Isak tangis perempuan memenuhi kamar minimalis itu, seorang pria berkulit sawo matang mendengus, dia meluapkan amarahnya yang tak terbendung lagi, nyaris semua perabot rumah ia lemparkan ke lantai, beriringan dengan kalimat cacian. Sedangkan wanita itu hanya bisa memeluk anak balita perempuannya.
"Kau! Kau pikir aku tidak susah payah carikan kamu makan?! tapi kamu selalu curiga. Brengsek!"
Wanita itu tak peduli, dia hanya menenangkan putrinya agar tidak menangis lagi. Baginya, adegan seperti itu makanan sehari-hari yang dilakukan oleh suaminya sendiri, Revan. Pria yang telah menikahinya tiga tahun yang lalu itu kerap kali melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
"Letakkan Ganiyah, kau yang berurusan denganku!" Ucap Revan yang masih bernada tinggi.
"Dia terkejut, mana mungkin kita membiarkannya sendiri, kamu jangan egois."
"Persetan, dia juga harus tahu, aku begini karena aku pusing dengan kalian berdua, kalau tahu begini, aku tidak akan pulang!"
Wanita itu masih memeluk anaknya, dia tidak ingin meninggalkan putrinya dalam kondisi histeris. Kemarahan dan luapan emosi Revan membuat putrinya shock berat.
"Aku bilang taruh Ganiyah! Hei!" Bentak Revan.
Tak ada pilihan lain, dia harus menaruh anaknya sendiri di dalan kamar, mendengar teriakan Revan hanya akan menambah ketakutan terhadap putrinya. Setelah menaruh putrinya di atas kasur, Revan menyeret istrinya keluar dari kamar, perempuan bermata indah itu meringis kesakitan. Revan jongkok seraya menjambak rambut istrinya.
"Dengar Hanum! Kau tidak bisa apa-apa lagi, kau harus menurut, memangnya siapa yang kau andalkan lagi di dunia ini? orang tua berantakan, ibumu menikah lagi, Ayahmu di penjara, tidak ada yang peduli lagi denganmu!"
Wanita berambut panjang itu berdiri, memandangi suaminya dengan wajah yang menantang, hal yang paling menyakitkan untuk dirinya jikalau ada yang menghina kedua orang tuanya, Hanum tidak dapat menerima perkataan Revan yang sudah kesekian kalinya.
"Kau marah lagi? kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Revan.
"Karena mereka kau bisa menikahiku! Jangan pernah menyebut orang tuaku lagi!" Hanum tidak takut jika sudah menyangkut kedua orang tuanya.
Revan tertawa terbahak-bahak, meledek pembelaan Hanum yang terkesan lucu dan konyol baginya.
"Justru itulah kebodohan orang tuamu, mereka hanya melihat hartaku, jadi terimalah bahwa mereka memang menjualmu kepadaku, terimalah bahwa aku sangat berhak memperlakukanmu semauku!"
Hanum menelan air liurnya, tangannya gemetaran menahan emosi. Sementara Revan melangkah perlahan menuju ke arahnya, Hanum terhenyak, dia mundur secara perlahan senada dengan langkah kaki Revan.
"Kau mau apa lagi? pikirkan Ganiyah, dia sudah trauma dengan sikapmu."
Hanum selalu berusaha mengingatkan Revan, namun pria tempramental itu tak pernah menggubrisnya.
"Masuk ke kamar, jangan keluar!" Revan lagi-lagi menghukum Hanum dengan menguncinya di kamar.
Hanum yang sudah terbiasa mendapatkan hukuman seperti itu, menganggap hukuman demikian adalah hukuman yang paling ringan dari suaminya.
"Masuk!" Revan mendorong Hanum hingga tersungkur di lantai kamarnya.
Revan mengunci pintu dari luar, mulutnya tak henti mengeluarkan cacian, sedangkan Hanum sudah memeluk putrinya, tak ada tangisan lagi yang keluar dari kedua matanya. Air matanya seakan sudah habis jika untuk menangisi takdirnya. Hidup yang amat berantakan setelah menikah dengan Revan, pria psikopat laki-laki pilihan Ayahnya.
"Ganiyah, mama minta maaf ya, seharusnya Ganiyah tidak selalu melihat hal-hal seperti ini," ucap Hanum seraya mengelus-elus kepala putrinya.
Usianya sudah 23 tahun, akan tetapi sampai saat ini Hanum masih belum bisa menjalani kehidupan normalnya seperti kebanyakan wanita di luar sana. Sejak kecil Hanum selalu di atur sedemikian rupa oleh kedua orang tuanya, dari kegiatan sekolah hingga dia harus menjadi anak yang menuruti kemauan orang tuanya, termasuk dijodohkan dengan Revan, seorang anak pengusaha di kota tempat domisilinya.
"Mama tahu ini berat, tapi mama janji, suatu saat kita akan terbebas dari keadaan ini, mama akan berusaha lepas dari Papa kamu, kita akan hidup tanpa dia, mama janji Ganiyah," ucapnya pada putri semata wayangnya.
Ingatannya kilas balik ke masa-masa saat dia belum dinikahi oleh Revan. Hanum pribadi yang ceria dan memiliki banyak impian, mimpi-mimpi yang berusaha ia wujudkan dengan sembunyi-sembunyi di belakang kedua orang tuanya. Hanum bercita-cita menjadi desainer, dia bahkan rela kerja paruh waktu untuk membiayai kursusnya, karena usaha Ayahnya kala itu jatuh bangkrut, Hanum harus berusaha keras agar tidak merepotkan kedua orang tuanya yang terlilit hutang.
"Andaikan aku tidak menikah dengannya.." gumam Hanum tanpa sadar.
Ganiyah sudah tertidur di pangkuannya, dia membaringkan Hanum di kasur lalu menyelimutinya. Hanum merasa harus menenangkan diri, dia duduk di depan jendela kaca, melihat ke arah luar dengan tatapan kosong. Setiap hembusan nafasnya adalah beban hati yang ingin ia keluarkan, ia tahu ujian hidupnya ada pada Revan, untuk bisa lepas dengan Revan sangatlah sulit.
"Aku merindukan kehidupanku dulu," lirihnya.
Matanya tertuju pada lukisan yang ia pajang di kamar tidurnya. Lukisan yang menunjukkan visual kebun kopi, tumbuhan hijau, dan air terjun kecil di sekitarnya. Lukisan yang dulunya di lukis oleh Kakeknya di Desa sebagai hadiah ulang tahun untuk Hanum yang ketujuh belas tahun. Lukisan itu di buat oleh Kakeknya sebelum Kakeknya meninggal dunia. Hanum selalu memohon kepada Kakeknya lewat telepon agar dilukiskan gambar sekitar kebun kopi milik Kakeknya.
Setiap kali melihat lukisan itu, Hanum perasaannya campur aduk, ada rasa bahagia, sedih, terharu, dan harapan. Bahagia karena bisa mengenang momen indah bersama orang-orang yang menyayanginya, sedih karena tak dapat lagi mengulang kebahagiaan di masa itu, terharu karena seseorang yang memperlakukannya secara istimewa di masa itu, dan menimbulkan harapan jika semua itu dapat hadir kembali di masa sekarang.
Hanum meneteskan air mata memandangi lukisan itu, dia mendekati secara perlahan, mengusap lukisan itu seraya membayangkan dia sedang berada di dalamnya, bercengkrama dengan sesosok laki-laki yang sangat ia rindukan.
"Apakah aku sudah gila? aku merindukan dia selama tiga belas tahun, tapi.. apakah itu memang benar adanya, atau halusinasiku sejak kecil jika dia sosok Pangeran yang aku impikan," ucap Hanum.
Sampai saat ini dia masih bingung dengan peristiwa tiga belas tahun yang lalu. Bila mengingat masa-masa saat dia berlibur ke Sulawesi Tengah, Hanum begitu yakin jika peristiwa-peristiwa yang dia alami adalah hal nyata. Meskipun sulit dibuktikan secara langsung namun Hanum yakin jika sosok anak laki-laki yang seusia dengannya adalah pria yang nyata, dan wajar saja dia memendam kerinduan terhadap laki-laki itu, sebab anak laki-laki itu adalah cinta pertamanya yang sampai saat ini menguasai jiwanya.
"Jika kamu memang nyata, pasti kamu tumbuh menjadi pria yang baik dan tampan," ucapnya seraya mengusap lukisan yang di bagian sudutnya mengalir air terjun kecil.
Hanum duduk di kursi seraya tersenyum, dia mengingat kembali kenangan tiga belas tahun yang lalu, tepatnya saat ia liburan ke Desa Kakeknya yang berada di Sulawesi Tengah.
Di Kebun Kopi, 2009
Seorang anak perempuan berusia sembilan tahun berlari kecil dengan riang, ditangannya masih membawa mainan gelembung, wajahnya terpancar bahagia, sesekali suara teriakan Kakek dan Neneknya yang berada di gubuk memanggilnya, hanya memastikan jika cucunya baik-baik saja.
"Sepertinya Hanum menikmati liburannya disini, Pak." Ucap Neneknya sembari memakan bekal mereka dari rumah.
"Ya, setidaknya orangtuanya bisa menyelesaikan masalah pekerjaan mereka dulu," sahut Kakeknya.
Hanum yang kehabisan gelembung berdiam diri di tempat, dari jauh dia melihat seekor kupu-kupu yang amat cantik, gadis kecil itu terpukau, mengikuti arah kupu-kupu itu terbang, semakin menjauh dari wilayah perkebunan kopi milik Kakeknya.
"Tunggu aku kupu-kupu," teriak gadis kecil itu.
Langkahnya kian gesit mengikuti arah kupu-kupu hingga ia tiba di aliran air terjun kecil, Hanum belum juga menyadari bahwa ia telah jauh dari Kakek dan Neneknya, kedua mata indahnya masih tetap tertuju pada kupu-kupu yang sudah hinggap di pohon semak belukar.
Dibalik pohon itu nampak seorang anak laki-laki yang seusia dengan dirinya, ditangannya bertengger kupu-kupu yang sejak tadi menarik perhatian Hanum.
"Kau ingin kupu-kupu ini?" tanya anak laki-laki itu.
Hanum menganggukkan kepalanya, anak laki-laki tampan itu berjalan menuju Hanum. Dia membawa kupu-kupu indah itu lalu meletakkannya di telapak tangan Hanum.
"Terimakasih.." Ucap Hanum sumringah.
Anak laki-laki itu tersenyum lebar, dia mengamati Hanum yang asyik mengusap sayap kupu-kupu.
"Kau menyukai kupu-kupu?" tanya anak laki-laki itu lagi.
"Iya, aku sangat menyukainya," jawab Hanum.
Anak laki-laki itu sejenak menoleh ke belakang, ada sedikit anggukan kepala yang ia layangkan. Hanum yang sempat melihat gerak-geriknya juga ikut melihat ke arah pandangan yang sama.
"Kau ingin mendapatkan kupu-kupu yang lebih banyak?" tanya anak laki-laki itu.
Hanum yang polos malah menjawab,"Ya, aku mau."
"Kalau begitu ikut denganku, aku akan membawamu ke tempat kupu-kupu milikku," ajak anak laki-laki itu.
"Tapi, tunggu dulu, kau siapa?" tanya Hanum.
"Namaku Dominic, aku tinggal dalam hutan sana," Anak laki-laki itu menunjuk ke arah hutan yang lebat.
"Bersama Ibu dan Ayahmu?" tanya Hanum.
"Iya, Ayahku bernama Garret, dan Ibuku bernama Aliza."
Hanum mengamati hutan lebat dihadapannya, tampak tak ada satupun rumah yang terlihat hanya ada gubuk-gubuk kecil berwarna kuning yang dibuat para penduduk desa setempat, gubuk-gubuk itu dibuat untuk sarana mereka meminta rezeki pada mahluk gaib.
"Rumahmu dimana?" tanya Hanum lagi.
Dominic tersenyum, dia melihat ke arah hutan itu lagi, dia menghela nafas, "Masih jauh, aku juga sedang bermain disini."
Hanum manggut-manggut, dia berjalan menaiki tanjakan, "Ayo, aku mau lihat kupu-kupu mu," ucapnya.
Dominic meraih tangan kanan Hanum, dia mengajak Hanum menaiki tanjakan, aliran air di sungai kecil itu membasahi kaki keduanya.
"Jangan lepaskan tanganku ya," pinta Dominic yang menggenggam erat tangan Hanum.
Mereka berjalan melewati lorong yang adi apik dua gapura. Hanum sama sekali tidak takut walaupun di sis kanan-kirinya mulai gelap gulita.
"Tutup matamu," pinta Dominic yang melayangkan tangannya menutupi kedua mata Hanum.
Dominic mengiring Hanum melewati gapura itu, dan di detik kemudian keduanya berada di taman bunga yang dipenuhi kupu-kupu bersayap indah.
"Ah, indah sekali, ini seperti gambar yang ada dibuku dongeng ku," ucap Hanum yang terkesima melihat keindahan terpampang didepan matanya. Tanpa ragu, Hanum berlari menyusuri bunga yang berwarna-warni itu, dia membelai setiap kupu-kupu yang hingga di bunga tulip. Seminggu tinggal bersama Kakek dan Neneknya di desa, Hanum hanya berada di kebun kopi dan ladang, tentu sebagai bocah perempuan yang berasal dari kota ingin merasakan suasana yang berbeda.
"Kau menyukainya?" tanya Dominic.
"Iya, aku seperti berada di negeri dongeng Cinderella," jawabnya.
"Apa itu?" tanya Dominic yang bingung dengan negeri dongeng yang diumpamakan oleh Hanum.
Hanum tertawa lalu bercerita, "Kau tidak tahu dongeng cinderella? dia gadis yang dicintai oleh pangeran, Cinderella dibawa ke istana Pangeran yang sangat indah. Cinderella gadis yang baik hati, hidupnya yang buruk diselamatkan oleh Pangerannya."
Dominic tersenyum, dia memikirkan sesuatu hingga terbayang imajinasi indah di pelupuk matanya. Sedangkan Hanum menikmati hamparan bunga dan kupu-kupu berterbangan kearahnya. Aroma semerbak bunga memenuhi rongga dadanya, Hanum sangat bahagia.
"Siapa yang menanam bunga-bunga ini?" tanya Hanum dari jauh, seketika membuyarkan lamunan Dominic saat itu.
Dominic terdiam sesaat, "Pelayan Ibuku," jawabnya.
Hanum tertegun, perhatiannya berpusat pada kalimat Dominic 'Pelayan Ibuku'. Karena penasaran, Hanum berlari kecil mendekati Dominic.
"Kau anak orang kaya yah? karena Ibumu memiliki pelayan," tanyanya.
Dengan wajah yang terheran, Dominic malah balik bertanya, "Apakah kau tidak memiliki pelayan di rumahmu?"
"Tidak sama sekali, Ibuku mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Ibuku bahkan setiap hari sangat lelah."
"Ck, Ayahmu sangat payah, seharusnya dia menyediakan pelayan untuk Ibumu dan juga untuk kau."
Hanum memanyunkan bibirnya, di dalam hatinya dia membenarkan ucapan Dominic. Ayah dan Ibunya selalu saja bertengkar, Ayahnya seringkali bersikap kasar terhadap Ibunya, Hanum bahkan terlalu takut mendekat Ayahnya karena perangai Ayahnya yang arogan.
"Kamu benar, Ayahku orang yang payah," ujarnya.
Dominic melirik ke Hanum, raut wajah gadis kecil itu berubah jadi muram, sebagai anak laki-laki yang sudah diajarkan berbagai hal dari orang tuanya, Dominic dapat memahami kondisi perasaan Hanum saat itu.
Hanum yang bersedih tersadar bahwa dia sudah jauh dari kebun Kakeknya, dia menoleh kesana-kemari mencari keberadaan kebun kopi, akan tetapi disekitarnya hanya hamparan taman bunga yang amat luas, hingga berhektar-hektar.
"Kita ini dimana? apakah jauh dari kebun kopi?"
Dominic berdiri dari tempat duduknya, dia menarik tangan Hanum untuk mengikutinya."Ikut denganku, kau akan ku antar pulang," ucapnya.
Hanum menurut saja, mereka berdua berjalan cepat hingga tiba di gapura. Lagi-lagi Dominic meminta Hanum memejamkan matanya, setelah memejamkan mata, Hanum merasa ada angin kencang yang mengibas sekujur tubuhnya.
"Sekarang buka matamu," pinta Dominic.
Hanum ternganga ketika melihat disekitar air terjun sudah mulai diliputi kegelapan malam.
"Ini sudah malam? ke-kenapa bisa? kita tadi kesini masih siang loh," ucapnya terheran-heran.
Dominic enggan menjawab pertanyaan Hanum, dia kembali menggenggam tangan Hanum agar menuruni tanjakan itu lagi, mereka menyusuri aliran sungai kecil yang berasal dari air terjun.
Setiba diperbatasan kebun kopi milik kakek Hanum, cahaya obor dari gubuk Kakek Hanum sudah nampak dimata keduanya.
"Itu gubuk Kakekku, untung saja mereka belum pulang, pasti mereka mengkhawatirkan aku," kata Hanum.
Dominic memandangi Hanum dengan seksama, "Berjanjilah, jangan beritahu siapapun tentang diriku dan taman bunga tadi, ini rahasia kita berdua."
Hanum berpikir sesaat, "Aku janji, tapi besok kita bermain lagi ya," pintanya penuh harap.
Setelah mengucap janji satu sama lain, Hanum berlari kecil ke gubuk Kakeknya, sesekali menoleh ke belakang, memastikan Dominic masih berdiri memantaunya dari kejauhan.
** Sulawesi Tengah, 2009**
"Kakek, Nenek," teriak Hanum yang menggedor pintu gubuk Kakeknya dari luar.
Sepasang suami istri yang sudah renta itu keluar menghampiri cucu tersayangnya. Sejak tadi mereka berkeliling menelusuri kebun kopi yang ada disekitar mereka, namun hingga malam tiba keduanya tidak menemukan jejak Hanum. Baru saja sepasang suami-istri yang sudah lanjut usia itu ingin bergegas ke balai Desa untuk mengabarkan kehilangan Hanum.
"Kamu darimana cucuku? kenapa baru pulang?" tanya Neneknya yang nyaris berhenti bernafas karena khawatir.
"Jangan tanya dulu, dia masih kecil, ini minum dulu, Nak," ketus Kakeknya menyodorkan Hanum air minum.
Neneknya yang amat bersyukur atas kembalinya cucunya menaburi sekujur tubuh Hanum dengan beras. Cara itu adalah sebagian tradisi Sulawesi atas mensyukuri kembalinya sanak-saudara mereka.
"Nenek dan Kakek pasti khawatir, aku baik-baik saja," kata Hanum yang dengan entengnya, padahal saat itu Kakek dan Neneknya hampir pingsan karena dia tidak ditemukan.
"Kamu darimana, Nak? kenapa kamu tidak takut sama sekali, disini itu sunyi dan tidak boleh keluar kalau sudah menjelang magrib, tempat ini banyak jinnya," ujar Neneknya memperingatkan.
Mendengar itu Hanum tertawa cekikikan, dia merasa Neneknya hanya mengarang saja agar dia tidak keluyuran lagi, sama seperti yang diwanti-wanti kan Ibunya bila Hanum tidak diizinkan bermain di siang hari.
"Aku duduk didekat pohon sana, Nek, karena capek aku ketiduran," kata Hanum.
Kakeknya berusaha tidak mempermasalahkan hal itu, dia pikir kembalinya Hanum ialah kebaikan penunggu gaib di kebun kopi itu. Para penduduk disekitar wilayah perkebunan kopi itu sudah terbiasa dengan kejadian janggal yang menimpa orang asing yang baru saja bertandang di wilayah mereka.
Desas-desus kehidupan dunia lain yang menjadi topik menarik bagi pengunjung wisata luar daerah, adanya dunia lain yang tak kasat mata yang sangat dipercayai oleh penduduk setempat, bahkan sebagian dari mereka ada yang telah memasuki dunia tak kasat mata itu. Mereka menamai dunia lain itu dengan sebutan Uwentira (yang tidak terlihat).
Uwentira sudah tak asing lagi ditelinga sebagian penduduk Sulawesi, keberadaan Uwentira amat mereka percaya sebab berbagai rentetan peristiwa sudah banyak dilalui oleh masyarakat sekitar dan bahkan penduduk di luar daerah yang sekedar melewati jalan trans Sulawesi yang di apik perkebunan kopi itu. Namun bagi penduduk setempat, mereka sudah menganggap kehidupan Uwentira sama seperti kehidupan manusia pada umumnya, memiliki agama, juga beranak pinak, memiliki sistem perdagangan, hingga transportasi, hanya saja Uwentira jauh lebih maju ketimbang dunia manusia. Para penduduk Uwentira bahkan ada yang iseng keluar dari dunianya untuk belanja ke pasar manusia, mereka memakai pakaian warna kuning dan perhiasan yang berkilau, wajah perempuan dan prianya sangatlah rupawan. Mereka selalu senyum ramah, akan tetapi mereka tidak ingin diajak bercengkrama.
Bahkan digadang-gadang, banyak penduduk setempat memiliki istri atau suami di Uwentira, mereka memilih untu menikah karena selain tampan, penduduk Uwentira dijuluki mahluk yang paling setia.
"Dia sudah tidur, bagaimana kalau kita besok saja pulang ke kampung kasihan Hanum, dia terlihat sangat lelah," ucap Nenek Hanum.
Kakeknya mengintip dibalik celah gorden, Hanum memang sudah tertidur pulas, jika mereka memaksa pulang ke kampung, tentu akan membangunkan Hanum."Ya sudah, kita tidur disini saja dulu," sahutnya.
Si Nenek Hanum menarik tangan suaminya untuk duduk mengobrol, "Pak, sepertinya Hanum tidak tertidur di pohon, karena buktinya dia terlihat lelah dan sepertinya tidak sehabis tidur, " ujarnya menelisik dari kondisi tubuh Hanum yang lelah.
"Jadi kamu pikirnya apa?" tanya suaminya.
"Mungkinkah dia dibawa oleh mahluk gaib? seperti dia masuk ke Uwentira?"
Kakek Hanum terhenyak, dia bergegas menutup mulut istrinya. "Jangan sembarang bicara, penghuni Uwentira tidak ada yang akan berbuat aneh, mereka tidak ingin di ganggu dan tidak suka mengganggu, mereka orang-orang terhormat," sergah Kakek Hanum. Sebagai penduduk asli di wilayah Sulawesi Tengah, Kakek Hanum cukup mengetahui tabiat penghuni Uwentira.
"Lalu kenapa Hanum pulangnya lambat, dia juag seperti kehabisan tenaga," kata Neneknya yang tetap pada kecurigaannya.
"Tidak mungkin Hanum masuk ke Uwentira, penghuni di sana tidak akan mengusik kita, apalagi itu naka sekecil Hanum. Mungkin, ini kemungkinan, jika Hanum di sembunyikan oleh mahluk gaib yang suka mengganggu orang asing, Hanum baru seminggu disini, tentu mereka heran, Mak.."
Nenek Hanum kian khawatir, ingin rasanya Hanum segera di bawa keluar dari kebun mereka, tetapi jika semua itu tidak benar, bukankah dia akan menyakiti perasaan cucunya, sebab Hanum sangat menyukai bermain di kebun kopi.
"Tapi saya rasa itu tidak benar, jika memang cucu kita di bawa oleh mahluk gaib, buktinya perasaannya baik-baik saja, tidak ada rasa takut yang terlihat di raut wajahnya." Kakeknya kembali melunturkan kecurigaan istrinya.
Berpuluh-puluh tahun tinggal di kampung, setiap hari ke kebun kopinya, mereka tidak pernah menemukan kejanggalan buruk, hanya saja beberapa pertanda bahwa kehadiran mahluk yang tak kasat mata seringkali mereka rasakan. Suasana di kebun seringkali terdengar riuh oleh suara-suara yang sedang bercengkrama, deru kendaraan yang banyak melintas di samping kebun mereka, padahal saat itu tak ada satupun kendaraan yang lewat dijalan poros trans Sulawesi.
"Sudah, mari kita tidur, ini masih kampung halaman kita, kebiasaan ini sering terjadi 'kan?" tanya Kakek Hanum.
Nenek Hanum mengalah kali ini, dia tidak ingin pula memperpanjang obrolan yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari.
Sedangkan dari jauh, Dominic masih berdiri tegap ditempatnya, dia memandangi gubuk Kakek Hanum dari jauh. Di sisi kiri dan kananya telah hadir dua prajurit gagah perkasa yang siap mengawal, mereka berdua ingin menjemput Dominic untuk kembali ke dunianya.
"Pangeran, Ratu mencari pangeran, mari kita kembali," ucap sala satu dari mereka.
Dominic menghela nafas, kebun kopi itu berubah menjadi jalan aspal. Infrastruktur yang terbangun sedemikian megahnya. Dominic masuk ke dalam mobil dengan wajah yang tertekuk, ada ketidakpuasan yang ia rasakan, dia masih ingin bermain-main dengan Hanum, akan tetapi perbedaan waktu dunia mereka sangat berbeda jauh.
Sejak seminggu yang lalu, Dominic sudah menjadi penguntit, semenjak ia kabur secara diam-diam dari istana, Dominic yang berkeliaran di dimensi manusia tidak sengaja melihat Hanum yang asyik bermain seorang diri. Perhatian Dominic teralihkan dengan keceriaan Hanum walaupun gadis kecil itu hanya bermain dengan kaal air seadanya. Timbul di hati Dominic ingin merasakan kebahagian yang seperti itu, dia sudah lelah dengan keadaan yang selalu serba ada dan mewah yang disiapkan oleh Ayah dan Ibunya.
"Jangan beritahu siapapun jika kau membawa temanku di taman bunga Ibu," titah Dominic kepada sopir dan pengawalnya.
"Baik, Pangeran."
Dominic ingin menikmati masa kecilnya sama seperti anak lain, tetapi kehidupan Pangeran dengan anak laki-laki biasa amatlah berbeda, semua serba dikekang karena setiap langkah yang diperbuat oleh Dominic akan menjadi pusat perhatian rakyatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!