri," ucap Revan dengan penuh keramahan.
Itulah sifat Revan yang sangat pandai bersikap baik terhadap orang lain, terlebih lagi jika dia mempunyai kepentingan khusus terhadap seseorang itu.
"Mas, aku ambilin ya," tiba-tiba wanita itu berucap kepada Revan. Dia mengambil piring Revan lalu dituangkan nasi.
Hanum terkejut karena yang seharusnya dirinya yang melakukan peran demikian, bukan wanita asing itu.
"Mas, mau lauk apa?" tanya wanita itu lagi kepada Revan. Matanya sesekali melirik sinis ke Hanum yang bengong dengan sikapnya.
"Terserah sayang, kamu aja yang pilihkan," sahut Revan bernada mesra.
Hanum melirik ke pria yang datang bersama wanita itu, sedari tadi dia hanya mematung, namun matanya tak lepas dari Hanum, seolah ada sesuatu yang menggelayut di benaknya. Hanum dapat menyimpulkan jika tamunya itu bukanlah sepasang kekasih.
"Mas, udah cukup? mau aku tambahin lagi?" tanya wanita itu lagi.
"Tidak Rachel, ini cukup sayang," jawab Revan.
Mendengar itu Hanum menarik nafas panjang, sikap mesra yang ditunjukkan Revan dengan wanita asing itu tidaklah menyakitinya, sejak dulu Hanum berharap jika Revan menikah lagi lalu dirinya dilepaskan dari pernikahan penuh siksaan itu
"Ayo Pak Don, anda makan juga," kata Revan mengajak pria itu ikut makan.
Hanum tak berani melirik ke Pak Don, pria yang usianya sama dengan Revan, namun Pak Don jauh lebih tampan dan kharismatik dibandung dengan suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments